I Wayan Renaldi Bayu Permana
01 Dec 2024 at 02:45


            Fanatisme merupakan sebuah keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu hal bisa seperti agama politik atau tokoh tertentu dll. Adanya sikap dari fanatik, prilaku yang berlebihan atau biasa disebut dengan fanatik buta, baik yang berakar pada nasionalisme maupun agama, suku dan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan dan pemersatu. Tetapi paradoksnya, adanya perbedaan tersebut justru menjadi bahan bakar konflik, terutama di dunia digital atau dunia maya.

Fanatisme agama berkembang ketika ada keyakinan seseorang diposisikan sebagai satu-satunya kebenaran yang sah dan final, menolak pluralitas keyakinan orang lain. Pada tingkatan ekstrim, sikap ini memicu udara kebencian, semacam adanya polusi yang keluar luas di media sosial. Sebuah Ironi, intoleransi tidak hanya muncul dari sisi mayoritas tapi juga di dalam kelompok yang secara rasio disebut minoritas juga ada oknum-oknum intoleran. Terdapat oknum dari komunitas agama keyakinan orang lain di ruang publik virtual. Ini menunjukkan bahwa intoleransi bukanlah monopoli satu kelompok, melainkan kontribusi universal yang bisa muncul dari berbagai macam orang berbagai lintas kalangan.

Fanatisme Sebagai Penghalang Membangun Dialog

Kesadaran akan potensi intoleran dalam setiap tradisi keagamaan menjadi langkah awal untuk membangun kontra-narasi yang lebih efektif. Pada situasi ini, Pancasila, dengan 5 silanya, mampu memayungi perbedaan dan menjadi landasan utama untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian. Fanatisme, baik dalam agama maupun nasionalisme, yang dapat menghambat perkembangan dialog yang sehat, terutama ketika prinsip dipegang dengan cara yang kaku tanpa adanya ruang bagi kritik, bahkan ruang untuk saling menyatakan pendapat yang mempunyai pemikiran yang berbeda, sikap seperti ini semacam penutupan diri terhadap percakapan sebagai warga negara. Dialog dalam film “Sang Pencerah” di mana KH. Ahmad Dahlan menasihati murid-muridnya untuk memiliki prinsip tanpa fanatisme, menekankan pentingnya pemikiran yang terbuka. Prinsip tidak boleh menjadi alat untuk menutup diri dari pandangan lain, karena fanatisme, seperti yang beliau katakan, adalah ciri kebodohan.

Pancasila: Perisai Melawan Fanatisme

Nilai-nilai Pancasila sangat relevan di dalam menjaga kerukunan di tengah masyarakat yang beragam. Dilihat dari sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan penghormatan terhadap setiap agama dan keyakinan prinsip agama tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk merendahkan keyakinan lain. sila ke-2, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, menuntut dan menuntun kita bersikap objektif dan adil dalam nilai perbedaan, serta bicara dengan adab dan sopan dalam diskusi yang menyangkut isu-isu sensitif agama.

Dunia maya, di mana konflik keyakinan sering menjadi tuntunan secara brutal bahkan kerap menjadi titik polarisasi di masyarakat, Pancasila menjadi perisai yang menjaga kita dari udara kebencian dan provokasi. Sila ke-3, Persatuan Indonesia, mengingatkan kita bahwa perbedaan pendapat tidak boleh memecah belah bangsa, sebaliknya, kita harus merayakan perbedaan dan menjadikannya sumber kekuatan dan kebanggaan sebagai bangsa yang kaya.

Sila ke-4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengajarkan pentingnya dialog dalam penyelesaian perbedaan. Dunia digital, kita bisa membuka ruang diskusi yang bijaksana, di mana setiap pihak bebas menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut akan diskriminasi. terakhir, sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan pentingnya keadilan dalam berekspresi, termasuk di media sosial. Moderasi dan tanggung jawab sosial menjadikan kunci untuk mencegah penyebaran kebencian sikap intoleran, fanatisme dan ekstrimisme.

Mewujudkan Ruang Maya yang Sehat dan Inklusif

Penerapan nilai-nilai Pancasila di dunia maya merupakan langkah konkrit untuk meredam konflik keyakinan dan menjaga keharmonisan. Ketika setiap individu mengamalkan Pancasila dalam interaksi digital, kita bisa menciptakan ruang virtual yang lebih damai inklusif dan saling menghormati. Nilai-nilai seperti berpikir terbuka, skeptis dan kritis terhadap sesuatu; yang kita kagumi, merupakan strategi efektif untuk mencegah fasisme berkembang dan menjaga persatuan/kesatuan dalam keberagaman.

Mengintegrasikan sikap nasionalisme dan religiusitas yang saling menghormati serta menghargai dalam kehidupan sehari-hari merupakan langkah penting untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Dengan mengedepankan toleransi, kita dapat menciptakan ruang dimana setiap individu merasa dihargai, apapun latar belakang agama atau etnisnya. Memanifestasikan nilai-nilai Pancasila menjadi kunci, tidak hanya untuk mewujudkan keharmonisan di dunia nyata, namun juga menjaga dunia maya sebagai wadah persatuan, keberagaman, dan toleransi. Keberagaman merupakan kekuatan, dan melalui nasionalisme inklusif serta sikap religiositas yang menghargai, kita dapat memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi bangsa yang utuh, harmonis, dan damai.

0