Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 16:39Perayaan hari kebangkitan nasional telah berlalu di Mei kemarin, namun bukan berarti semangat memaknai kebangkitan akan berakhir, tetapi justeru menjadi stimulus baru dalam merumuskan kembali penguatan-penguatan pada generasi Z agar bangkit mewujudkan kemajuan dan menyiapkan diri menjadi generasi terbaik dalam berbagai sektor.
Anak-anak muda kelahiran tahun 2000-an dikenal dengan generasi Z. Mereka yang terlahir pada tahun-tahun itu pada umumnya memiliki karakter ingin dikenal dan motivasi tinggi untuk mengenal hal-hal baru.
Mereka menyukai tantangan dan sesuatu yang baru ketimbang apa yang diinisiasi oleh generasi terdahulu. Penggunaan medium teknologi bersamaan dengan derasnya informasi di sekelilingnya ikut membentuk karakter yang kuat di kalangan generasi Z.
Di era digital yang mana hampir semua sisi kehidupan berbasis teknologi, tak dapat dipungkiri bila itu sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari keseharian. Demikian yang membuat generasi Z mulai banyak memanfaatkan teknologi untuk menciptakan suatu inovasi terbarukan sehingga takkan ketinggalan zaman.
Harapan besar pada generasi Z juga agar makin banyak anak bangsa yang berhasil dikanacah internasional seperti memenangkan perlombaan, dan kreatifitas dibidang teknologi yang berarti bangsa ini tidak kalah SDM nya dengan negara maju lainnya.
Penggunaan teknologi seperti media sosial untuk promosi kearifan lokal serta budaya. Berdampak positif dan mampu membawa harum Indonesia misalnya saja pada keragaman pesona destinasi wisata yaitu dari sabang sampai merauke.
Namun teknologi tidak selalu berdampak positif , seperti halnya penggunaan sosial media yang berlebihan, sebab beberapa oknum dengan mudahnya menyebarkan informasi-informasi palsu (hoax) yang merajai dan menjadi momok berbahaya bangsa.
Sahabat damai, adanya Hoax tersebut mengundang perpecahan yang dengan mudahnya terjadi diakibatkan dari sebuah postingan/status disosial media dan gerakan-gerakan provokatif semakin banyak dan menghantui.
Selain itu, jika kita menyinggung terkait paparan kelompok terorisme nyatanya generazi Z menjadi target utama untuk penyebaran paham ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Data dari badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa generasi Z cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang minim, sehingga sangat mudah untuk “disuntikkan” paham-paham yang melenceng.
Sehingga demikian, Adagium klasik “anak muda harapan bangsa” tetap relevan hingga kini. Generasi Z diharapkan dapat membaca, mewaspadai, dan menangkal berbagai potensi negatif yang berkembang di sekitarnya, termasuk kekerasan atas nama agama dan kelompok melenceng tersebut.
Saat ini penyebaran ekstremisme agama di kalangan generasi Z cukup mengkhawatirkan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh seraphin alava (dkk), dalam youth and violent extremism on social media mapping the research (2020), generasi muda merupakan usia yang cukup rentan terpapar oleh paham radikalisme yang berpotensi kepada kekerasan.
Menurut riset ini pula, cara yang efektif untuk mencegah generasi muda terpapar paham ekstremisme kekerasan adalah adanya jiwa patriot yang mencintai akan bangsa dengan bangkit melawan menyarakan perdamaian dengan menyediakan literatur dan narasi alternatif yang lebih kuat
Sahabat damai, memaknai kebangkitan, generasi Z dapat melihat langsung dampak buruk aksi-aksi kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama dari penyintas yang telah mengakui kesalahannya dan menobatkan diri.
Sementara dari mantan pelaku terorisme, generasi Z dapat memelajari pengalaman mereka yang pernah terjerumus dalam jejaring ekstremisme dan kemudian menyesalinya. Jejak pertobatan mereka yang harus diteladani, bukan apa yang dilakukannya dahulu.
Selain itu dalam memaknai kebangkitan, generazi Z harus memperdalam pendidikan literasi bermedia sosial agar proses penyebaran informasi yang baik, serta teliti dalam hal-hal yang bersifat tidak benar ataupun hal-hal yang tidak pasti agar menjadi generazi yang bijak dalam bermedia sosial.
Referensi : Berbagai Sumber
0