Riska Yuli Nurvianthi
04 Aug 2022 at 08:00


Masalah radikalisme dalam Islam yang masuk melalui lingkungan pendidikn fomal sepeti di sekolah mupun perguruan tinggi merupakan masalah yang sangat menarik jika dikaji karena masuknya paham tersebut sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen pendidikan yang ada di sekolah.

Sepeti kasus dugaan radikalisme yang menjerat salah seorang dosen berinisial AB yang berasal dari IPB sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia pada September 2019. Selain itu berlanjut pula pada kasus penusukan terhadap Wiranto (Menko Polhukam pada waktu itu) oleh pasangan suami Istri yang diduga kelompok Islam radikal yang lantang menyuarakan pemerintah sebagai thaghut (berhala).

Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh elemen masyarakat Indonesia rentan terhadap paham-paham ekstrim terutama yang menggunakan agama sebagai basis ideologinya. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme Islam.

Zunly Nadia mengungkapkan bahwa radikalisme Islam dinisbatkan sebagai gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan serta mempertahankan keyakinan mereka. Radikalisme tidak bisa dilabelkan hanya kepada Islam, karena radikalisme bisa menjangkit pada sector apapun dalam kehidupa manusia baik ekonomi, politik, problem sosial dan lain sebagainya tak terkecuali agama.

Namun dikarenakan maraknya aksi-aksi radikalisme yang terjadi dalam beberapa kurun waktu ini lebih cenderung ke dalam isu-isu ideologi keagamaan, maka seolah-olah agama adalah sarang radikalisme. Oleh karena itu menjadi benar tindakan yang dilakukan leh pemerintah dan aparat untuk memberikan edukasi tentang hakikat radikalisme dalam konteks yang lebih luas.

Hal tersebut diperlukan guna menghindari stigma negatif terhadap suatu agama akan radikalisme yang sebenarnya hanya diperagakan oleh sebagian oknum ummat yang tidak bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Radikalisme sebagai fenomena internasional akan menjadi kuat dan berbahaya bagi stabilitas keamanan dunia manakala mereka yang beragama justru memiliki peran besar di dalamnya. Hal itu dikarenakan kaum radikalis yang beragama akan cepat memperoleh fatwa-fatwa fiqhiyyah bagi perilakunya.

Perilaku tersebut menjadikan dirinya merasa puas dengan fatwa-fatwa tersebut, seperti fikrah at-takfir (ide pengkafiran), merampas hak milik orang lain, menyandera wanita dan anak-anak, hingga membunuh mereka yang dianggap kafir. Itulah sebabnya mengapa radikalisme agama dikatakan oleh banyak kalangan sebagai benih munculnya terorisme

Pada dasarnya masyarakat, semua menolak ekstremisme yang menyebabkan kekerasan sebab semua ajaran agama menurut mereka tidak mendukung kekerasan. Namun demikian, Islam sering dijadikan ilustrasi sebagai agama pendukung ekstremisme kekerasan karena dalam agama ini dikenal doktrin jihad.

Jihad bagi “mereka” tidak bisa dikatakan sebagai kekerasan, karena jihad adalah perang. Kalangan teroris berargumen bahwa Islam memang menyediakan dasar yang kuat untuk berperang (jihad) asalkan untuk kepentingan agama termasuk memerangi system rezim yang tidak cocok dengan aspirasi politik Islam mereka.

Pada dasarnya masyarakat, semua menolak ekstremisme yang menyebabkan kekerasan sebab semua ajaran agama menurut mereka tidak mendukung kekerasan. Namun demikian, Islam sering dijadikan ilustrasi sebagai agama pendukung ekstremisme kekerasan karena dalam agama ini dikenal doktrin jihad. Jihad bagi “mereka” tidak bisa dikatakan sebagai kekerasan, karena jihad adalah perang.

Kalangan teroris berargumen bahwa Islam memang menyediakan dasar yang kuat untuk berperang (jihad) asalkan untuk kepentingan agama termasuk memerangi system rezim yang tidak cocok dengan aspirasi politik Islam mereka.

Walaupun di satu sisi ada kondisi nyata yang cukup mengkhawatirkan, di sisi lain pendidikan harus tetap menjadi wahana agar berbagai nilai dapat didiskusikan secara terbuka. Kampanye toleransi yang dilakukan oleh pemerintah akhir-akhir ini diharapkan dapat menjangkau lembaga-lembaga pendidikan di tanah air melalui Kemendikbud, Kemenag, dan Kemenristekdikti. Sekolah harus dibekali kerangka kerja dan program untuk menumbuhkan sikap moderat dan toleransi.

Imbauan dari Kemendikbud agar pihak sekolah berperan aktif dalam melawan bahaya terorisme perlu terus disosialisasikan. Contoh imbauan tersebut yaitu para guru dan kepala sekolah diharapkan dapat mengajak siswa untuk melakukan beberapa hal, seperti:

  1. Menyediakan waktu bicara pada siswa tentang kejahatan terorisme. Siswa menjadikan guru tempat mencari informasi dan pemahaman tentang apa yang sedang terjadi.
  2. Membahas secara singkat apa yang sedang terjadi, meliputi fakta-fakta yang telah terverifikasi. Jangan membuka ruang terhadap rumor, isu, dan spekulasi.
  3. Memberi kesempatan siswa untuk mengungkapkan perasaannya tentang tragedi/kejahatan yang terjadi. Nyatakan dengan jelas rasa duka kita terhadap para korban dan keluarganya.
  4. Mengarahkan rasa kemarahan pada sasaran yang tepat, yaitu pada pelaku kejahatan, bukan pada identitas golongan tertentu yang didasari pada prasangka.
  5. Mengarahkan untuk kembali pada rutinitas normal. Terorisme akan sukses apabila mereka berhasil memengaruhi kehidupan sehari-hari dan kehidupan kebangsaan kita.
  6.  Mengajak siswa berpikir positif. Ingatkan bahwa negara kita telah melalui banyak tragedi dan masalah dengan tegar, gotong royong, semangat persatuan, dan saling menjaga.
  7. Mengajak siswa berdiskusi dan mengapresiasi kerja para polisi, TNI, petugas kesehatan yang telah melindungi, melayani, dan membantu kita di masa tragedi. Diskusikanlah lebih banyak tentang sisi kesiapan dan keberanian mereka daripada sisi kejahatan pelaku teror.

Selain itu, Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kemenag di daerah juga harus mampu mengidentifikasi sekolah-sekolah yang rentan terhadap radikalisme dan melakukan langkah persuasif untuk mencegah menyebarnya radikalisme di sekolah tersebut.

Sahabat damai, di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan riset radikalisme di dunia pendidikan guna mengantisipasi radikalisme di ranah kampus. Tidak ada ruang yang benar-benar steril dari radikalisme, termasuk pendidikan tinggi.

Beberapa kasus membuktikan para pelaku radikal berasal dari golongan ekonomi mampu dan berpendidikan cukup, bahkan beberapa di antaranya sudah bergelar doktor. Riset kampus terhadap radikalisme dapat memberi masukan kepada pemerintah mengenai tren radikalisme, termasuk cara mengatasinya.

Di beberapa daerah, radikalisme memiliki karakter spesifik dan perlu dipelajari serta diantisipasi dengan cara yang spesifik dan fundamental. Semakin banyak referensi riset kampus yang dimiliki, maka dapat lebih efektif serta efisien membendung tumbuhnya radikalisme.

Kita berharap konteks ini, pendidikan menjadi proses pengembangan cara berpikir kritis, ajang yang mendorong pertukaran ide dan cara pandang yang berbeda secara aman. Lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menyemai ide-ide inklusif, penghargaan dan kemampuan untuk merespons perbedaan, serta penguatan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan toleransi, terutama sejak tingkat dasar.

Lembaga pendidikan bukan sebagai tempat untuk memupuk stigma, kecurigaan, atau membangun ketakutan atas mereka yang berbeda. Lembaga pendidikan juga merupakan laboratorium, tempat para peserta didik bereksperimen dengan perbedaan, berlatih empati, menguji interaksi dengan sejawat dan otoritas lembaga pendidikan.

Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mampu melatih dan menghadirkan pengalaman hidup bermasyarakat yang lebih kompleks, sekaligus membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang relevan.

Pengesahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang dapat dijadikan langkah awal proaktif untuk mempromosikan keterbukaan, keberagaman, integrasi sosial, dan konstruksi identitas yang beragam di lembaga pendidikan di tanah air dan pemberantasan terorisme sampai ke akar-akarnya.

Komisi X DPR RI dengan mitra kerja yang mengurusi seluruh jenjang pendidikan dari usia dini sampai pendidikan tinggi negeri dan swasta, serta Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan pengelola jenjang pendidikan dari usia dini sampai pendidikan tinggi keagamaan harus berperan aktif dalam melaksanakan pengawasan terutama dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang penanggulangan terorisme yang melibatkan lembaga pendidikan.

Sehingga semua lembaga yang berpengaruh harus bekerjasama saling merangkul dan melakukan penerapan strategi masing-masing secara satu padu dengan tujuan bersama yaitu memberantas seluruh elemen baik yang berpotensi maupun yang telah terpapar radikalisme-terorisme hingga akar-akarnya.

0