rizki1
05 Mar 2020 at 00:51Kontroversi Undang-undang Amandemen Kewarganegaraan yang disahkan Narendra Modi, Perdana Menteri India yang disokong oleh kekuatan politik sayap kanan (konservatif) akhirnya memuncak menjadi kerusuhan. Protes umat Muslim atas pemberlakuan UU itu segera mendapat respons keras oleh kelompok Hindu konservatif yang mendukung pemberlakuan UU tersebut. Bentrokan pun akhirnya terjadi di sejumlah kawasan di New Delhi pada 23 hingga 27 Februari 2020 lalu, menyebabkan 30 orang tewas dan 250 lainnya terluka.
Secara kebetulan, aksi protes berujung bentrok itu terjadi di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke India pada 25-26 Februari 2020. Trump melawat ke India untuk menghadiri rapat akbar bertajuk “Namashte Trump”. Banyak media India, terutama yang berhaluan kritis pada pemerintah mempertanyakan konsep dan tujuan acara tersebut. Beberapa kalangan menyebut acara itu tidak lebih dari semacam glorifikasi kepemimpinan Trump dan Modi yang sama-sama berwatak konservatif.
Trump dan Modi memang memiliki sejumlah kesamaan. Mereka berdua berhasil memenangi kontestasi politik praktis dan menjadi pemimpin di negaranya masing-masing dengan mengeksploitasi politik identitas. Di Amerika, Trump selalu menjual sentimen anti-imigran dan anti-minoritas -termasuk Islam- untuk menarik simpati pemilih dari kalangan Kristen konservatif di Amerika. Strategi itu jitu. Secara popular vote, perolehan suara Trump memang kalah jauh dibanding rivalnya yakni Hillary Clinton. Namun, secara electoral vote, Trump berhasil mengungguli Hillary, terutama di negara-negara bagian yang penduduknya dikenal berhaluan konservatif.
Di masa kepemimpinannya, Trump tidak pernah lelah membikin kontroversi melalui kebijakan-kebijakannya yang rasialis, anti-imigran dan anti-minoritas. Semboyan “Make America Great Again” benar-benar ia wujudkan dalam penafsiran yang paling dangkal. Yakni bahwa Amerika hanyalah untuk warga Amerika dan tidak ada tempat bagi mereka yang bukan Amerika. Tentu yang dimaksud dengan “Amerika” di sini adalah Amerika versi rezim Trump.
Baca Juga : Genosida India, Politik Identitas dan Upaya Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan
Begitu pula Modi di India. Dia berhasil naik ke tampuk kekuasaan tertinggi di India dengan kampanye yang mendeskreditkan kaum muslim. Ia paham benar bahwa sentimen keagamaan ialah komoditas politik paling laku di India. Maka, ia mengeksploitasi isu keagamaan secara masif demi mendapatkan simpati di kalangan pemilih Hindu konservatif, ceruk pemilih yang selama ini menjadi basis politiknya. Strategi Modi itu pun berhasil mengantarkannya ke kursi Perdana Menteri.
Hampir sama dengan Trump, masa kepemimpinan Modi pun diwarnai dengan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi kaum minoritas, terutama kaum Muslim. UU Amandemen Kewarganegaraan yang menyulut aksi protes kaum Muslim itu adalah salah satunya. Dalam UU tersebut termuat aturan bahwa imigran asal Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan dimungkinkan mendapat kewarganegaraan India, kecuali jika beragama Islam. Selain itu, UU tersebut juga mewajibkan umat muslim India untuk membuktikan kewarganegaraannya. Aturan itu dinilai banyak kalangan berpotensi menghilangkan status kewarganegaraan kaum Muslim India.
Jika dibaca dalam leksikon ilmu politik, gaya dan corak politik yang ditunjukkan oleh Trump maupun Modi cenderung mengarah pada gaya politik sektarian. Yakni gaya politik yang mengeksploitasi sentimen fanatisme masyarakat terhadap identitas keagamaan, kesukuan maupun etnisitas dan menggunakannya untuk kepentingan politik elektoral-pragmatis. Politik sektarian dapat diidentifikasi dari perilaku para elite politik yang gemar mengkomodifikasi isu perbedaan suku, ras dan agama demi memperoleh simpati publik.
Dalam konteks Indonesia, praktik politik sektarian bisa kita lihat pada momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta tahun 2017 lalu. Belum lekang dalam ingatan kita bagaimana kontestasi berebut kursi DKI kala itu tidak hanya diwarnai oleh perang gagasan, program dan visi-misi, serta strategi politik. Sebaliknya, Pilkada DKI 2017 justru lebih banyak diwarnai oleh propaganda politik identitas (agama dan etnis) yang menyasar salah satu pasangan calon kepala daerah. Bahkan tidak hanya itu, Pilkada DKI 2017 juga diwarnai oleh aksi demonstrasi massa berjilid-jilid yang seolah mengusung isu agama namun sebenarnya memiliki misi politik praktis.
Politik sektarian tidak hanya mencederai nilai dan prinsip demokrasi, namun juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik sektarian tidak diragukan telah melemahkan solidaritas kebangsaan dari dalam. Solidaritas kebangsaan yang dibangun dengan susah payah itu perlahan melemah karena masyarakat sibuk membenci satu sama lain, hanya karena perbedaan afiliasi dan pilihan politik.
Masyarakat terpecah belah ke dalam kelompok-kelompok kecil yang hidup bersama namun dipenuhi sikap curiga satu sama lain. Politik sektarian telah mengajak masyarakat untuk memposisikan lawan politiknya sebagai musuh yang harus dienyahkan. Kita cukup beruntung dibanding AS dan India, lantaran pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 lalu, politik sektarian yang berusaha dimainkan oleh salah satu kubu tidak efektif mendulang simpati publik. Ini artinya, sebagian besar pemilih Indonesia berpandangan moderat dan tidak mempan dengan retorika politik sektarian yang dilontarkan segelintir elite.
Meski demikian, politik sektarian tidak lantas benar-benar mati dan tidak mendapat ruang gerak untuk berkembang. Di level nasional, politik sektarian memang nisbi bisa diredam. Namun, di level demokrasi lokal yakni Pilkada, politik sektarian selalu memiliki ruang gerak untuk berkembang. Potensi inilah yang harus kita waspadai, terlebih kita akan menghelat Pilkada Serentak di 270 titik daerah di Indonesia pada tahun 2020 ini.
Maka, penting bagi para elite politik untuk meninggalkan corak dan gaya politik sektarian untuk selanjutnya mengembangkan corak politik kebangsaan. Politik kebangsaan ialah politik yang bertumpu pada gagasan dan visi untuk membangun bangsa, dan bukan sekedar menuntaskan hasrat untuk meraih kekuasaan.
Gaya politik kebangsaan tidak memposisikan lawan politik sebagai musuh yang harus dienyahkan, melainkan sebagai mitra yang diposisikan setara. Dalam politik kebangsaan, strategi meraih simpati publik tidak dilakukan melalui praktik politik kotor seperti politik uang, politik identitas apalagi politik adu domba antarmasyarakat. Dalam politik kebangsaan, simpati publik didapatkan melalui adu gagasan serta pertarungan strategi politik yang dilakukan secara bermartabat.
Mengembangkan politik kebangsaan sebagai antitesis dari politik sektarian hendaknya dipahami sebagai bagian dari agenda besar membangun solidaritas kebangsaan. Adalah hal yang mustahil membangun ikatan solidaritas kebangsaan jika corak politik yang dimainkan para elite masih cenderung mengeksploitasi sentimen fanatisme pada identitas kesukuan, ras dan keagamaan. Apa yang terjadi di India cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk tidak memainkan politik sektarian yang diskriminatif pada kelompok tertentu. Untuk itulah, diperlukan komitmen teguh para elite politik agar tidak lagi menjadikan sentimen fanatisme identitas sebagai komoditas politik untuk meraup keuntungan elektoral. Demikian pula, kita perlu membangun kesadaran publik ihwal pentingnya mengembangkan politik kebangsaan sebagai bagian dari upaya membangun solidaritas kebangsaan.
0