Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 16:49Sahabat damai, NKRI tercinta ini menjadi negara yang berulang kali menjadi korban kekejaman aksi terorisme, sehingga menyuarakan suara sebagai strategi meredam penyebaran paham tersebut akan terus di galakkan secara serentak dengan tujuan merata keseluruh elemen masyarakat Indonesia.
Sudah sepantasnya kita mengulas Apa sebenarnya Radikalisme dan bagamana kelompok tersebut bisa masuk di perguruan tinggi serta seperti apa faktornya? Hal ini perlu kita kaji bersama-sama.
Olehnya duta damai Sulawesi selatan hadir untuk menyajikan berbagai macam tulisan dengan tujuan memberikan gambaran dan sebagai langkah strategi dalam menyadarkan seluruh elemen masyarakat di negara tercinta ini agar mewaspadai diri dari serangan dan pengaruh kelompok radikal tersebut demi mewujudkan NKRI aman dan damai.
Sahabat damai, secara etimologi radikal berasal dari bahasa latin radix yang mempunyai makna “akar” dan istilah ini digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Kemudian dalam bahasa Inggris kata radical bermakna ekstrim, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis. Selanjutnya menurut pendapat Irwan Masduqi dalam bukunya “BerIslam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama mengatakan:
“Radikalisme adalah fanatik kepada sutu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, mengabaikan Literasi Paham Radikalisme di Indonesia terhadap kesejahteraan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok orang lain yang tak sepaham dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan maqasihid alsyari’at (esensi syariat)”
Kemudian menurut pendapat Ahmad Rubaidi dalam bukunya yang berjudul Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia bahwa, Radikalisme sering dimaknai berbeda diantara kelompok kepentingan.
Pada sudut pandang keagamaan, Radikalisme diartikan sebagai gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
Devinisi lain menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil merumuskan bahwa, Radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.
Menurut pendapat Agus Surya Bakti dalam bukunya yang berjudul Darurat Terorisme : Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi bahwa, Radikalisme dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu melalui pemikiran dan tindakan. Menurut hal pemikiran, Radikalisme berfungsi sebagai Ide yang bersifat abstrak dan diperbincangkan sekalipun mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Selain itu bentuk aksi atau tindakan dari Radikalisme berwujud pada aksi dan tindakan yang dilakukan aktor sebuah kelompok garis keras dengan cara kekerasan dan anarkis untuk mencapai tujuannya, baik dibidang keagamaan, sosial politik dan ekonomi.
Asal dan Sejarah Kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme dalam Islam dilihat dari dua faktor, yaitu: 1. Faktor internal dimana adanya legitimasi teks keagamaan. Dalam melakukan “perlawanan” sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini Literasi Paham Radikalisme di Indonesia mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”Negara Islam Internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama.
Sahabat damai, Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya : Pertama, dari aspek ekonomi politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyelewengdari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam.
Rezim-rezim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. Penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang.
Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang hingga melanggengkan kehadiran funda mental islam. Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasikehidupan saat ini,
Sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi. Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalahteroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat islam.
Radikalisme di kalangan mahasiswa pertama kali muncul Pada tahun 2011. Tempatnya di Malang Jawa Timur, sembilan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjadi korban aksi pencucian otak oleh sebuah aliran sesat. Kriteria Radikalisme menurut Yusuf al-Qardhawi menemukan relevansinya.
Sahabat damai, awal munculnya gerakan atau faham radikal di Perguruan Tinggi diakibatkan adanya analisis tertuju pada Perguruan Tinggi umum (sekuler). Ada banyak penelitian yang menguatkan kesimpulan itu, misalnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama tahun 1996 pada empat perguruan tinggi sekuler (UI, UGM, Unair, dan Unhas).
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama tahun 1996 pada empat perguruan tinggi sekuler (UI, UGM, Unair, dan Unhas) itu menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas keagamaan di empat kampus umum sekaligus menjadi tempat yang paling potensial berkembangnya aktivitas keislaman (religius) yang cenderung eksklusif dan radikal.
Dengan demikian, revivalisme Islam tidak muncul dari kampus-kampus berbasis keagamaan, tetapi dari kampus-kampus sekuler (umum). Perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi target perekrutan gerakan-gerakan radikal, daripada perguruan tinggi berbasis keagamaan yang dianggap lebih sulit.
Dalam pengukuhan guru besarnya, Masdar Hilmy menegaskan gerakan radikalisme lebih sering menyerang mahasiswa di universitas umum dengan jurusan Literasi Paham Radikalisme di Indonesia eksakta (matematika, fisika, kimia, dan biologi).
”Mahasiswa eksakta di universitas umum lebih mengandalkan ilmu logika dalam setiap memutuskan segala hal, kalau di UIN yang sudah sering diberi wawasan tentang madzab dalam Islam maka akan lebih bisa mengambil keputusan tentang tawaran bergabung gerakan radikalisme,” katanya.
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini mencontohkan gerakan radikalisme yang dilakukan kelompok bawah tanah memberikan pesan bahwa kelompok bawah tanah jarang tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Ini menjadi pemicu radikalisme, tidak adanya persamaan persepsi antara kebijakan dengan kelompok atau golongan, adanya dorongan rasa ingin tahu tanpa diimbangi perhatian dariorang tua untuk mahasiswa.
”Gerakan radikalisme yang lebih sering ditujukan pada mahasiswa karena masa itulah sering terjadi pemberontakan dalam diri untuk memenuhi kebutuhan dan tidak stabilnya emosi mahasiswa serta keluarga yang tidak ada perhatian dan lingkungan yang tidak islami,” ujarnya dalam wawancara Antara Jatim, 6/4/2016 lalu.
Perkembangan terakhir tentang radikalisme, ternyata bukan saja di Perguruan tinggi umum (sekuler), sebagaimana di awal perkembangannya dulu di Indonesia. Ternyata faktanya menunjukkan gerakan radikal pun sudah marak dan subur di kampus-kampus berbasis keagamaan.
M Zaki Mubarak menguraikan secara rinci tentang radikalisme di UIN Jakarta. Sejak 2009. Ada tiga mahasiswa (alumni) berinisial AR, SJ, dan FF terlibat dalam kasus rangkaian terorisme Bom Mega Kuningan (bom bunuh diri di JW Merriott dan Ritz Carlton yang sangat menggemparkan dunia), karena terdakwa menyembunyikan dua gembong Bom Mega Kuningan.
Pada September 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim memvonis ketiga tersangka Bom Mega Kuningan dengan 4 tahun 6 bulan penjara yang semula dituntut 7 tahun penjara. Pada bulan April 2011, peristiwa teror ”Bom Buku” terjadi.
Dari 17 terduga teroris yang ditangkap diketahui empat (Pepi Fernando, M Fadil. Hendi Suhartono alias Jokaw, dan Muhammad Maulani Sani) di antaranya ternyata merupakan alumni (pernah menempuh kuliah) di UIN Jakarta.
Pepi menjadi aktor utama aksi teror bom buku yang dikirimkan kepada Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Dhani, Yapto Soerjoseomarno, dan Gorris Mere, bahkan Pepi dan jaringannya tengah mempersiapkan pengeboman sebuah gereja.
Menurut Zaki, diduga kuat berkembangnya pemahaman keberagamaan radikal di UIN Jakarta ini tidak dapat dipisahkan dengan fakta terjadinya perubahan iklim kehidupan kampus yang lebih terbuka pascareformasi politik 1998.
Sahabat damai tidak dapat dielakkan, terkait longgarnya kegiatan kemahasiswaan di kampus telah menjadikan perguruan tinggi (UIN Jakarta), sebagai ajang kontestasi berbagai kelompok dan aliran keagamaan yang semakin beragam. Fenomena keberagamaan radikal yang semakin meningkat di kalangan mahasiswa, dapat dilihat sebagai efek dari tren yang lebih besar atau nasional (makro).
Meskipun UIN Jakarta lama dikenal sebagai kampus Islam yang getol mengampanyekan pemikiran keagamaan modern, bahkan dianggap liberal, nyatanya institusi pendidikan Islam ini tidaklah imun dari gelombang perubahan-perubahan tersebut.
Pergeseran dari perguruan tinggi umum ke keagamaan dapat membuktikan; Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosis bentuk dan strategi gerakan di internal gerakangerakan radikal.
Sahabat damai, berkembangnya radikalisme di Perguruan Tinggi, menyebabkan potensi radikalisme kerap kali dimotivasi dan dilatari kalangan mahasiswa karena faktor internalisasi pemahaman keagamaan yang cenderung ideologis dan tertutup dan tidak semata-mata beriringan dengan gerakan radikalisme yang bermotif politik anti Barat.
Selain itu, potensi radikalisme yang berbasis pada pemahaman ideologis yang cenderung kaku dan hitam-putih itu terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa Muslim, Katolik, Kristen, Hindu, maupun Buddha.
Hal tersebut senada dengan pendapat Yusuf al-Qardawi dalam bukunya yang berjudul al-Shahwah al-Islamiyah Bayn alJuhud wa al-Tattarruf bahwa, setidaknya ada tujuh faktor yang mempengaruhi kemunculan Radikalisme di Perguruan Tinggi di antaranya adalah:
- Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang didapatkan dan terdoktrinisasi.
- Literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari kulitnya saja akan tetapi sangat minim pengetahuannya tentang wawasan tentang esensi agama.
- Tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder seperti menggerak-gerak kan jari ketika tasyahud, memanjangkan jenggot dan meninggikan celana sembari melupakan masalah- masalah primer.
- Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat. E
- Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwafatwa mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat dan semangat zaman.
- Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk Radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang menolak agama.
- masifnya perkembangan organisasi mahasiswa yang dikenal dengan organisasi ektra kampus dimana kemunculannya bisa menyebabkan penasfiran ganda yang bisa saja melenceng dari aturan organisasi islam yang seharusnya.
Contoh organisasi tersebut yaitu Gema pembebasan yang dibentuk Pada tanggal 28 Februari 2004. Tujuan berdirinya organisasi ini tak lain untuk menjadikan idiologi Islam sebagai arus utama meskipun hal sedemikian sangat bertentangan dengan mayoritas umat Islam pada umumnya.
Kemudian munculnya Gerakan Mahasiswa Pembebasan di Indonesia tidak terlepas dari peran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Walaupun Hizbut Tahrir menganggap bahwa dirinya adalah partai politik tetapi di Indonesia HTI terdaftar di Depertemen hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Ormas Islam. HTI yang melihat permasalahan mahasiswa dan bangsa Indonesia serta melihat potensi gerakan mahasiswa yang strategis tersebut.
Kemudian membuat sebuah divisi khusus untuk mahasiswa, yaitu divisi mahasiswa (Lajnah Mahasiswa) yang disebut dengan “HTI Chapter”. Namun dalam implementasinya HTI Chapter mendapatkan kendala dalam melakukan aktivitas perekrutannya di kalangan mahasiswa.
Kendala tersebut adalah persepsi mahasiswa pada umumnya menganggap bahwa HTI merupakan kelompok keagamaan yang terdiri atas ulama-ulama dan ustadz yang hanya membahas persoalan-persoalan agama saja.
Melihat persoalan tersebut, aktivis HTI yang bersatus mahasiswa di Kota Surabaya kemudian berinisiatif membentuk sebuah organisasi di kalangan mahasiswa untuk membantu HTI dalam melakukan infiltrasi di kalangan mahasiswa tanpa menggunakan nama HTI secara langsung.
Pada awal tumbuh kembangnya orgnisasi ekstra kampus tersebut, dapat dikatakan luput dari perhatian petinggi kampus yang bertugas membina mahasiswa. Fokus pembinaan mahasiswa lebih tertuju kepada organisasi kemahasiswaan (ORMAWA) yang internal kampus.
Di sisi lain, kesan religius yang ditampakkan aktifis mahasiswa yang terdidik dari organisasi ekstra kampus tadi, turut membentuk persepsi positif terhadap mereka dari pimpinan kampus. Sehingga kecolongan perguruan tinggi terjadi.
Perguruan tinggi sangat rentan menjadi sasaran rekrutmen bagi gerakan-gerakan yang bersifat radikal. Salah satunya adalah Gema Pembebasan, HTI chapter dll. Target (sasaran) kelompok radikal khususnya adalah semua kelompok, terutama masyarakat perkotaan, profesional, pelajar dan mahasiswa.
Sebab istilah radikal lebih dekat dengan kepada bahaya, kehancuran dan jauh dari rasa aman. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama Islam sejatinya selalu mengingatkan dan sangat menentang perilaku tersebut.
Sahabat damai, Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan
dangkalnya pemahaman terhadap Agama dan Pancasila. Oleh karena itu,
dibutuhkan pengimplementasian terhadap nilai-nilai Pancasila dan
pembentengan para Mahasiswa dari radikalisme.
Dikutip dari beberapa sumber
0