Ahmad Zainuri
11 Sep 2020 at 07:20Ke final an ini harus bisa menjadi sebuah narasi yang utuh dan mampu mengakomodir seluruh pemeluk agama di aras nasional hingga lokal. Keberjibakuan yang sering dibawa ke arus teologis sering menimbulkan perpecahan yang tidak ada ujungnya. Persinggungan yang kadang harusnya tersudahi malah terakumulasi menjadi rekonsiliasi konflik nuansa hati. Harusnya bisa tentram dan damai, hadirnya agama-agama di muka bumi ini ialah bentuk keberagaman yang Tuhan berikan, kenapa kemudian kita semua mengelak dan membiarkan keterserakahan ini menjadi hak milik satu agama?
Jangan jadikan perbedaan di antarpemeluk agama menjadi pecah belah karena ulah yang tidak sepatutnya di lontarkan. Rezim Orde Baru yang sudah menyita kungkungan beberapa umat agama, sisi ekonomi, aras politik merasa memikul beban dengan tekanan tangan besi sang otoriter. Tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem sekuler, karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas umat Islam dan adapun ada penghayat agama lokal maupun agama lain, sehingga ini bukan aras bagaimana sistem sekuler bermain di kubangan ibu pertiwi.
Menoleh ke sistem islami, apakah juga bisa diterapkan dengan melihat kemajemukan Indonesia yang memang tidak bisa di pisahkan dari keragaman penghuni negeri ini. Jangan kemudian mengakomodir bahwa hak-hak yang tak sepatutnya dilontarkan kemudian menjadi sebuah perpecahan dan bukan lagi menjadi sebuah negara yang berpedoman kebebasan agama, malahan penekanan agama. Mana sikap kepedulian, mana sikap penghargaan dan apa itu yang diajarkan oleh Nabiyuna Muhammad Saw dan Al-Quran.
Sehingga keharmonisan yang harus menjadi sebuah senjata utama ialah memberi ruang gerak yang aktif kepada semua elemen dan kehadiran mereka itu ada dan nyata. Jangan memberikan statement mengkirikan bahwa surga milik golongan kami dan neraka itu milikmu. Jangan mengambil hak-hak Allah mengenai surga dan neraka, kita semua bukan pengkaveling surga atau neraka, Allah sang maha penentu. Dalam artian bahwa kehidupan yang hendak dicapai di negeri ini, bagaimana kehadiran yang memang benar-benar hadir menjadi sebuah salah satu kehidupan yang wasath dan moderat dalam menyikapi keberbedaan dengan kedinginan dan keharmonisan.
Nomenklatur konflik, ekstrimisme, eksklusivisme dan radikalisme buang jauh-jauh dan tanamkan inklusivisme, humanisme. Tidak ada waktu untuk mengembalikan diri dengan menoleh atau mundur jauh kebelakang ketika masa-masa lampau. Sudah saatnya sebuah era-peradaban baru lahir, era-peradaban yang moderat berkemajuan terbangun dan itulah yang akan menjadi kubangan bergelombang yang menghantarkan 100 tahun Indonesia merdeka.
Menyongsong era peradaban baru dalam moderasi-kemajuan beragama di Indonesia, jangan menjadikan sisi perbedaan menjadi sisi di mana sebuah problem. Saatnya saling bergandengan, membangun dan berdamai bersama ditengah-tengah membangun umat agama yang berperadaban. Melihat realitas yang sudah terbangun lama dan memang dari Tuhan sudah mencipta Indonesia dengan penuh keragaman, maka hanya perlu pengopenan yang indah. Fanatisme bermadzhab, radikalisme, ekstrimisme, jangan menjadikan kemandekan dan keterselisihan dalam hidup antarumat beragama di Indonesia. []
0