Nur Azizah S
12 Dec 2024 at 12:56


Di tengah gempuran teknologi AI yang semakin maju, tantangan baru muncul dalam menghadapi radikalisme online. Algoritma yang dirancang untuk menyaring konten berbahaya kerap kali gagal memahami konteks, menciptakan risiko bias dan ketidaktepatan yang justru memperumit upaya pencegahan. Tidak jarang, algoritma malah menyaring konten biasa sebagai ancaman dan membiarkan propaganda halus lolos begitu saja. Inilah dilema nyata yang dihadapi platform besar seperti Facebook dan YouTube dan masalah ini jauh dari sekadar teknis.

 

Pada kenyataannya, AI hanya sekuat data yang digunakan untuk melatihnya. Algoritma ini kerap kali ‘miskomunikasi’ dalam mendeteksi konteks karena dilatih berdasarkan pola-pola kata tertentu. Misalnya, kritik sosial yang tajam bisa saja dianggap radikal, sementara konten yang mengandung ujaran kebencian terselubung luput dari deteksi karena kata-kata yang digunakan tidak termasuk dalam basis data AI. Ketika bias ini terjadi, banyak konten penting yang sebenarnya ingin menyuarakan keadilan sosial justru ikut tersingkir, sementara propaganda berbahaya tetap tersebar.

 

Selain itu, AI memiliki kelemahan serius dalam memahami sarkasme dan humor. Tidak jarang, konten yang sebenarnya sindiran atau parodi malah dikategorikan sebagai ancaman, sedangkan narasi radikal yang dikemas dalam kalimat positif malah dibiarkan lolos. Kasus nyata ini terjadi di Twitter, di mana banyak konten satir yang dihapus, sementara narasi berbahaya terus beredar. Ini menunjukkan bahwa meskipun AI bisa bekerja cepat, ia masih jauh dari memahami maksud di balik kata-kata sebuah kelemahan yang tak bisa diabaikan dalam konteks keamanan digital.

 

Radikalisme modern pun semakin cerdik dengan mengelabui algoritma melalui variasi kata dan kode tertentu. Di forum-forum online, istilah seperti “r*dikal” atau variasi ejaan sering digunakan agar algoritma tidak bisa mendeteksi niat sebenarnya. Celah seperti ini menjadi peluang besar bagi kelompok radikal untuk terus menyebarkan pengaruh mereka, dan AI yang berfokus pada deteksi kata kunci sering kali tidak berdaya dalam menghadapi strategi ini. Tantangan semakin besar ketika bahasa dan budaya lokal dilibatkan, di mana istilah dalam bahasa daerah bisa saja memiliki makna berbeda tetapi tak terdeteksi oleh AI.

 

Salah satu contoh kegagalan besar dalam penerapan algoritma ini terjadi pada kasus Facebook di Myanmar, di mana propaganda radikal menyebar dan bahkan memicu konflik. Algoritma yang diandalkan untuk menyaring konten radikal tidak mampu memahami konteks lokal dan budaya yang menyertainya. AI mungkin bisa membaca kata-kata, tetapi gagal mengidentifikasi pesan berbahaya yang terbungkus dalam bahasa atau norma sosial yang unik. Kasus ini seolah mengirimkan sinyal keras bahwa AI tidak bisa berdiri sendiri dalam menjaga keamanan dunia maya tanpa pemahaman konteks manusia.

 

Di Indonesia, keterbatasan bahasa juga menjadi tantangan utama dalam penerapan AI sebagai detektor konten berbahaya. Algoritma sering kali kesulitan memahami variasi dialek dan istilah lokal, yang menyebabkan banyak konten ekstremis dalam bahasa daerah lolos tanpa terdeteksi. Contoh ini memperlihatkan bagaimana kurangnya penyesuaian algoritma dengan bahasa multinasional bisa menjadi celah yang sangat menguntungkan bagi penyebaran ideologi radikal, khususnya di negara dengan keragaman bahasa seperti Indonesia.

 

Selain masalah bahasa, AI juga memiliki kecenderungan untuk salah kaprah dalam memahami citra positif yang berbahaya. Banyak organisasi ekstremis kini menyamar sebagai lembaga pendidikan atau program pelatihan untuk menyebarkan ideologi mereka. Karena algoritma biasanya difokuskan pada deteksi konten eksplisit, propaganda terselubung yang dibungkus dalam citra sosial positif sering kali lolos dari pengawasan. Dalam beberapa kasus, AI bahkan merekomendasikan konten tersebut kepada pengguna lain karena dianggap "aman."

 

Tambahan lagi, data yang digunakan dalam pelatihan algoritma umumnya terbatas pada bahasa dan budaya tertentu, terutama bahasa Inggris. Akibatnya, ketika diterapkan di negara berkembang dengan budaya yang berbeda, efektivitasnya menurun drastis. Hal ini menimbulkan risiko besar, terutama di Asia Tenggara, di mana bahasa dan dialek beragam sering kali tidak dikenali oleh sistem AI. Bukan hal aneh jika konten radikal dalam bahasa lokal terus tersebar tanpa kendala karena AI tak mampu memahami pola komunikasi lokal.

 

Sementara itu, kelompok radikal terus mengembangkan strategi baru, sedangkan AI membutuhkan waktu untuk diperbarui. Ketertinggalan ini menjadi masalah serius karena konten berbahaya bisa menyebar luas sebelum deteksi sistem diperbarui. Kasus video radikal di YouTube yang baru dihapus setelah bertahun-tahun sejak pertama kali diunggah menunjukkan bagaimana lambatnya respons algoritma dalam menghadapi adaptasi strategi kelompok radikal. Padahal, seiring waktu, konten semacam itu bisa memberikan dampak yang cukup signifikan.

 

Tidak semua konten berbahaya melanggar aturan secara eksplisit, dan inilah celah besar dalam pendekatan algoritma. Banyak narasi radikal yang dikemas dalam bentuk teori konspirasi atau sudut pandang ekstrem, yang secara teknis tidak melanggar aturan tetapi tetap berpotensi besar memicu pemikiran ekstrem. Karena algoritma tidak mampu membaca pola implisit ini, konten semacam ini terus menyebar dan menguatkan paham radikalisme tanpa pengawasan berarti.

 

Kurangnya transparansi terkait cara kerja algoritma juga menambah tantangan dalam mengatasi konten berbahaya. Banyak platform digital tidak sepenuhnya terbuka tentang bagaimana algoritma mereka mendeteksi konten radikal, dan hal ini membuat publik bingung serta skeptis. Ketika masyarakat tidak paham mengapa suatu konten dihapus atau dibiarkan, rasa percaya terhadap sistem juga berkurang, dan ini bisa memberikan ruang bagi konten berbahaya untuk tetap bertahan.

 

Agar algoritma AI lebih efektif dalam menghadapi radikalisme online, diperlukan pendekatan kolaboratif dengan pengawasan manusia. AI bisa diandalkan untuk deteksi cepat, tetapi analisis akhir oleh manusia yang paham konteks budaya adalah solusi optimal. Tanpa kolaborasi ini, radikalisme akan terus menemukan celah dalam sistem dan beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan teknologi.

 

Di era AI, radikalisme bukan lagi hanya soal konten eksplisit. Dengan perencanaan cermat dan penyamaran dalam bahasa dan budaya yang kompleks, ideologi berbahaya ini memanfaatkan setiap kelemahan algoritma yang ada. Untuk menghadapi ancaman ini, kita membutuhkan solusi yang kritis, spesifik, dan mampu menembus batas bahasa, budaya, dan pola komunikasi.

0