Onriza Putra
13 Nov 2020 at 17:32


Onriza Putra – Duta Damai Regional Sumatera Barat

Dalam buku terbitan Tempo, “Hatta : Jejak yang Melampai Zaman” tertulis, “jika masih hidup dan diminta melukiskan situasi sekarang, Muhammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu”. Begitulah penggambaran sosok Hatta di mata Tempo.

Bagi Hatta, pena adalah kekuatannya untuk memerdekakan bangsa. Seperti Mahatma Gandhi, Hatta melakoni perjuangan tanpa kekerasan. Tidak ada jaminan perjuangan melalui tulisan adalah jalan aman dan tidak beresiko. Melalui tulisannya di majalah Hindia Poetra, Hatta ditahan tahun 1927. Dalam sidang pengadilan, Hatta menyampaikan pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Vrij.

Sepulangnya ke tanah air, pergerakan Hatta dimulai dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Ketajaman penanya disalurkan melalui Daulat Ra’jat, sebuah koran terbitan PNI. Tulisan-tulisan Hatta di Daulat Ra’jat mengantarnya menjadi orang buangan. Hatta, Syahrir dan beberapa tokoh pergerakan lainnya dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya.

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, pertemuan Hatta dan Soekarno dimulai dengan perang gagasan. Melalui tulisan, kedua tokoh saling beradu ide dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan. Hatta seringkali mengkritik gaya pergerakan Soekarno. Dalam Daulat Ra’jat, Hatta menyentil Soekarno, ” demonstrasi dan agitasi sadja adalah mudah, karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terua menerus. Dengan agistasi mudah menggembirakan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang“.

Untuk membalas kritikan Hatta, Soekarno menulis “Bung tidak akan memperoleh kekuatan melalui untaian kata-kata. Belanda tidak takut pada untaian kata-kata. Mereka hanya takut pada kekuatan nyata, yang digalang dari kerumunan massa“.

Perang gagasan kedua tokoh ini tajam sekaligus saling mengasihi satu sama lain. Ketika Hatta muda ditahan belanda atas tulisannya, Soekarno melakukan rapat-rapat dan penggalangan dana untuk mendukung langkah Hatta. Begitu juga saat Soekarno ditahan di penjara Banceuy tahun 1929, Hatta dalam tulisannya mengecam jalannya persidangan yang tidak adil bagi kaum pergerakan. Tulisan ini termuat dalam artikel berjudul “de vernietiging den PNI“.

Hingga pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden tahun 1956, Hatta tetap menggoreskan pena untuk menyampaikan kritikannya kepada Soekarno. Kritikan 25 halaman tersebut dibukukan menjadi “Demokrasi Kita“. Kritikan yang diterbitkan majalah Panji Masyarakat itu ditujukan pada konsep Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. “Tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu” tulis Hatta.

Hatta adalah sosok yang sederhana dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kutipannya yang kita kenal adalah “aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas“. Dia adalah seorang intelektual yang produktif menulis. Tidak kurang dari 800 tulisan yang dihasilkannya dalam bentuk artikel, esai, pidato, makalah dan lainnya.

Kesederhanaan Hatta tergambar sepanjang hidupnya. Dalam buku “Untuk Republik : Kisah-Kisah Keteladanan Tokoh Bangsa” Hatta diceritakan tidak mampu membeli sepatu yang diimpikannya hingga akhir hayat.

Hatta menjadikan tulisan sebagai amunisinya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan tulisannya masih relevan hingga sekarang. Seperti yang digambarkan Tempo, tulisan Hatta melampaui zaman(nya). Hatta adalah buku yang tak pernah dibaca.

0