I Putu Dicky Merta Pratama
07 Jan 2025 at 11:02Rahasia Nenek Moyang: Menghidupkan Kembali Kebijaksanaan, Kesadaran, dan Harmoni yang Hilang di Era WiFi dan Dunia Digital
Di tengah dunia yang sibuk dengan dering notifikasi ponsel yang tak henti-hentinya dan perdebatan panjang di grup WhatsApp tentang topik-topik yang sering kali absurd—seperti apakah dinosaurus benar-benar nyata atau hanya sebuah konspirasi—kita jarang benar-benar berhenti untuk bertanya pada diri sendiri: “Apa arti hidup ini sebenarnya?” Apakah hidup hanya tentang makan, bekerja, membayar tagihan, dan scrolling TikTok hingga larut malam?
Di dunia yang semakin dipenuhi oleh teknologi dan informasi tanpa henti, kita sering merasa terjebak dalam pusaran aktivitas yang tidak memberi kedamaian batin. Ponsel terus berdering, pesan dan notifikasi memenuhi hari-hari kita, dan media sosial seolah menjadi ruang yang tak pernah berhenti bergerak. Kita terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia, tetapi sering kali merasa semakin terputus dari diri kita sendiri. Kita menghabiskan waktu dengan begitu banyak hal yang tampak penting, tetapi jarang berhenti untuk merenung: Apakah kita benar-benar hidup dengan tujuan yang mendalam?
Berbeda dengan kehidupan modern yang serba cepat ini, nenek moyang kita, meskipun hidup tanpa teknologi canggih, memiliki cara-cara hidup yang bijak dan penuh kedamaian. Mereka tidak terjebak dalam kebisingan dunia luar, dan mereka tahu bagaimana menjalani hidup dengan harmoni. Mereka mengajarkan kita tentang meditasi, kesadaran diri, dan cara untuk hidup seimbang—prinsip-prinsip yang menjadi fondasi dalam setiap keputusan dan langkah yang mereka ambil.
Namun, ironisnya, banyak dari warisan ini yang kini kita temui hanya sebagai meme motivasi di Instagram, caption aesthetic, atau dekorasi di kafe-kafe tematik. Ajakan untuk "hidup dalam harmoni" atau "menemukan kedamaian dalam diri" kini sering dianggap sebagai ornament masa lalu yang lucu atau inspiratif, tetapi tidak relevan dalam kehidupan yang sibuk ini. Padahal, kebijaksanaan dan meditasi yang dulunya menjadi cara hidup nenek moyang kita kini menjadi semakin terlupakan—hanya menjadi konsep tanpa aksi.
Namun, apakah kebijaksanaan ini benar-benar hilang? Ataukah kita hanya terlalu sibuk dengan dunia digital hingga tak sempat menggali dan menerapkannya dalam kehidupan kita? Dalam segala kecanggihan teknologi dan informasi yang terus berkembang, kita sering merasa terjebak dalam kecepatan luar biasa, begitu terhubung dengan dunia luar, namun semakin terputus dari dunia dalam diri kita. Kita merasa cemas, bingung, atau bahkan kehilangan arah, meskipun segala hal tampak serba terorganisir dan terlihat sempurna di luar.
Salah satu contoh nyata adalah fenomena burnout atau kelelahan mental yang semakin umum di era digital ini. Para pekerja dan mahasiswa, terhubung dengan pekerjaan atau studi mereka 24 jam melalui email dan aplikasi pesan instan, sering merasa tertekan dan cemas. Meskipun mereka memiliki akses ke semua informasi yang mereka butuhkan, mereka sering merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak memberikan rasa puas. Ini mengingatkan kita pada ajaran nenek moyang kita yang memahami pentingnya keseimbangan, waktu untuk beristirahat, dan menjaga kesehatan mental.
Menggali Kebijaksanaan Bali
Dalam kebudayaan Bali, ada pepatah yang sangat relevan: "Manut, mapak, mawinan." Ini berarti bahwa dalam menjalani hidup, kita harus mengikuti alur alam, melangkah dengan penuh perhatian, dan tidak terburu-buru. Hidup harus seimbang, dengan menghormati keharmonisan antara diri sendiri dan lingkungan sekitar. Pepatah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terjebak dalam kecepatan hidup yang serba instan, tetapi untuk beradaptasi dengan ritme alam, memberikan ruang bagi diri kita untuk merenung dan bersyukur.
Mungkin kita semua harus merenungkan, jika nenek moyang kita yang hidup tanpa Wi-Fi dan notifikasi ponsel bisa lebih bijaksana dan lebih damai, apakah mereka benar-benar lebih "ketinggalan zaman"? Mungkin kehidupan tanpa Instagram Stories dan berburu likes bukanlah sesuatu yang "harus" kita hindari, melainkan sesuatu yang perlu kita pelajari kembali. Siapa tahu, kita mungkin bisa menemukan kedamaian batin dengan lebih sedikit scroll dan lebih banyak "berpikir." Tapi tentu saja, siapa yang peduli tentang kedamaian batin saat kita bisa memposting gambar makanan terakhir yang kita makan dan mendapat ratusan like dalam sekejap, bukan?
Bagaimana jika, di tengah segala kekacauan modern ini, kita memutuskan untuk mengambil sedikit waktu untuk menggali lagi kebijaksanaan yang pernah diajarkan oleh nenek moyang kita? Bukan untuk mengejar popularitas atau menjadi viral, tetapi untuk menemukan kembali harmoni kecil di dalam diri, sebuah oase ketenangan di tengah gurun hiruk-pikuk dunia yang serba cepat ini. Dalam kesibukan dunia digital yang terus berkembang, kita justru bisa menemukan kedamaian dalam diri melalui kesadaran penuh (mindfulness), yang telah lama menjadi inti ajaran mereka.
Kesadaran, sebuah kunci untuk hidup yang lebih mendalam, sering kali terabaikan dalam kehidupan kita yang sibuk ini. Kita melupakan pentingnya hadir di saat ini, menghargai setiap napas yang masuk dan keluar, serta mengingatkan diri bahwa kebahagiaan tidak datang dari pencapaian luar yang spektakuler, melainkan dari kedamaian batin yang kita temukan dalam setiap langkah hidup kita. Dalam dunia yang terhubung ini, kita sering terjebak dalam kesibukan yang tak pernah ada habisnya, sehingga kita lupa untuk berhenti, untuk benar-benar merasakan setiap momen yang ada.
Mungkin, justru dalam kebijaksanaan kuno yang diajarkan oleh leluhur kita, kita bisa menemukan jawaban atas kegelisahan yang kita rasakan. Dengan mempraktikkan kesadaran dalam kehidupan sehari-hari—meski hanya untuk beberapa menit di tengah hari yang sibuk—kita bisa memulihkan harmoni yang telah lama hilang. Keheningan dan waktu untuk merenung yang dulu menjadi bagian dari kehidupan mereka, kini bisa menjadi jembatan untuk kita menghubungkan kembali dunia luar dan dunia dalam, yang terkadang terasa sangat jauh.
Sebuah Perenungan
Sebagai penutup, mari kita merenung sejenak dengan pepatah Bali yang mengingatkan kita bahwa "Suksma Ida Sang Hyang Widhi Wasa" (Terima kasih Tuhan Yang Maha Esa). Dalam setiap langkah hidup kita, kita dapat menemukan rasa syukur dan kedamaian dalam momen-momen sederhana yang sering kita abaikan. Dengan berlatih kesadaran dan mengalir dengan hidup tanpa terburu-buru, kita bisa menemukan keseimbangan yang telah lama hilang.
Apakah kita siap untuk menggali kembali warisan kebijaksanaan ini? Tidak dengan tujuan untuk menjadi kaya mendadak atau terkenal, tetapi untuk menemukan kedamaian sejati yang selama ini terabaikan. Saat kita memperlambat langkah dan mulai hadir dalam momen-momen kecil, kita mungkin akan menemukan kembali harmoni yang telah hilang di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat ini.
Jadi, marilah kita mengambil langkah pertama untuk hidup lebih sadar, lebih bijaksana, dan lebih harmoni, seperti yang diajarkan oleh nenek moyang kita. Sebuah langkah kecil menuju kedamaian dalam dunia yang bising—sebuah langkah besar menuju kehidupan yang lebih penuh makna.
0