I Putu Dicky Merta Pratama
07 Jan 2025 at 08:58Kenapa Damai di Medsos Itu Sulit? Ini Jawaban yang Kamu Cari!
Media sosial (medsos) adalah cermin kehidupan modern. Di sana, kita bisa menemukan segala hal: dari kabar baik, cerita inspiratif, hingga perang komentar yang tak berujung. Ironisnya, meski teknologi semakin canggih, ruang maya justru menjadi medan yang sulit bagi banyak orang untuk menemukan kedamaian. Di balik potensi medsos untuk menyatukan dunia, tersembunyi tantangan besar yang menguji toleransi, empati, dan kedewasaan kita dalam berkomunikasi.
Mengapa ruang yang dirancang untuk menghubungkan manusia malah sering memisahkan kita? Apakah ini kesalahan teknologi, atau justru cerminan dari sifat dasar manusia? Mari kita gali lebih dalam faktor-faktor yang membuat damai di medsos sulit dicapai, dan bagaimana kearifan lokal serta kesadaran diri dapat menjadi solusinya.
Semua Orang Merasa Paling Benar
Di dunia nyata, kita diajarkan untuk menghormati pendapat orang lain. Namun, di dunia maya, prinsip itu sering terlupakan. Medsos seolah menjadi "pasar bebas opini" di mana semua orang adalah pakar: pakar politik, pakar agama, bahkan pakar kesehatan. Satu artikel yang baru dibaca, dan seseorang tiba-tiba merasa cukup ahli untuk menggurui siapa saja.
"Karena di medsos, punya WiFi cepat sama dengan punya gelar profesor."
Dalam kearifan lokal Bali, dikenal konsep tat twam asi, yang berarti "aku adalah kamu, kamu adalah aku." Konsep ini mengajarkan empati dan kesadaran bahwa kita semua saling terhubung. Jika kita benar-benar mempraktikkan prinsip ini, konflik di medsos tentu bisa lebih diminimalkan. Bayangkan jika semua orang mengingat bahwa setiap komentar pedas yang dilontarkan bisa jadi melukai "saudara" mereka sendiri.
Algoritma: Si Tukang Adu Domba Modern
Media sosial bukan hanya alat untuk berkomunikasi, tetapi juga "tukang adu domba" modern yang bekerja dengan senyap namun efektif. Percayakah Anda bahwa algoritma media sosial sebenarnya tidak peduli dengan kedamaian? Yang diinginkan algoritma hanyalah keterlibatan (engagement).
Semakin panas debat di kolom komentar, semakin sering pengguna kembali untuk melihat tanggapan, semakin tinggi waktu yang dihabiskan di platform. Semua ini diterjemahkan menjadi lebih banyak iklan yang bisa dijual oleh platform tersebut. Jadi, jika Anda merasa topik tertentu terus bermunculan dan memancing emosi, itu bukan kebetulan. Itu memang dirancang untuk membuat Anda terlibat.
"Damai? Siapa yang butuh damai kalau drama lebih banyak dapat like dan komentar?"
Sayangnya, algoritma tidak memiliki empati. Ia tidak peduli apakah interaksi itu membangun atau menghancurkan. Ia tidak mengenal konsep etika seperti dalam filosofi Bali "Tat Twam Asi," yang berarti "aku adalah kamu, kamu adalah aku." Filosofi ini mengajarkan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam orang lain, bahwa apa pun yang kita lakukan terhadap orang lain pada dasarnya juga kita lakukan terhadap diri sendiri.
Namun di media sosial, prinsip ini sering terlupakan. Kata-kata yang kasar dan komentar yang memecah belah menjadi lebih umum dibandingkan kata-kata yang membangun. Dan semua ini, ironisnya, dimanfaatkan oleh algoritma untuk meningkatkan aktivitas di platform.
Bagaimana melawan algoritma?
- Jangan terpancing: Algoritma dirancang untuk mengeksploitasi emosi kita, terutama kemarahan dan rasa takut. Sadari ini sebelum Anda bereaksi terhadap konten provokatif.
- Pilih untuk berbagi kebaikan: Setiap klik, like, atau share adalah sinyal kepada algoritma. Dengan menyebarkan konten positif, kita bisa membantu mengubah pola algoritma menjadi lebih mendukung kedamaian.
- Praktikkan literasi digital: Sebelum merespons atau membagikan konten, periksa fakta dan tanyakan pada diri sendiri apakah tindakan Anda akan memperbaiki situasi atau memperburuknya.
"Algoritma hanya alat, tetapi kita yang menentukan bagaimana alat itu digunakan. Jangan biarkan algoritma menguasai nilai-nilai kita."
Jika kita mulai dari diri sendiri untuk lebih bijaksana dalam menggunakan medsos, kita dapat melawan pola algoritma yang cenderung memperkeruh suasana. Ingat, damai di dunia maya tidak akan datang dengan sendirinya. Ia membutuhkan usaha kolektif dari semua pengguna untuk menciptakan ruang yang lebih sehat dan harmonis.
"Medsos adalah alat; kitalah yang memutuskan apakah ingin menjadikannya senjata atau jembatan."
Netizen dan Hobi Barunya: Menghakimi
Media sosial telah menjadi arena yang penuh dengan "pertandingan opini." Berkomentar di medsos kadang terasa seperti mengadu ayam jago, di mana setiap orang siap bertarung dengan komentar pedas dan penghakiman tanpa ampun. Ironisnya, sering kali mereka yang paling lantang menghujat justru tidak luput dari kesalahan di kehidupan nyata.
"Medsos: tempat di mana orang-orang tanpa cela merasa punya hak untuk menghakimi."
Kita sering melihat fenomena "angkat ke langit, jatuh ke dasar bumi" di medsos. Seseorang yang dipuja-puji hari ini karena prestasi atau kebaikannya, bisa tiba-tiba dihujani kritik bahkan bullying hanya karena satu kesalahan kecil. Dunia maya tampaknya tak memberi ruang untuk kesalahan manusiawi.
Dalam budaya Bali, ada konsep tri hita karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan: menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Konsep ini mengajarkan harmoni dan saling menghormati, nilai yang seharusnya menjadi pedoman dalam berinteraksi di dunia maya. Jika setiap netizen mengingat untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, timeline kita mungkin tidak akan dipenuhi dengan cacian dan hinaan, melainkan kata-kata yang membangun dan penuh kasih.
Namun kenyataannya, di medsos sering kali berlaku prinsip yang jauh dari tri hita karana: "yang penting viral, tak peduli siapa yang terluka." Padahal, energi yang kita gunakan untuk menghujat bisa dialihkan menjadi dorongan semangat bagi mereka yang sedang jatuh.
Mari mulai berpikir sebelum menghakimi:
- Apa yang kita ketik akan dibaca oleh seseorang yang memiliki hati dan perasaan.
- Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk kita.
- Apa yang kita sebarkan adalah cerminan dari diri kita sendiri.
"Menghakimi itu mudah, tetapi menunjukkan empati adalah kekuatan sejati." Jika kita memilih untuk memperkuat hubungan, bukan menghancurkannya, dunia maya bisa menjadi tempat yang lebih damai dan mendukung. Jadi, alih-alih menambah api, bagaimana kalau kita mulai memadamkan konflik dengan kebijaksanaan?
"Medsos tidak membutuhkan lebih banyak hakim, tetapi lebih banyak pemandu yang membimbing dengan cinta."
Sensasi Lebih Laris dari Empati
Di dunia maya, konten yang penuh drama dan sensasi tampaknya selalu menjadi "raja". Berita hoaks, isu provokatif, atau narasi kebencian sering kali melaju lebih cepat daripada cerita inspiratif atau pesan damai. Algoritma media sosial pun tampaknya memperburuk situasi ini dengan memprioritaskan konten yang memancing emosi, baik itu kemarahan, ketakutan, maupun kebencian.
"Kenapa repot berbagi kebaikan kalau berbagi kebencian lebih banyak dapat engagement dan like?"
Empati sering kali kalah bersaing dengan sensasi. Netizen lebih antusias menyebarkan isu panas atau komentar kontroversial dibandingkan menyebarkan kebahagiaan sederhana, seperti kisah seorang anak yang membantu temannya di sekolah. Ironisnya, konten inspiratif ini biasanya terpinggirkan di tengah hiruk-pikuk drama digital.
Dalam kearifan lokal Nusantara, ada pepatah "Saling asah, saling asih, saling asuh", yang berarti saling mengasah pengetahuan, saling mengasihi, dan saling membimbing. Nilai ini menjadi cerminan bagaimana masyarakat idealnya hidup: bekerja sama untuk meningkatkan satu sama lain, bukan saling menjatuhkan.
Bayangkan jika setiap pengguna media sosial mempraktikkan prinsip ini:
- Saling asah: Membagikan informasi yang edukatif dan memeriksa fakta sebelum menyebarkannya.
- Saling asih: Menyebarkan pesan penuh kasih dan dukungan, bukan kebencian atau sindiran tajam.
- Saling asuh: Membimbing mereka yang kurang paham tentang literasi digital dengan cara yang santun dan bijak.
Konten sensasional mungkin menghasilkan banyak perhatian sementara, tetapi empati dan kebaikan memiliki dampak jangka panjang yang jauh lebih berarti. Medsos memiliki potensi besar untuk menjadi ruang yang membangun, asal kita sebagai penggunanya memilih untuk menyebarkan manfaat, bukan sekadar mencari perhatian.
"Kebaikan mungkin tak selalu viral, tetapi ia selalu punya tempat di hati yang tulus."
Kurangnya Literasi Digital
Hoaks dan informasi palsu adalah tantangan yang belum kunjung reda di era digital ini. Dari teori konspirasi yang menggelikan hingga berita bohong yang memicu perpecahan, semua ini mudah ditemukan di linimasa kita. Ironisnya, banyak orang lebih cepat menekan tombol share daripada berpikir dua kali untuk memeriksa kebenaran informasi.
"Kenapa repot periksa fakta kalau tombol share sudah cukup untuk jadi pahlawan medsos?"
Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang kesadaran untuk memilah mana informasi yang benar, mana yang perlu diragukan, dan mana yang sebaiknya diabaikan. Sayangnya, banyak dari kita masih kurang terlatih untuk berpikir kritis terhadap apa yang kita lihat di layar. Akibatnya, konflik yang sebenarnya bisa dihindari justru muncul karena informasi yang tidak akurat.
Di Bali, konsep menyama braya atau persaudaraan universal menawarkan pelajaran yang berharga. Jika kita memandang semua orang di dunia maya sebagai saudara, kita akan lebih hati-hati sebelum menyebarkan sesuatu yang dapat menyakiti mereka. Sama seperti kita tidak ingin menyebarkan desas-desus tentang keluarga atau teman di dunia nyata, kita juga seharusnya menjaga hubungan baik dengan "keluarga besar" kita di dunia maya.
Meningkatkan literasi digital bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga komunitas. Edukasi tentang cara memeriksa fakta, memahami bias, dan mengenali hoaks perlu terus didorong. Jika setiap pengguna medsos berusaha untuk lebih cerdas dalam menyaring informasi, kedamaian di ruang maya bukan lagi sekadar angan.
"Menyama braya di dunia digital berarti berhati-hati dengan apa yang kita bagikan, karena setiap kata dan klik dapat berdampak besar bagi orang lain."
"Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian, tetapi hanya dengan cinta. Ini adalah hukum yang kekal." – Buddha Gautama
Kutipan ini adalah pengingat abadi tentang kekuatan cinta dan empati dalam menyelesaikan konflik, termasuk di dunia maya. Media sosial sering menjadi arena di mana kebencian dilawan dengan kebencian lainnya, menciptakan lingkaran konflik yang tak berujung. Namun, kebencian tidak pernah menghasilkan kedamaian—ia hanya memperpanjang luka dan perpecahan.
Ketika berhadapan dengan komentar pedas atau perdebatan sengit, reaksi alami kita mungkin ingin membalas dengan nada yang sama. Namun, apa yang benar-benar menyembuhkan bukanlah kata-kata penuh kemarahan, melainkan pendekatan yang penuh kesabaran dan pengertian. Memilih untuk merespons dengan cinta bukan berarti kita lemah, melainkan menunjukkan keberanian untuk memutus rantai kebencian dan menciptakan jalan menuju harmoni.
Di dunia yang semakin terhubung secara digital, cinta, empati, dan kesabaran bukan hanya idealisme tetapi kebutuhan. Setiap kali kita memilih untuk menahan diri dari menyebarkan kebencian, atau menawarkan kata-kata yang menenangkan di tengah konflik, kita menjadi bagian dari solusi.
"Medsos bisa menjadi ruang damai, jika kita cukup berani untuk menanam cinta di tempat yang penuh kebencian."
Damai Dimulai dari Kita Sendiri
Kenapa damai di medsos itu sulit? Karena kita sering lupa bahwa di balik layar ada manusia lain yang juga punya perasaan, harapan, dan kisah yang mungkin tidak kita ketahui. Dunia maya, meskipun virtual, adalah tempat di mana manusia sejati berada, dengan segala kompleksitasnya. Setiap komentar yang kita tinggalkan memiliki kekuatan: untuk membangun atau meruntuhkan.
Jika kita ingin menciptakan ruang digital yang lebih damai, mari mulai dari diri sendiri. Gunakan helm kritis untuk memilah informasi, memeriksa fakta, dan menghindari jebakan hoaks. Pasangkan dengan tameng empati, yang memungkinkan kita memahami perasaan orang lain sebelum menghakimi atau merespons dengan nada panas. Kedamaian tidak membutuhkan teknologi canggih, melainkan niat tulus untuk memahami dan menghargai.
Ingatlah kearifan lokal yang telah diwariskan leluhur kita:
- Tat twam asi: "Aku adalah kamu, kamu adalah aku." Ketika menyakiti orang lain, sebenarnya kita menyakiti diri sendiri.
- Tri hita karana: Harmoni dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan adalah kunci kebahagiaan sejati.
- Menyama braya: Persaudaraan universal yang melampaui batas suku, agama, atau status sosial.
Mari menjadi agen perubahan, dimulai dari hal-hal kecil seperti cara kita berkomentar dan berbagi di dunia maya. Perubahan besar tidak terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil yang konsisten dari banyak individu mampu menciptakan gelombang perubahan yang luar biasa.
"Damai di medsos itu mungkin, asal kita semua berhenti mencari drama dan mulai berbagi cinta."
0