Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 16:47


Heterogenitas masyarakat dalam hal etnis, bahasa maupun agama merupakan fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari. Masa depan toleransi beragama terpaut erat dengan persoalan bagaimana kita mengelola salah satu perbedaaan itu.

Wahid foundation mengemukakan ada 3 permasalahan yang menjadi kritis kita bersama terkait hadirnya intoleransi di Indonesia yakni Intoleransi dan radikalisme agama sudah merupakan gejala epidemik.

Adanya gerakan kelompok radikal kini mulai berfokus dan mengambil komando di level lokal termasuk fund rainingnya, Telah terjadi transformasi gerakan yang berjejaring dengan gerakan radikal internasional menuju gerakan teror pada sejumlah organisasi.

Sahabat damai, tentu timbul pertanyaan di benak kita, terkait sejauh mana itu semua sudah membudaya? Nyatanya wahid foundation juga mengatakan sepertinya diskursus semacam itu masih relatif terbatas dan berkutat di kalangan elit dan kelompok tertentu.

Temuan itu, bisa dirumuskan secara agak singkat dilihat dari peta diskursus intoleransi selama sepuluh tahun terakhir masih fokus pada dua isu utama yakni intoleransi terhadap Ahmadiyah dan Syiah sedangkan Isu-isu lain cenderung dianggap tidak terlalu mempengaruhi (pinggiran).

Selain itu, peta diskurus radikal atau radikalisme cenderung terpusat pada gagasan khilafah dengan ragam varian gerakan dan sub gagasan, seperti jihad, penegakan syariat Islam dan penegakan negara Islam.

Beberapa kelompok-kelompok yang mengusung gagasan tersebut juga relatif tidak ada perubahan yakni di seputar HTI, MMI, JI, FPI dan, belakangan, berkiblat pada ISIS yang semula JI.

Bisa dikatakan diskursus, aktor dan jaringannya cenderung tidak melebar ke kelompok lain, meskipun ide itu mungkin juga merembes ke mereka. sahabat damai, dari sini bisa diidentifikasi aktor dan jaringan yang memproduksi diskursus tersebut.

Terbukti bahwa diskursus maupun produsernya juga sangat terbatas. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa dikursus maupun aktor dan jaringannya belum berhasil merasuk ke dalam kelompok-kelompok, organisasi dan kelembagaan utama dan mayoritas masyarakat umumnya.

Diskursus maupun jaringan mereka cukup meluas dan sampai ke daerah-daerah. penyebaran paham dan aksi redikalisme dan intoleransi tampak tidak melalui organisasi-organisasi besar melainkan tampaknya melalui organisasi kecil atau perorangan.

Fenomena Islam Transnasional Radikal, terorisme, kontra-terorisme dan deradikalisasi bukanlah sekedar persoalan bagaimana membuat individu atau kelompok agar memiliki pemikiran atau ideologi keagamaan yang lebih lunak dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan teror dalam beragama.

Namun, persoalan ini menjangkau seluruh persoalan mengenai krisis kemanusiaan, keadilan sosial dan peradaban. Ideologi keagamaan yang berpotensi menjadi masalah abadi dalam kaitannya dengan radikalisme keagamaan, sesungguhnya lahir karena krisis kemanusiaan tersebut.

Sahabat damai, mekanisme filterasi dan resistensi sebagai bentuk pencegahan yang serius dan transparan terkait penyebaran cara pandang dan aksi tersebut ke dalam masyarakat yang paling bawah hingga tingkat pemerintahan.

Hal ini bukan hanya melibatkan ormas-ormas besar melainkan juga ormas kecil atau bahkan individu yang berpengaruh. Revitalisasi tradisi dalam masyarakat yang mulai meredep sangat perlu dihidupkan kembali dan didukung secara serius dan terencana oleh pemerintah. Sudah saatnya semua harus memiliki perannya masing0masing saling bahu membahu menindaklanjuti intoleransi yang berujung menjadi paham menyesatkan tersebut.

Arena ini penting untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat yang saling berbeda dalam suatu forum kegembiraan bersama. Berbagai tradisi dalam masyarakat  yang harus terus di terapkan seperti yasinan, tahlilan, arisan, perayaan panen, HUT desa dan kota, wayang, ketoprak, dll penting untuk memberikan kesadaran tentang pencegahan secara menyeluruh.

Sahabat damai, kita tidak akan menjadi pemenang dalam melawan intoleransi, radikal dan terorisme tanpa kerjasama antar lini untuk menegakkan kembali oroitas masing-masing di hadapan masyarakat dan social media land yang sulit dijangkau dengan cara biasa.  Penguasaan dan penggunaan atas elemen-elemen dalam teknologi informasi menjadi modal dan langkah nyata dalam melakukan pencegahan melalui konten narasi yang sesuai. Selebihnya, pendekatan penegakan hukum dan pencegahan aksi kekerasan menjadi tugas pemerintah dan aparat penegak hukum.

Adanya pemikiran deradikalisasi juga merupakan jalan alternatif melalui pembangunan agama, sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan oleh aktor-aktor masyarakat sipil, sebenarnya patut diperhitungkan.

Reformasi agama dan keberagamaan yang memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan, kebebasan, pluralisme dan keadilan sosial, adalah praksis dari hasil pembaruan deradikalisasi.

Seiring dengan ini semua, pemerintahan yang bersih, penegakan hukum dan keadilan, serta jaminan kesejahteraan, keamanan dan demokrasi, menghidupkan kembali nilai-nilai hidup di masing-masing tempat kita berasal dan berpijak juga menjadi kunci sukses deradikalisasi.

0