No User
01 Mar 2020 at 21:45


Sebuah gagasan niscaya tidak lahir dari ruang hampa. Nyaris bisa dipastikan bahwa setiap gagasan lahir dari ruang dan waktu yang melingkupinya sebagai sebuah konteks. Begitu pula gagasan tentang penggunaan Salam Pancasila yang dilontarkan oleh Ketua BPIP Yudian Wahyudi. Maka dari itu, kita harus memahami kontekstualitas di balik kemunculan gagasan tersebut. Kegagalan dalam memahami konteks gagasan tersebut, acap memunculkan sikap over-reaktif. Hal itu tampak dalam fenomena sinisme dan nyinyirisme sebagian masyarakat dalam merespons gagasan penggunaan Salam Pancasila.

Dibaca dalam perspektif dan sudut pandang lebih luas, Salam Pancasila merupakan bagian dari proses negosiasi kultural yang berupaya mencari titik temu antar-entitas dan golongan yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Adalah fakta yang tidak dapat dibantah bahwa Indonesia merupakan negara multikultur dan multireji yang kaya akan keragaman budaya dan agama. Jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, asal-usul bangsa Indonesia (Nusantara) pun tidak bersumber pada satu akar genetik yang sama, melainkan datang dari percampuran berbagai macam identitas kebangsaan. Di dalam tubuh bangsa Indonesia sekarang, mengalir darah bangsa Afrika, bangsa China, bangsa Arab, bahkan bangsa Eropa.

Meminjam istilah pemikira posmodern Hommi K. Bhabha, bangsa Indonesia merupakan bangsa hibrid. Artinya bangsa yang dihasilkan dari persilangan dan pembauran identitas yang dilatari oleh dinamika sosial-politik sekaligus keagamaan yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Berangkat dari teori besar tentang hibriditas inilah, maka tidak relevan kiranya untuk memakai istilah pribumi dalam percakapan sehari-hari. Lantaran, pada dasarnya tidak ada manusia Indonesia yang benar-benar pribumi. Nenek moyang kita adalah bangsa perantau dan penjelajah dunia. Tidak mengherankan jika bahan dasar bangsa Indonesia adalah unsur agama, budaya, bahasa dan ras yang plural, alih-alih tunggal.

Konsolidasi Internal

Karakter hibriditas bangsa Indonesia itu masih tampak hingga sekarang. Berbagai gerakan sosial-politik untuk menyeragamkan Indonesia menjadi satu warna memang tidak pernah surut. Namun, sampai saat ini kita masih bisa mempertahankan pluralitas agama dan budaya itu sebagai bagian dari identitas kebangsaan. Tentu tantangan kebangsaan yang akan kita hadapi ke depan akan semakin tidak mudah. Dari dalam negeri, kita masih akan terus dihadapkan pada persoalan seputar kemiskinan dan kesenjangan sosial, keterbelakangan pendidikan serta ancaman sosial-keagamaan berupa fenomena konservatisme dan radikalisme keagamaan. Sementara dari luar kita akan menghadapi konstelasi politik regional maupun global yang sedikit-banyak akan menghadirkan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara. Selain tentunya tantangan yang datang dari sengitnya percaturan ekonomi global.

Baca Juga : Karena Hakikat Salam adalah Perdamaian

Tanpa konsolidasi internal bangsa yang kuat, mustahil kita bisa melewati sejumlah tantangan besar itu. Di era posmodern ini, ketika batas-batas wilayah dan ideologi sebuah bangsa tidak lagi jelas karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih, bangsa yang akan bertahan hanyalah bangsa yang kuat dan solid. Sebaliknya, bangsa yang rapuh dari dalam kemungkinan besar akan dilumat oleh gerak dinamis zaman yang mustahil bisa ditangkal. Untuk itulah, sebagai bangsa yang besar dan kaya akan keanekaragaman agama dan budaya kita perlu melakukan konsolidasi internal. Salah satunya dengan menggagas terwujudnya titik temu kebangsaan yang mampu mengikat beragam entitas dan golongan dalam satu komitmen kolektif kebangsaan.

James L. Sullivan dalam bukunya berjudul Promoting Nation Unity menjelaskan bahwa titik temu kebangsaan merupakan prasyarat mutlak demi terciptanya progresifitas sebuah bangsa. Lebih lanjut, Sullivan mengatakan bahwa persatuan adalah modal penting sebuah bangsa dalam mengakselerasikan pembangunan. Peradaban-peradaban besar di dunia dalam catatan sejarah, selalu dibangun oleh bangsa-bangsa yang mampu menekan konflik ke titik yang paling minimal. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang didera konflik berkepanjangan akan hancur dengan sendirinya, meski tanpa agresi atau serangan oleh bangsa lain.

Penjelasan Sullivan itu kiranya bisa kita jadikan pelajaran penting bagi Indonesia. Salama ini, kita terbilang belum berhasil mengelola hibriditas kultural dan mencari titik temu kebangsaan yang menyatukan beragam entitas dan golongan. Akibatnya, kita kerap sibuk dengan konflik internal, pertikaian dan permusuhan antarsesama anak bangsa. Kita tentu masih ingat tempo hari ketika Pemilihan Presiden 2019 tengah ada di puncak titik didihnya. Masyarakat Indonesia terbelah ke dalam dua kelompok besar sesuai afiliasi politik masing-masing. Nyaris saban hari kedua kelompok itu saling menghina dan mencemooh satu sama lain, baik di media sosial maupun di dunia nyata.

Lantas, apa yang dihasilkan dari semua kegaduhan berkepanjangan itu? Tidak ada sama sekali! Ketika bangsa-bangsa lain sudah berbicara tentang teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), internet of things (IoT), dan segala ihwal tentang revolusi industri 5.0, kita masih berkutat dengan sentimen fanatisme identitas, baik itu agama, budaya, ras dan sejenisnya. Masing-masing entitas dan golongan merasa diri paling unggul dan superior ketimbang lainnya. Aroganisme sosial dan eksklusivisme keberagamaan kemudian menjadi karakter khas bangsa Indonesia.

Agenda Bangsa

Di tengah lanskap sosial-politik-agama yang serba tidak kondusif dan tidak menguntungkan itulah, upaya-upaya untuk mencari titik temu kebangsaan harus kita apresiasi dan dukung bersama. Termasuk juga gagasan ketua BPIP untuk mempopulerkan Salam Pancasila. Gagasan mempopulerkan Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan idealnya tidak letakkan dalam kerangka pencarian titik temu kebangsaan, bukan sebagai upaya menyeragamkan keanekaragaman agama dan budaya apalagi menghapuskannya.

Gagasan mempopulerkan Salam Pancasila sangat relevan terutama di tengah derasnya arus intoleransi atas nama agama dan budaya serta ras. Gagasan itu juga urgen mengingat praktik keberagamaan kita belakangan ini yang lebih banyak mengarah pada corak skripturalisme dan eksklusivisme. Masing-masing kelompok agama lantas berdiri sendiri, tanpa saling berkomunikasi. Konsekuensinya, tercipta jurang menganga antarkelompok agama yang seolah-olah mustahil terjembatani. Gerakan Salam Pancasila ini kiranya bisa menjdi ikhtiar kecil untuk membangun jembatan penghubung antar entitas dan golongan yang berbeda-beda.

Diakui atau tidak, belakangan ini energi kita sebagai sebuah bangsa tersedot habis untuk menghadapi persolan dan kepentingan kelompok, golongan, partai, suku, daerah dan agama yang bersifat parsial, sempit, eksklusif dan artifisial. Akibatnya, kita justru lupa pada persoalan-persoalan pokok kebangsaan, dan abai pada upaya membangun dan merawat persatuan serta persaudaraan. Energi bangsa yang terkuras habis untuk mengurusi hal-hal tidak subtansial itu hendaknya diarahkan pada agenda positif untuk membangun bangsa.

Tantangan kebangsaan di masa kini dan masa depan niscaya bisa kita lewati apabila kita mampu menurunkan tensi egoisme individual, kelompok dan sektoral kita. Alih-alih bertahan dalam paradigma egosentrisme yang mendewakan diri dan kelompoknya dan menegasikan orang atau kelompok lain, kita idealnya mengembangkan pola pikir yang bertumpu pada asas kolektivisme atawa kebersamaan. Kita perlu membangun cita-cita kolektif bangsa yang mengagendakan terwujudnya kehidupan yang adil, sejahtera dan bermartabat sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Dalam upaya membangun imajinasi kolektif yang bersifat konstruktif itulah, gagasan Salam Pancasila menjadi penting untuk direspons secara positif. Dengan membangun imajinasi kolektif bangsa itu kita diharapkan akan mampu keluar dari perangkap primordialisme kesukuan dan fanatisme keagamaan untuk kemudian mencari terobosan, peluang dan langkah menuju masa depan bangsa yang lebih beradab.

0