Ratna Lindawati
06 Jul 2024 at 16:11Suara menggema berasal dari jari-jemari yang bersentuhan dengan benda bulat, berbahan dasar kulit sapi yang membungkus permukaan kayu. Diiringi suara lantang nan mendayu melantunkan syair-syair macam pantun berbahasa Banjar. Gelak tawa para pendengar ikut memadu indahnya pertunjukkan sang Galuh. Tidak peduli apakah terik sang surya sedang memancarkan sinarnya, ataukah dinginnya sang malam yang menusuk tulang tengah menghampiri. Tabuhan gendang yang seirama dengan suara sang Galuh lebih mencuri atensi mereka. Bait demi bait spontan yang terucap dibibirnya seakan menghipnotis, menghasilkan gelak tawa melupakan duka lara. Hingga salam penutup mengakhiri pertunjukkan kala itu, riuh tepuk tangan menghantarkannya pada pengakhiran. Dia Rusilawati, salah satu pelestari kebudayaan Banjar yaitu Madihin.
*Gambar 1 Kegiatan Tutur Madihin
Visualisasi nyata di atas terasa
begitu menyenangkan jika dibandingkan dengan perjalanan panjang Rusilawati
dalam belajar menjadi seorang penutur Madihin untuk melestarikan salah satu budaya
Banjar. Rusilawati remaja kelahiran 19 tahun silam, bukan langsung bisa dalam
menutur. Banyak asa dan keringat untuk mencapai titik saat ini, belajar dan
terus belajar ditekuni tanpa kenal lelah. Hingga kata spontan mampu terucap
tanpa perlu pencatatan. Kecintaannya akan budaya Madihin berawal dari ekskul
budaya di sekolahnya yang kemudian ditunjuk sebagai perwakilan lomba kebudayaan
antar SMA di Kabupaten Balangan. Saat itu masih begitu minim pengetahuannya
akan budaya batutur yang satu ini, hingga muncul rasa penasaran yang
menghantarkannya untuk terus mencari tempat untuk menimba ilmu dan pengetahuan
ini. Dengan kesenian ini dia berpikir bahwa, budaya ini dapat dijadikan salah
satu wadah penyampaian nasihat dengan cara yang berbeda.
Badai digital yang tengah menghantam
melunturkan rasa cinta budaya dalam diri, terutama pada kalangan gen-Z. Kemajuan mendistrupsi tatanan dan
menggoyahkan iman dikalangan masyarakat. Ekstensi budaya lawas kian tergeser dengan
adanya globalisasi budaya, terutama pada kancah hiburan masyarakat. Globalisasi ini seperti pengaruh negatif
yang akan membuat lunturnya rasa nasionalisme pada kalangan remaja serta lebih
menyukai produk ataupun budaya dari luar negeri dan menelantarkan budaya
sendiri (Hartatik & Pratikno,
2023). Badai digital ini juga menyebabkan mudah menyebarnya dampak buruk
seperti bentuk kekerasan yang bisa dicontoh oleh remaja, penebaran berita hoaks
yang dapat memecah perdamaian yang telah tercipta.
Namun zaman akan terus berkembang,
oleh karena itu budaya harus mampu beriringan dengan perkembangan itu, salah
satunya menggunakan kebudayaan tutur Madihin ini yang dikolaborasikan dengan
perkembangan digital, dengan menyuarakan gema perdamaian lewat Tutur
Madihin kemudian disebarkan melalui media digital, sehingga seruan damai
itu dapat tersampaikan walau jauh.
Daftar Pustaka
Hartatik, A., & Pratikno, A. S. (2023). Pudarnya Eksistensi Kesenian Tradisional Ludruk Akibat Globalisasi Budaya. Jurnal Ilmiah CIVIS, XII(2), 56–70.
Artikel_Siti Ruhama_DDKALSEL
1