Nurikrimah
14 Nov 2024 at 00:37


Survei Kesehatan Indonesia 2023 ngasih kita gambaran miris: cuma 8,8% orang yang ngecek tekanan darah setahun sekali. Bahkan, 67% warga nggak pernah cek kolesterol dan 66,4% nggak pernah ukur gula darah. Padahal, penyakit kayak hipertensi, diabetes, dan obesitas bisa dicegah kalau dideteksi lebih awal. Sayangnya, mindset masyarakat masih simpel, "Sehat kok, selama bisa ngapa-ngapain." Pola pikir kayak gini justru bikin orang terlambat sadar kalau mereka butuh cek kesehatan rutin.  

 

Di balik janji Prabowo-Gibran buat kasih cek kesehatan gratis, ada banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kendala kaya stigma penyakit tertentu, ketakutan sama hasil tes kesehatan, dan akses yang sulit ke fasilitas kesehatan bikin orang makin ogah buat periksa. Bahkan biaya transportasi dan pengalaman nggak menyenangkan di puskesmas jadi alasan kenapa banyak orang malas. Jadi, meskipun program cek kesehatan gratis kedengeran keren, tapi kalau cuma sekadar janji, ya bakal sulit bikin perubahan besar.  

 

Cek kesehatan gratis ini bakal difokusin ke pasien TBC, lansia, dan penderita penyakit tidak menular. Ide ini sih bagus, tapi tanpa eksekusi yang matang, program ini bisa jadi cuma formalitas. Sekedar menyediakan obat juga nggak cukup kalau nggak ada edukasi dan tindak lanjut buat yang butuh pengobatan berkelanjutan. Apalagi kalau aksesnya masih susah dan nggak merata, bisa-bisa cuma segelintir orang yang beneran ngerasain manfaatnya.  

 

Masalah lain muncul di kalangan perempuan. 92,2% perempuan belum pernah cek kanker serviks karena terbatasnya akses dan minimnya literasi kesehatan. Konstruksi sosial yang masih kuat bikin perempuan seringkali menomorduakan kesehatan mereka. Kalau program ini mau sukses, harus ada pendekatan khusus biar perempuan lebih peduli sama kesehatan mereka sendiri. Soalnya, ngurus rumah bukan alasan buat nggak peduli sama kesehatan diri.  

 

Menurut CISDI, ada beberapa langkah biar cek kesehatan gratis ini nggak cuma jadi program yang numpang lewat. Pemeriksaan lanjutan sesuai risiko, pemantauan berkelanjutan buat pasien, dan pemerataan fasilitas kesehatan di tingkat puskesmas itu hal penting. Sekarang ini, puskesmas cuma bisa cek hipertensi dan diabetes. Kalau fasilitasnya nggak ditingkatin, program ini cuma bakal jadi setengah-setengah.  

 

Selain itu, lingkungan sekitar juga harus mendukung gaya hidup sehat. Misalnya, akses ke makanan nggak sehat perlu dibatasin. Soalnya, gimana mau sehat kalau tiap sudut ada jajanan junk food? Ini bukan cuma soal cek kesehatan, tapi juga ngubah pola hidup masyarakat.  

 

Prabowo-Gibran juga janji bakal bikin rumah sakit lengkap di daerah dan kasih makan bergizi gratis buat masyarakat. Tapi, janji ini mesti dibuktikan di lapangan. Infrastruktur tanpa kualitas pelayanan yang baik cuma bakal jadi bangunan kosong tanpa makna. Dan kalau orang-orang tetep takut periksa, semua fasilitas yang dibangun nggak bakal ada gunanya.  

 

Investasi di sistem kesehatan juga ditekankan lewat perbaikan BPJS Kesehatan biar nggak defisit. Mereka juga janji fokus ke program promotif dan preventif, biar masyarakat lebih aware sama kesehatan sebelum sakit. Tapi, janji ini nggak bakal berarti tanpa kebijakan konkret yang benar-benar pro-rakyat, pro-tenaga kesehatan, dan pro-fasilitas kesehatan.  

 

Gaji ASN dan tenaga kesehatan juga jadi sorotan. Kalau tenaga kesehatan nggak diberi apresiasi yang layak, mereka bakal kurang semangat buat ngasih pelayanan maksimal. Ini bukan cuma soal uang, tapi soal motivasi dan dedikasi buat masyarakat. Kalau mereka merasa dihargai, pelayanan pasti lebih optimal.  

 

Janji buat kasih Kartu Indonesia Sehat (KIS) khusus lansia juga terdengar menarik. Tapi, tanpa pemantauan yang baik, kartu ini bisa jadi sekadar formalitas. Lansia butuh lebih dari sekadar kartu; mereka butuh akses nyata ke layanan kesehatan yang ramah dan mudah diakses.  

 

Di sisi lain, program ini juga janji melindungi difabel dan kelompok rentan dari stereotip dan diskriminasi. Ini langkah penting, tapi realisasinya nggak bisa cuma di atas kertas. Dibutuhkan perubahan budaya dan edukasi publik biar masyarakat lebih inklusif dan menghargai perbedaan.  

 

Program kesehatan ini kedengerannya ambisius, tapi apakah bisa beneran terlaksana? Semua balik lagi ke eksekusi di lapangan. Janji politik sering kali indah di awal tapi berakhir mengecewakan kalau nggak ada tindak lanjut yang serius. Masyarakat harus terus mengawal agar tidak ada kekecewaan dan kekacauan implementasi segera.  

 

Biar program ini berhasil, pemerintah harus konsisten dan fokus pada kualitas pelayanan. Jangan sampai cuma fokus di awal terus dilupain setelah kampanye selesai. Masyarakat butuh bukti nyata, bukan sekadar janji kosong.  

 

Kalau program ini dieksekusi dengan baik, Indonesia bisa beneran punya sistem kesehatan yang lebih adil dan merata. Tapi, kalau nggak ada perubahan konkret, ini cuma bakal jadi cerita indah yang cepat terlupakan.  

 

semoga semua program ini bakal dinilai bukan dari janji tapi dari hasilnya. Biar nggak sekadar jadi wacana, butuh komitmen kuat dan kerja sama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Dengan begitu, kita bisa harap sistem kesehatan Indonesia beneran berubah jadi #SehatAdilSetara.

0