Onriza Putra
04 Jun 2020 at 02:46


Hampir tiap tahun, keluarga saya selalu memasak Galamai dan Lapek. Di kampung saya, kedua makanan ini hanya diproduksi pada saat hari raya dan perayaan hari besar islam lainnya (isra’ mi’raj, maulid nabi dsb). Berbeda dengan di kota, kedua makanan tradisonal tersebut dapat kita temui di toko-toko karena sudah diproduksi sebagai produk ekonomi.

Jamak saya temui, bukan kue-kue ala kota (yang siap saji dan bisa di beli di supermarket) yang saya temui di meja-meja tamu ketika bersilaturahmi kerumah tetangga di kampung, tetapi Galamai dan Lapek lah yang hampir pasti disuguhi oleh tuan rumah.

Galamai memiliki penyebutan yang berbeda-beda di Sumatera Barat, ada Kalamai, Calamai atau Gelamai. Tradisi ini tampaknya juga ada di daerah lain seperti Riau dan Bengkulu. Khusus di kampung saya, Bahasa Rao, Kabupaten Pasaman disebut Kolamei (Bahasa Rao di pengaruhi oleh bahasa minang, bahasa tapanuli dan bahasa melayu rokan). Beberapa daerah di Rao juga menamakan Golamei. Selain memiliki ejaan yang berbeda dari daerah lain, Kolamei juga mempunyai nilai dan cita rasa yang unik. Kolamei berbeda dengan Galamai asli Payakumbuh atau Dodol dari daerah lain di Indonesia. Selama ini, Galamai melekat sebagai oleh-oleh khas Payakumbuh.

Dirujuk dari artikel Indonesia Kaya dengan judul Galamai Si Legit Nan Kenyal Dari Payakumbuh, Kolamei terbuat dari tepung beras ketan (pulut), gula aren, dan santan. Ketiga jenis bahan ini dimasak dalam suatu kuali besar hingga membentuk gumpalan yang liat dan berwarna kecokelatan. Memasak Kolamei tidak semudah yang kita bayangkan. Selain rumit, memasak Kolamei juga membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain itu, banyak nilai-nilai positif yang dapat kita ambil dari memasak Kolamei. Berikut nilai positif yang saya rangkum dari pengalaman membuat Kolamei setiap hari raya.

1. Ketelitian

Kolamei memang penganan kampung yang sederhana, tapi proses pembuatannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dibutuhkan ketelitian ekstra mulai dari bahan dasar (jumlah kelapa, pulut dan gula aren) hingga besaran api selama pengacauan (bahasa minang: dikacau/diaduk). Kombinasi pulut, gula merah dan santan harus pas agar Kolamei sesuai warna dan rasanya.

2. Keuletan

Selain ketelitian, proses pembuatan Kolamei juga dibutuhkan keuletan. Kolamei di kampung saya, diproduksi hingga 8-10 jam. Selama proses tersebut, adukan diatas kuali tidak boleh berhenti. Tanpa kerja keuletan dan kerja keras dari tahap awal hingga akhir, Kolamei mustahil untuk disajikan, bahkan bisa gagal.

3. Gotong Royong

Nilai paling menonjol dalam membuat Kolamei adalah kegotongroyongan. Proses pengadukan yang berlangsung lama, membuat “tukang kacau” (tukang aduk) harus dilakukan oleh banyak orang secara bergantian. Walaupun pengaduknya hanya 2 orang, tetapi karena proses yang lama dan tingkat kekenyalan yang semakin liat, proses pengadukannya mau tidak mau dan harus dilakukan secara gotong royong dan bantuan tenaga. Biasanya yang menjadi “tukang kacau” adalah ayah, anak laki-laki dalam keluarga dan dibantu oleh pemuda-pemuda kampung lainnya (berbeda dengan masyarakat tapanuli yang pengaduknya ibu-ibu/perempuan). Perlakuan yang sama harus kita lakukan ketika keluarga lain juga memasak Kolamei (tenaga balas tenaga).

4. Kekeluargaan

Kolamei adalah tradisi yang mengusung semangat kekeluargaan. Dalam proses pembuatannya, kita melibatkan keluarga besar, dikampung biasanya keluarga kakek-nenek, om-tante, paman-bibi masih berdekatan rumahnya atau minimal masih satu kampung. Dengan tradisi Kolamei, keluarga besar ini menghidupkan semangat kekeluargaan dengan dan dari tradisi Kolamei.

Kolamei memang hanya penganan tradisional, tapi proses pembuatannya syarat dengan nilai-nilai positif. Sebagai generasi penerus, kita harus menghidupkan tradisi-tradisi lama, terutama belajar dan mengambil spirit yang dibawanya. Dengan tradisi Kolamei, spirit gotong royong dan kekeluargaan patut kita ambil dan lestarikan.

Sumber Foto : Tribun

0