raundoh tul jannah
13 Oct 2020 at 00:34


Bahasa ialah perantara utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang digunakan sebagai alat komunikasi guna tercapainya tujuan dan maksud. Bahasa tidak hanya berupa ujaran atau yang kita kenal dengan bahasa lisan, namun ada pula bahasa tulisan atau bahasa lisan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Apalagi di era banjir informasi dan arus media sosial yang sangat masif, media tulisan sangat digemari kebanyakan warganet. Entah digunakan untuk membagikan informasi, lowongan kerja, info kejadian, mempromosikan produk atau hanya sekadar mencurahkan isi hati.

Sahabat Damai tentu saja sering menemui hal semacam itu di kehidupan keseharian. Namun, apakah Sahabat juga mengamati pemilihan diksi hingga tindak tutur setiap konten yang dibagikan? Pemilihan diksi sangatlah penting, ada peribahasa yang mengatakan bahwa “mulutmu harimaumu” atau “kata-katamu kualitas dirimu.” Berdasarkan ungkapan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berhati-hatilah dalam mengucapkan sesuatu dan tata krama ialah hal mutlak, meskipun di media berbagi foto ataupun video.

Tata krama atau etika dalam berinteraksi dengan orang lain, tidak hanya berlaku ketika dilakukan secara langsung atau tatap muka. Kewajban sebagai pembawa pesan yang baik juga harus diaplikasikan manakala berkomunikasi melalui bahasa tulisan. Memperhatikan etika atau tata krama tersebut disebut dengan etika tindak tutur, yang saat ini mulai luntur.

Seperti halnya yang penulis alami secara masif baru-baru ini ketika menjadi salah satu komunikator dalam suatu kegiatan yang melibatan orang baru dan berkomunikasi melalui bahasa tertulis. Pengaplikasian tindak tutur yang santun faktanya memang kurang diperhatikan. Hal tersebut tercermin dari beberapa hal berikut ini.

 

  1. Siapa lawan bicara. Generasi saat ini kebanyakan sudah mulai melpukan lawan bicara dan bagaiamana cara berbicara dengan orang tersebut. Hampir warga +62 menyamaratakan antara berkirim pesan dengan teman, kepada guru, orangtua, pimpinan kerja atau orang yang lebih dewasa meskipun baru dikenal. Semakin tidak dapat menyaring pengaruh barat yang masuk, maka sekat budaya tindak tutur itu semakin nampak.
  2. Malas membaca secara rinci. Grup kelompok atau chatting sekarang banyak dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara global dan masal. Namun, pada faktanya masih saja banyak orang yang tidak memfungsikan sesuai kegunaannya. Misalkan saja, menanyakan kembali baik secara personal atau menimpali komental terkait hal-hal yang sudah dibahas di dalam grup secara jelas sebelumnya. Alasan klasik yang digunakan ialah “pesan tertumpuk dan tidak sempat membaca.” Melihat fenomena ini dan hampir terjadi pada peserta kegiatan, penulis sungguh sangat prihatin.
  3. Tidak memberikan tanggapan sebagai response dalam bertindak tutur. Ketika menerima pesan atau broadcash biasanya akan diresponse secara perseorangan langsung. Uniknya, yang penulis temui saat ini adalah budaya hanya membaca dan tidak meresponse pesan yang dikirimkan. Hal tersebut sangat disayangkan, karena secara tidak langsung akan menyulitkan pekerjaan orang lain sekaligus pihak pengirim tidak mengetahui bagaimana tanggpan dari pihak yang diberi informasi tersebut ya Sahabat. Termasuk memberikan tanggapan yang baik dengan sopan.

Sahabat Damai, itulah mengapa pendidikan karakter dalam bertindak laku sangat penting. Baik  dilakukan dalam keseharian ketika proses bertutur dengan lawan tutur terdekat maupun dengan masyarakat. Jangan lupa, budayakan ucapkan terimakasih, tolong dan maaf kepada siapa saja kepada yang lebih muda atau dewasa, ya Sahabat, tentu tidak akan ada merugi. Raundoh Tul Jannah (R.T.J).

0