Novy Listiana
31 Jul 2020 at 20:15Dalam perkembangan zaman yang memasuki era serba cepat melalui teknologi, tidak dapat dipungkiri generasi muda menjadi kalangan pertama yang menyerap dan mengikutinya. Keadaan demikian sebenarnya bak simalakama. Bagaimana tidak, apabila tidak dibentengi dengan ilmu dan pemahaman yang kuat, generasi muda dapat dengan cepat pula tergerus faham-faham yang sesat. Sehingga pemikiran Islam Washatiyah harus dikenalkan kepada generasi muda atau yang dikenal generasi milenial sejak dini agar terhindar dari faham radikalisme dan ekstremisme.
Apa itu Islam Washatiyah?
Istilah wasatiyah berasal terminologi al-Qur’an, “ummatan wasathan”. Allah SWT menjelaskannya dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143:
“Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah: 143).
Jadi, makna umat yang wasatiyah menurut ayat tersebut adalah, sikap seimbang antara materi dan non-materi, adil menunjukkan kebaikan. Lebih jelasnya umat yang adil, proporsional dalam beragama, bukan ghuluw (ekstrim) dan bukan tasahul (meremehkan). Atau singkatnya Islam Washatiyah adalah kelompok yang berada di pertengahan, tidak memihak pada salah satu kelompok tertentu, menerapkan suatu cara pandang yang adil dan objektif. Islam Washatiyah memiliki tiga nilai yaitu, sebagai penengah, damai dan mendamaikan; Adil dan tidak memihak; serta terbuka dan bijak pada sesama.
Islam Washatiyah adalah model dakwah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan nilai Islam yang Rahmatan Lil’alamin, bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, menghormati perbeaan suku, agama, ras, budaya, dan golongan. Misalnya dalam ilmu falsafah Imam al-Ghazali dinilai merupakan seseorang yang adil. Ia tidak menolak mutlak ilmu Yunani. Tetapi diterima dengan saringan. Perkara yang menyebabkan kekufuran dan bid’ah ia haramkan. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan syara ia perbolehkan, bahkan jika di perlukan menjadi utama.
Imam al-Ghazali menerangkan, ilmu yang paling mulia dan posisinya pada top of the top adalah ilmu mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Maka, ilmu yang memiliki posisi penting harus diutamakan terlebih dahulu. Artinya keseimbangan, alias tidak membuang salah satu. Dalam agama ada perkara ushul (pokok) ada perkara furu’ (cabang). Perkara ushul jelas harus ditempatkan pada posisi paling utama, paling penting dan nomor satu. Maka, berlarut-larut dalam isu furu’ tidak baik. Tidak wasath. Inilah keseimbangan, tidak membuang semua, atau salah satu. Tapi menggabungkan dengan cara meletakkan unsur-unsurnya pada posisinya yang wajar dan benar.
Ada aspek tsawabit (tetap) dan ada aspek mutaghayyirat (boleh berubah). Memposisikan antara yang tsawabit dan mutaghayyirat itulah sikap wasathiyyah. Pemposisian ini dikaji dalam fikih yang biasa disebut pada era sekarang dengan Fiqih Auwlawiyyat. Fikih ini dipelajari antara lain, untuk memahami bagaimana menempatkan kasus itu dalam ushuliyyah atau furu’iyyah.
Pemahaman ini penting agar umat Islam tidak salah dalam memasukkan sebuah kasus atau memprioritaskan sesuatu yang paling penting dilakukan untuk dikerjakan. Apalagi sampai membuang salah satu. Kita mengetahui, generasi pada zaman sekarang memiliki sifat ingin tahu dan sikap ingin turut serta yang besar. Sekarang posisikan andaikata generasi muda tersebut termakan informasi yang tidak dapat diketahui kebenaranya namun seakan meyakinkan. Tanpa benteng diri yang kuat, generasi muda tersebut dapat tergerus masuk ke dalam faham yang pada akhirnya bukan menyatukan malah memecah belah bangsa. Generasi muda adalah kedudukan yang sentral yang dapat menyatukan namun juga dapat memisahkan persatuan, sehingga generasi muda perlu membenahi dirinya dengan gudang ilmu. Perlu membentengi dirinya dengan sikap adil dan bijak terhadap informasi apalagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mudah terprovokasi dan dibohongi.
Untuk menjalankan Islam Washatiyah, generasi muda perlu bersikap moderat yang dapat ditunjukkan dengan cara tidak merasa paling benar. Jika ada perbedaan didiskusikan, didialogkan walaupun tidak setuju. Sikap moderat terbuka terhadap perbedaan. Sikap moderat mau membangun komunikasi dengan siapapun. Moderat menjadi jembatan penghubung dengan siapapun. Bukan dinding yang dibangun yang menjadikan pemisah antara yang satu dengan lainnya.
Jadi dengan sikap moderat melalui Islam wasatiyah generasi muda tidak berlebihan dan ekstrim dalam menanggapi suatu hal. Wasatiyah adalah suatu kebijakan (khairiyah) yang mengandung keadilan. Untuk tetap bersikap dalam kebijaksanaan. Jadi, sudahkah kamu menjadi Islam yang Washatiyah? (Nov)
Sumber:
https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/12/04/155902/wasatiyah-dalam-pemikiran.html
2