Gusveri Handiko
23 Dec 2020 at 23:06


Ada banyak gesekan dan ketegangan yang berujung konflik, baik di tingkat lokal, regional hingga global. Di tingkat global, gejala populisme dengan propaganda-propaganda berbasis sentimen primordial sedang mengalami pasang-surut. Di Timur Tengah konflik dan ketegangan juga tak kunjung usai, ditambah dengan pernyataan pemerintah AS terkait dukungannya terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah membuat dunia kian memanas.

Di Asia Tenggara, ketegangan yang melibatkan etnik Rohingya juga belum selesai. Sementara ditingkat nasional berbagai ketegangan juga masih mewarnai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Narasi-narasi konflik masih menghantui dan membuat kian was-was akan keberlangsungan kehidupan masyarakat majemuk secara harmonis. Agama seolah menjadi faktor utama paling dominan dalam berbagai kekisruhan. Hal itulah yang sering diwartakan oleh media-media arus utama.

Pasca reformasi 1998, Indonesia sempat mengalami konflik komunal – kasus Poso, Ambon, Papua dan lain sebagainya, semuanya ditujukan pada satu titik, yakni agama. Akan tetapi, ada sebagian kalangan berpendapat bahwa kasus-kasus tersebut tidak serta-merta disebabkan oleh agama, melainkan ada faktor lain yang tersembunyi dibaliknya. Seperti halnya kasus di Rakhine, bukan karena etnik Rohingnya seorang Muslim dan Buddha menjadi agama dominan di Myanmar yang membuat etnik Rohingnya dideportase dari wilayahnya.

Namun di sana juga ada kepentingan lain, seperti ekonomi karena wilayah Rakhine diduga kaya akan sumber daya alamnya. Akan tetapi publik tidak digerakkan oleh nilai moral yang ada pada diri mereka melainkan ia berkompromi dengan wacana yang dilontarkan oleh pemilik kuasa. Sehingga agama menjadi sah sebagai wacana pemicu berbagai konflik dan krisis kemanusiaan, sebagaimana yang diwartakan oleh media yang memiliki kuasa (kuasa media). Dengan demikian atas nama agama keharmonian dan perdamaian pun dipertaruhkan.

Membahas agama memang sangat sukar mendapatkan titik temu, karena semua pemeluk agama mengklaim kebenaran yang menjadi miliknya, terhadap kelompok yang sudah memiliki kebenaran. Selain itu timbulnya karakter ekslusif dari salah satu kelompok agama dapat pula meyebabkan “gagal akal” baik dari penganut ataupun pemeluk agama lain untuk memahami dan membedakan antara substansi ajaran dengan tradisi dan budaya. Hal ini yang sering kali menjadi salah tafsir sehingga hujatan kafir atau sesat tidak jarang terlontar dari pemeluk agama lain. Agama hadir untuk manusia dan selagi manusia ada, maka agama tak akan pernah sirna. Karenanya Rajiv Gandhi mengatakan, tak ada yang lebih tercela selain kekerasan atas nama agama. Kekerasaan atas nama agama berarti menegasikan agama.

Para faoundig fathers tidak menempatkan agama sebagai landasan bernegara melainkan Tuhan sebagai yang utama dalam bernegara. Hal itu telah tertuang pada sila pertama pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Agama sejatinya adalah jalan damai dari Tuhan karena tidak satu agama pun mengajarkan kejahatan. Pada dasarnya semua agama dibangun berdasarkan etika dan tata susila. Dalam Islam hal itu disebut Syariat, Kristen menyebutnya Sepuluh Perintah Tuhan, dalam Hindu disebut Trikaya Parisudha dan Buddha menyebutnya sebagai Sila. Semua itu bertujuan sebagai penyempurna manusia untuk mencapai kebenaran sejati, yakni Tuhan sang Pencipta Alam Raya.

Jika kita melihat kembali pada substansi ajaran agama yang menjadi dasar dari terciptanya agama-agama maka kita akan temui suatu garis linier yang menghubungkan ajaran-ajaran tersebut. Islam sebagai rahmatan lil alamain, mengajarkan kasih sayang dan saling menghargai, hidup toleran dan manusia dilarang membunuh, tidak boleh mengambil hak orang lain dlsb. Maka sesungguhnya dalam Kristen, Hindu dan Buddha pun juga mengajarkan demikian.

Setelah Sidharta Gautama melihat penderitaan manusia, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan istana dan menjadi seorang pertapa. Gautama menanggalkan semua perhiasan yang ia miliki dan melepaskan kemelekatannya akan dunia. Karena baginya dunia adalah sumber kedukhaan bagi manusia. Serupa dengan Gautama, ketika Utsman bin Affan melihat Muhammad Saw tidur diatas pelepah kurma lalu ingin memberikan kasur untuknya, Muhammad Saw berkata,  “tidak”. Muhammad Saw telah mentalak tiga dunia, dalam Islam hal itu disebut asketik atau zuhud.

Sementara itu, untuk mencapai kebenaran, dalam epos Mahabbharata, Krisna mengajarkan pengetahuan karena pengetahuan akan melahirkan cinta. Hanya dengan cinta akan kebenaran manusia dapat berlaku adil. Setelah itu keadilan diaplikasikan melalui pengabdian dan dalam proses mengabdi harus dijalani dengan kesabaran. Itulah lima dasar kebenaran menurut Krisna dan hal itu juga serupa, baik di Kristen mapun Islam – dimana cinta menjadi landasan dalam berkehidupan yang ke semuanya bermuara pada kesabaran.

Semua agama-agama secara praktik memang tidak sama, namun secara esensi ia serupa. Oleh sebab itu, jika dialog yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lintas agama dengan mengedepankan persamaan konsep ajaran tersebut, maka dengan cara demikianlah kita dapat menerima kehadiran Tuhan dalam kebersamaan dengan seluruh umat manusia. Hal itu dapat menciptakan pluralisme dalam beragama. Karena sejatinya agama mengajarkan cinta dan perdamaian bukan perang dan permusuhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Arabi, agamaku adalah agama cinta dan akan ku ikuti kemanapun langkahnya.

Dengan berpegang pada persamaan konsep ajaran agama, maka setidaknya agama tidak menjadi dalih pada setiap konflik dan ketegangan yang terjadi. Dengan begitu agama berada pada kemurniannya, yaitu menghargai dan menebar kasih sayang di muka bumi. Jika rasa lapar akan perdamaian telah melanda dunia, maka satu-satunya jalan adalah kembali pulang dan menjadikan agama sebagai jalan damai bagi umat manusia.

Dengan demikian, tugas manusia ialah saling tolong-menolong dalam melakukan kebajikan dan taqwa. Ali bin Abi Thalib berpesan, mereka yang bukan saudara dalam seiman adalah saudaramu dalam kemanusian. Maka semoga kita hidup damai dalam naungan Ketuhanan yang Maha Esa. Karena dengan mengaplikasikan sila pertama ini, maka selanjutnya kita dapat mengaplikasikan sila-sila berikutnya dalam pancasila. 

0