Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 16:59


Pemahaman keagamaan yang ekstrim selalu mengusung otoritas dan monopoli kebenaran. Argumentasinya dibangundi atas klaim kebenaran dengan cara menggeser kelompok lain yang dianggap berbeda dan bertentangan.

Maka di tengah kehidupan global yang semakin kompleks dan plural kehidupan beragama semakin ditantang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Upaya menjawab dan kemampuan menjawab tantangan ini tentunya akan semakin menunjukkan kiprah dan peran agama pada bentuk hubungan sosial yang semakin dewasa.

Kalau kenyataan ini yang terjadi, maka keinginan menjadikan agama sebagai landasan etis dalam mengatasi kekerasan bukanlah suatu utopia belaka. Agama bukan lagi angan-angan kosong yang selalu menyembunyikan iktikad baiknya dan selalu mengedapankan ambisi politik pemeluknya, tapi agama dengan perbedaan yang selalu terjaga dan terbangun merupakan koherensi dan keharmonisan sosial.

Hal yang dibutuhkan kemudian adalah spiritualitas- antropik. Suatu kredo pemikiran keagamaan yang mencoba memposisikan manusia pada pusat edar subjektivitas jagad raya yang ditransendensikan sepenuhnya pada kesadaran spiritual Ilahiyah.

Ide ini menekankan dan menghargai nilai-nilai luhur humanisme-universal yang konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan dengan mengandalkan pada ilmu pengetahuan empiris.

Selain itu, juga menghargai persamaan dan mengakui keunikan masing-masing (deabsolutizing truth) sehingga tercipta pluralitas yang memiliki klaim dan keyakinan relatif (relatively absolute).

Dengan konsep pemikiran di atas akan terbangun keberagamaan intersubjektif, keberagamaan yang telah melampaui pembenaranpembenaran terhadap apa yang telah dipahami dan diyakini.

Agama di mana semua pemikiran penting atas nama agama dianggap sebagai nilai kebenaran yang absolut secara relatif. Intersubjektif juga berarti keberagamaan yang menuntut kita hidup dalam keberlainan, menerima apapun perbedaan sebagaimana adanya bukan sebagai yang kita kehendaki.

Intersubjektif mencakup pengakuan akan keberlainan yang diutuhkan ke dalam keinginan-keinginan, pikiran-pikiran, dan cara hidup beragama yang dialogis. Reinterpretasi Terhadap Doktrin Islam, Menuju Islam Yang Damai Dalam konteks “pembajakan” Islam sebagai ajaran yang terlibat dalam kekerasan.

Jaudat Said dalam bukunya, “Madzhab Ibni Adam al-Awwal, aliran pemikiran anak Adam pertama” memiliki analisis yang menarik kita renungkan. Beliau membagi Islam ke dalam dua pemahaman: pertama, Islam yang dipahami sebagai bentuk perbaikan terhadap hidup manusia, yang disampaikan secara damai, tanpa pemaksaan dan menggunakan kekuatan argumentasi dan persuasi.

Kedua, Islam sebagai sebuah tatanan (rezim) yang telah dipahami secara utuh dan dipraktekkan juga secara utuh dalam kehidupan sehari-hari, yang untuk melawan kezaliman, kadangkala memerlukan aksi defensif dengan penggunaan kekuatan bersenjata. Apalagi fakta bahwa dunia Islam adalah dunia yang dilanda oleh kemiskinan, mundur dalam teknologi dan ilmu pengetahuan.

Perjuangan melawan ketidakadilan dunia adalah perjuangan jangka panjang menyangkut pembenahan menyeluruh sistem pendidikan, pengajaran, dan pemerintahan yang adil di dalam pemerintahan dunia Islam.

Pendapat semacam ini adalah yang dikemukakan oleh tokohtokoh semacam Yusuf Qaradhawi, Hassan Hanafi, Syafii Maarif, Abdurrahma Wahid, dan lain-lainnya.Tokoh-tokoh itu mewakili sebuah gerakan intelektual yang menawarkan strategi baru dalam perjuangan Islam.

Dari penelusuran terhadap teks-teks induk (al-Qur’an dan hadits) jelas sekali tergambar dua pemahaman ini. Cerita dakwah Khalis Jalabi, seorang dokter ahli bedah berkebangsaan Suriah dan bermukim di Saudi Arabia, karya-karya humanisnya banyak menghiasi pemikiran kontemporer, baik di Koran, majalan atau TV.

Beliau mendirikan menganjurkan Ilmu dan Perdamaian sebagai jalan dakwah yang paling tepat untuk mengenyahkan begitu banyak aliran yang mengadopsi cara-cara kekerasan dalam mendakwahkan Islam.

Para nabi adalah cerita perbaikan kehidupan umat manusia, dilakukan secara damai bahkan ketika mereka dan para pengikuti mereka diperangi dengan segala cara dan dengan segala bentuk kekuatan. Tidak ada dosa mereka, ketika diperangi itu, kecuali karena mereka mengatakan “Rabbuna Allah, Tuhan Kami Adalah Allah”.

Disinilah rumus sejarah berlaku bahwasannya kekuatan senjata sebesar apapun, tidak bisa mengalahkan kekuatan argumentasi”. Di dalam al-Qur’an Allah menawarkan setidaknya tiga pilihan metodis dalam mengajak manusia ke jalan kebenaran, yakni menjelaskan al-hikmah, mengtengahkan petunjuk atau nasihat yang baik (al-ma’izah al-hasanah) dan melangsungkan mujadalah (dialog) dengan cara terbaik.

Ketiganya harus dijalankan dengan cara –cara simpatik (ahsan), lemah lembuh, tanpa memaksa sebagaimana tercermin pada kata “ajaklah” atau “serulah” di awal ayat.Tak ada indikasi implisit atau apalagi eksplisit di ayat tersebut atau ayat-ayat lain, yang menganjurkan cara-cara kekerasan, misalnya paksalah, serbulah, bubarlah, atau bunuhlah.

Menyangkut pemahaman kedua, dalam Islam, kekuatan senjata hanya dilakukan ketika Islam sudah dipahami secara utuh, dipraktekkan secara komprehensif dalam kehidupan, masyarakat muslim sudah memiliki “Negara”-nya sendiri, dilakukan hanya untuk melawan kezaliman, dengan aturan yang sangat ketat dan diyakini tidak kontraproduktif bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

Begitulah nature of Islamic teaching tentang bagaimana ia harus dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan. Namun yang terjadi sekarang ini, gabungan dari dua kenyataan yang ada.

Di satu sisi, (sebagian) umat Islam tidak sabar menggunakan jalan damai (jalan para Nabi dan Rasul), ragu dengan kekuatan argumentasi, tidak yakin dengan cara persuasi dan kemudian mengeras menggunakan cara-cara kekerasan di tengah masyarakat yang sebagaian besar belum memahami dan mengamalkan Islam secara utuh.

Di sisi lain, dunia terus diprovokasi oleh kekuatan-kekuatan besar yang secara sejarah banyak merujuk kepada praktik zaman romawi, standar ganda kekuatan adidaya dalam bersikap terhadap persoalan-persoalan dunia (bandingkan double standard Amerika terhadap Israel dan Palestina) dan ketidakadilan socialekonomi-politk global yang

Sahabat damai, salah satu cara menjadikan Agama terutama Islam, untuk  menjadi spirit perdamaian dengan  mengembalikan kerangka pemahaman agama dan praksis ke bentuk aslinya yakni  ke praksis para Nabi dan Rasul yang sudah membuktinya keberhasilan mereka.

Sebab untuk membuktikan kekuatan argumentasi Islam, harus dibuktikan dengan ilmu. Ilmu (terutama sains) adalah pintu gerbang terbesar untuk mengundang manusia memahami dan mengamalkan Islam. Perdamaian adalah cara teragung dan terabadi untuk mengajak manusia memperbaiki hidup, menghilangkan kezaliman dan mengenyahkan ketidakadilan yang memicu tindak kekerasan.

Dengan demikian, untuk mengembalikan Agama (Islam) sebagai spirit perdamaian, cara ilmu dan cara damai yang saling menopang dan menguatkan adalah kuncinya sebagamana yang  disebut oleh Jaudat Said sebagai “madzhabibn Adam al-Awwal,” mazhab anak Adam pertama dengan Penanaman nilai-nilai multikulturalisme pada anak usia dini.

Adanya kekuatan dari akar berbasis keluarga memiliki relevansi dalam mencegah radikalisme sejak anak usia dini. Upaya penanaman nilai multikulturalisme dilakukan melalui programparenting dan pelatihan keterampilan, baik secara rutin maupun insidental.

Dengan memberikan pengetahuan, wawasan dan kesadaran kepada para orang tua tentang pola pengasuhan anak yang baik melalui program parenting, mereka dapat mengaplikasikannya di rumah. Menanamkan nilai-nilai multikulturalisme sejak usia dini.

Adapun aktivitas yang didesain untuk pelaksanaan pembelajaran, yakni: materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan pengalaman pembelajaran. Desain pembelajaran dalam RPPM dan RPPH yang disiapkan sejak awal.

Meliputi pengenalan nama agama-agama, hari-hari besar agama-agama, nama tempat ibadah agama-agama, cara berdoa dalam agama-agama, kehidupan beragama yang berbeda-beda, pembiasaan menghormati orang lain dengan mengucapkan salam, mengenalkan macam-macam agama lewat lagu.

Serta peringatan hari besar keagamaan, kisahkisah inspiratif tokoh agama-agama, menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing, mengenalkan prinsip bhineka tunggal ika, memperkuat identitas kebangsaan dan menjunjung tradisi dan kearifan lokal.

Penanaman nilai-nilai multikulturalisme dalam keluarga memiliki relevansi dalam mencegah radikalisme sejak usia dini dalam keluarga.Keluarga sebagai sebuah institusi terkecil dalam sistem sosial, dapat mentransformasikan nilai-nilai apapun terhadap seluruh anggota yang ada di dalamnya.

Hal ini karena laju perkembangan teknologi informasi tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi semua orang untuk bisa menghindari suguhan dan nilai-nilai yang dibawa inhern dengan kemajuan teknologi tersebut.

Dalam konteks ini, orang tua memegang peran penting untuk dapat melakukan filterisasi nilai-nilai yang masuk dan akan diserap oleh anak-anak sejak dini. Peran pendampingan orang tua dalam menonton televisi, memilih tayangan edukatif, mendampingi saat bermain game, membatasi waktu bermain game.

Selain itu menciptakan suasana rileks dan komunikasi yang menyenangkan bersama semua anggota keluarga, menciptakan quality time yang menghadirkan kebersamaan dan kebahagiaan bersama seluruh anggota keluarga, adalah di antara momen-moment penting yang bisa diciptakan oleh orang tua.

Sahabat damai, dengan adanya penanaman nilai-nilai vibrasi positif dan berakhlak dalam keluarga yang merupakan tanggung jawab bersama ayah dan ibu,  sebagai pondasi bagi pendidikan anak masa-masa berikunya, baik pra maupun masa sekolah menjadi salah satu kunci melindungi anak dari paparan radikalisme dan kekerasan.

0