Siti Resa Mutoharoh
01 Jul 2020 at 14:44Rasisme merupakan paham yang meyakini bahwa unsur-unsur entitas dan biologis
yang melekat pada manusia,
dipandang sebagai perbedaan yang dapat menentukan nilai seseorang atau kelompok
di antara pihak-pihak lainnya. Sehingga terjadi pemisahan antara masyarakat yang dianggap rasnya lebih
unggul dibanding dengan ras yang lebih rendah, kemudian lahirlah kelompok yang
merasa menjadi “superioritas” sehingga tak jarang, hak-hak kaum minoritas pun
diabaikan.
Dalam beberapa kasus, rasisme seringkali menjadi faktor pendorong seseorang
atau kelompok untuk melakukan kekerasan, diskriminasi bahkan genosida. Rasisme
juga masih menjadi isu krusial di berbagai negara. Seperti belakangan ini,
beredar video George Floyd, pria kulit hitam yang ditindih lehernya dengan lutut
petugas polisi kulit putih (yang mana kondisi tersebut menyebabkannya
meninggal) menyebar cepat dan memicu aksi unjuk rasa besar di banyak kota Amerika
Serikat dan sejumlah negara.
Di Indonesia isu tersebut pun diangkat oleh aktivis Papua, Veronica Koman, dengan tagar Papuan Lives
Matters yang bertujuan membangkitkan
kesadaran untuk menghentikan rasisme terhadap orang kulit hitam, termasuk rasisme pada masyarakat Papua yang masih kerap terjadi dan seringkali berakhir
dengan kekerasan dan pertumpahan darah.
Berbicara tentang superioritas dan rasisme, penulis teringat dengan Sang
pemimpin spiritual dan politikus India, Mahatma Gandhi yang mengatakan bahwa dalam
bernegara, alangkah baiknya melihat manusia sebagai manusia yang
memiliki percikan Tuhan dalam setiap orang. Sehingga,
“serendah” apapun orang itu harus dipandang dan
diperlakukan secara manusiawi. Hal
tersebut tertuang dalam ajarannya yang disebut dengan Satyagraha.
Secara harfiah, Satya berarti suatu pencarian kebenaran dengan tidak
mengenal lelah, atau berpegang teguh pada kebenaran. Dalam bahasa Indonesia,
kata Graha diartikan sebagai rumah, yang berarti harus tinggal dalam kebenaran.
Menurut Gandhi, kebenaran bisa atau bahkan harus menjadi paremeter setiap orang
dalam berpikir, bertindak dan beaktivitas. Bahkan menurutnya, kebenaran itu
sama dengan Tuhan. Dalam artian, apabila seseorang berani demi kebenaran maka
orang tersebut berani demi Tuhan. Tidak ada yang di takutkan dan di khawatirkan
karena ia meyakini bahwa ia sedang berada di jalan Tuhan atau kebenaran itu
sendiri. Kemudian dari Satya inilah lahir prinsip besar yaitu Ahimsa.
Ahimsa merupakan sebuah istilah sansakerta yang berarti anti kekerasan dan menolak
keinginan untuk membunuh dan membahayakan jiwa yang lainnya. Kala itu, prinsip
Ahimsa menjadi angin segar bagi dunia yang memang sedang mengalami berbagai
macam kekerasan hasil dari perang dunia. Dan terbukti, prinsip Ahimsa yang
digaungkan Ghandhi ini menjadi gerakan efektif dalam memperjuangkan keadilan
bagi kaum marjinal India. Karena ia meyakini, perjuangan tanpa kekerasan adalah
senjata yang benar-benar berani.
Dalam menyelesaikan masalah atau konflik, Gandhi memiliki beberapa dasar
yang harus dilakukan Satyagraha, Pertama, karena tidak ada manusia yang
memiliki kebenaran mutlak, maka diskusi merupakan jalan bagi dua belah pihak
yang sedang konflik. Konflik bisa ditengahi dengan diskusi yang diiringi dengan
kerendahan hati dan pikiran yang terbuka.
Kedua, menghargai lawan bicara yang memiliki perbedaan dalam melihat
kebenaran. Dalam menyikapi perbedaan tersebut, maka harus dilakukan upaya yang tulus untuk masuk ke alam berfikir
lawan dan menghargai mengapa dia melihat masalah secara berbeda, sehingga bisa saling menghargai. Ketiga, dalam menangani konflik atau suatu
permasalahan diperlukan kesadaran ego dan tidak merasa diri paling benar.
Karena hal tersebut dapat membantu kedua pihak yang sedang konflik untuk bertukar pikiran
dan mengerti kondisi masing-masing, sehingga peluang terjadinya kekerasan dan
kebencian menjadi lebih kecil.
Prinsip tersebut dipakai Gandhi dikarenakan ia berkeinginan bahwa
perjuangan rakyat India harus universal dan tidak menggunakan kekerasan.
Sehingga ia pun menjadi sosok terdepan yang mampu meredam konflik berdarah di
India kala itu menggunakan prinsip Satyagraha dan Ahimsa. Karena menurutnya manusia
yang sempurna adalah yang memiliki kepribadian Satyagraha, yaitu orang yang
mampu mengatasi kekuatan jahat (seperti kekerasan) yang dilakukan dengan sikap
Ahimsa (anti kekerasan).
Belajar dari kedua prinsip Gandhi tersebut, seharusnya kita menyadari bahwa
perbedaan bukanlah menjadi akar dari permasalahan dan konflik, akan tetapi ego
tinggi dan merasa paling benarlah yang justru menutupi jalan menuju kebenaran.
Mencaci maki, diskriminasi, superioritas, menggaggu ketentraman, membenci orang
yang berbeda dengan kita dan tindakan rasis lainnya adalah tindakan yang tidak
memanusiakan manusia. Karena sebagai manusia seharusnya meyakini bahwa setiap
manusia, apapun latar belakang kultural maupun biologisnya, pada dasarnya
adalah sama.
Adapun jika ada perbedaan dalam berpikir dan bertindak, maka hal tersebut
bisa diselesaikan dengan berdialog atau bermusyawarah dengan cara yang lembut
dan penuh kasih sayang sehingga bisa menutup jalannya kekerasan dan bertumpahan
darah dan lahirlah kedamaian. Terlebih, Indonesia sendiri sudah memiliki
falsafah hidup yaitu pancasila yang sangat menghargai perbedaan, baik ras,
suku, agama dan budaya. Ketika pancasila sudah tertanam dalam diri, maka akan
melihat segala sesuatu yang berbeda dengan diri kita sebagai hal yang biasa dan
bisa didiskusikan sehingga tidak akan menganggu ketentraman siapapun.
Maka dari itu, sudah saatnya rasisme benar-benar hilang di dunia, terkhusus
di bumi pertiwi kita. Sebab, kedamaian tidak akan tercipta jika masih ada pihak
yang merasa diri paling benar dan merendahkan orang lain. Mari kita lihat
perbedaan sebagai anugerah Tuhan dan perbedaan bisa di musyawarahkan dengan
penuh kerendahan hati dan kasih sayang tanpa kekerasan. Sehingga setiap manusia
memiliki hak yang sama.
Sumber:
Mahatma Gandhi. 2009. Semua Manusia Bersaudara.
Jakarta:Yayasan Obor Jakarta
Vad Metha. 2011. Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi.
Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Wegig, R. Wahana, 1986. Dimensi Etis Ajaran Gandhi.
Kanisius: Yogyakarta.
Wisarja, Ketut & I Ketut Sudarsana. 2018. Konstruksi Masyarakat Menurut Mahatma Gandhi. Journal umpo. 1(6), 204
0