Onriza Putra
12 Jul 2020 at 11:52


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural yang terdiri dari beragama suku, etnis, budaya, bahasa dan agama. Para pendiri bangsa telah bersepakat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperjuangkan oleh satu etnis atau agama saja. Tahun 1928, tokoh-tokoh muda dari beragam etnis, agama dan kepentingan, sepakat untuk meleburkan diri dalam semangat keindonesiaan. Menjelang proklamasi kemerdekaan, anggota PPKI dan BPUPKI yang bertugas merumuskan konsep negara, diatur sedemikian rupa agar mewakili berbagai unsur kepentingan. Pancasila dan konsep Bhineka Tunggal Ika akhirnya disepakati sebagai perekat kebangsaan.

Keberagaman yang kita miliki ini menjadi modal sosial kita dalam membangun bangsa. Namun disisi lain, keberagaman juga berpotensi kearah yang mengkhawatirkan jika tidak dikelola dengan baik, terutama antar umat berbeda agama. Walaupun kerukunan antar beragama telah ada sejak dulu kala - bahkan sebelum Indonesia ada - namun saat ini gesekan-gesekan sering terjadi. Gesekan antar umat bergama ini seringkali disebabkan oleh banyak faktor, salah satu yang patut kita curigai adalah politik kepentingan. Sebagai generasi muda, gesekan-gesekan ini harus kita eliminasi agar tercipta kerukunan dan kedamaian.

Yudi Latif, seorang cendikiawan yang fokus pada isu ini, dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa, walapun masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk, tapi prakteknya justru mengembangkan sikap hidup monokultural. Berinteraksi, berteman dan berkumpul dengan sesamanya saja dan kikuk ketika bertemu dengan entitas yang berbeda. Belum lagi ditambah dengan sikap stereotype dan prejudice yang semakin mengakar. Salah satu solusi alternatif penyelesaiannya adalah memperbanyak ruang-ruang untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan ini agar saling berinteraksi satu sama lain.

Dengan semangat ini, Duta Damai Dunia Maya Regional Sumatera Barat (DD Sumbar) mengadakan webinar dengan tema "Menyikapi dan Merayakan Perbedaan. Hadir sebagai narasumber yaitu dr. Prudensia Eromot, Ahmad Nusi, M. Pd dan Yasrul Huda. Ph. D. Webinar ini dipandu oleh Adi Suhendra, S. Pd sebagai host dan Onriza Putra, S. IP sebagai moderator diskusi.

Nona Pruden adalah perantau asli Papua yang menempuh pendidikan di Kota Padang. Dalam paparannya, dokter muda ini membagi pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat Minangkabau. Menurutnya, pada awal kedatangannya tahun 2013 silam sempat mengalami diskriminasi dalam skala kecil, seperti penolakan dari orangtua teman kampusnya, stigma negatif dan sebagainya. Namun, alumni Fakultas Kedokteran Unand ini menyikapi dengan santai dan membuktikan bahwa stigma negatif terhadap orang Papua adalah tidak benar. Nona Pruden menggaris bawahi bahwa hambatan yang kita hadapi adalah adanya stereotype/pelabelan negatif terhadap suku tertentu. Untuk mengatasinya, nona asli Boven Diegul ini menyarankan kita untuk menyikapinya dengan bijaksana.

Narasumber kedua yaitu Ahmad Nusi, M. Pd. Alumni Pendidikan Bahasa Inggris STIKIP PGRI Sumatera Barat ini memaparkan pengalamannya sebagai perantau minang dan muslim selama di Kota Ambon, Provinsi Maluku. Menurut pengamatannya, Kota Ambon adalah kota yang sangat toleran. Dosen Politeknik Negeri Ambon ini mendasarkan materinya berdasarkan pengalaman terkonfirmasi (confirmed experience) atau dalam kata lain "dialaminya secara langsung". Dalam prakteknya, Ahmad diangkat oleh Mama Piara (mama angkat) yang berbeda agama, mengajar di Gereja, diperbolehkan pihak kampus menyesuaikan jadwal mengajar dan Sholat Jum'at dan sebagainya. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, menurutnya kita harus sering melakukan kegiatan lintas kelompok dan menggandeng media dalam mengkampanyekan nilai-nilai perdamaian.

Yasrul Huda, Ph. D adalah narasumber ketiga sekaligus penutup webinar ini. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN IB ini fokus membahasa wacana pluralitas di Indonesia, khususnya masyarakat Minangkabau. Yasrul membuka diskusi dengan pernyataan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang inklusif pada awal abad 20. Fakta itu bisa dilihat banyaknya kontribusi tokoh-tokoh Minang dalam membidani lahirnya Indonesia. Menurutnya, saat ini kontribusi masyarakat Minang mengalami penurunan, kecuali dalam bidang perdagangan. Alumni Universitas Leiden ini juga melihat adanya kecendrungan eksklusifitas masyarakat Minang pada tataran wacana. Namun dalam kesehariannya, masyarakat Minang sangat terbuka dan sangat menerima masyarakat yang berbeda. Dalam menyikapi maraknya nilai-nilai eksklusifitas dewasa ini, Yasrul menawarkan kepada peserta untuk menyadari bahwa kita lahir dalam kondisi yang plural, dan perbedaan adalah hal yang biasa.

Webinar ini berlangsung selama 3 jam dan dihadiri oleh 65 peserta dari 110 pendaftar. Pada sesi tanya jawab, moderator mempersilahkan penanya untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber, sehingga diskusi berjalan secara interaktif. DD Sumbar menutup webinar dengan memutar lagu Indonesia Pusaka.

0