Nurikrimah
23 Oct 2024 at 20:59Masalah kenakalan anak di sekolah sering kali disalahkan pada guru atau sistem pendidikan formal. Padahal, sebagian besar akar masalahnya justru berawal dari rumah. Pendidikan moral, adab, dan kedisiplinan seharusnya ditanamkan sejak dini oleh orang tua. Sayangnya, dalam banyak kasus, anak-anak tumbuh tanpa bimbingan yang cukup, sehingga membawa kebiasaan buruk mereka ke lingkungan sekolah. Ketika guru berusaha mendisiplinkan, teguran justru dianggap sebagai kekerasan. Alhasil, guru jadi sasaran amarah, seperti yang terjadi dalam kasus Ibu Supriyani.
Banyak orang tua cenderung lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Mereka lupa bahwa sekolah hanyalah tempat melengkapi pendidikan dasar yang seharusnya diberikan di rumah. Anak-anak belajar nilai-nilai dasar seperti empati, kesopanan, dan tanggung jawab dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga. Ketika nilai-nilai ini tidak diajarkan, anak akan kesulitan memahami batasan perilaku yang diterima di luar rumah.
Kenakalan anak sering kali menjadi refleksi dari kondisi keluarga yang tidak harmonis atau kurang perhatian. Ketika orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan atau gadget, anak-anak mencari perhatian di tempat lain, termasuk di sekolah dengan cara-cara negatif. Mereka mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk diperhatikan adalah dengan bertindak nakal. Guru pun akhirnya menjadi orang yang harus berurusan dengan perilaku seperti ini setiap hari.
Sayangnya, ketika guru mengambil peran mendisiplinkan, tidak semua orang tua merespons dengan bijak. Alih-alih introspeksi, mereka sering kali justru menyalahkan guru atau sekolah. Ketika seorang anak mendapatkan teguran, beberapa orang tua malah menganggap itu sebagai bentuk penghinaan atau kekerasan. Ini memperlihatkan betapa pentingnya edukasi bagi orang tua tentang bagaimana mereka harus mendukung peran guru dalam membentuk karakter anak.
Kasus Ibu Supriyani adalah contoh nyata dari bagaimana kurangnya pendidikan di rumah bisa berujung pada konflik di sekolah. Anak yang sudah terbiasa tidak dihentikan perilaku nakalnya di rumah akan membawa kebiasaan tersebut ke sekolah. Ketika ditegur, ia merasa tidak terbiasa menerima konsekuensi. Masalah semakin diperburuk ketika orang tua tidak mendukung proses pendidikan di sekolah dan justru melindungi anak dari tindakan disiplin yang wajar.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, orang tua menggunakan kekuasaan atau jabatannya untuk menekan sekolah. Ini menunjukkan betapa ego dan gengsi bisa mengalahkan akal sehat. Bukannya bekerja sama dengan guru untuk mendidik anak, orang tua malah mencari jalan pintas dengan menuntut, memecat, atau bahkan mengkriminalisasi guru. Anak-anak yang melihat perlakuan ini akan semakin sulit memahami pentingnya menghormati guru dan aturan.
Kurangnya peran orang tua juga membuat anak-anak rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan. Mereka tidak punya panduan moral yang jelas, sehingga mudah terpengaruh teman atau media sosial. Di sinilah sekolah dan guru mencoba berperan untuk mengarahkan mereka, tapi usaha ini sering kali sia-sia tanpa dukungan dari rumah. Pendidikan karakter adalah proses berkelanjutan yang tidak bisa hanya bergantung pada jam sekolah.
Ketika orang tua menanamkan disiplin, kasih sayang, dan adab sejak dini, anak akan tumbuh dengan pemahaman tentang batasan perilaku. Mereka belajar bahwa setiap tindakan punya konsekuensi dan bahwa menghormati orang lain adalah bagian penting dari kehidupan sosial. Sebaliknya, tanpa pendidikan ini, anak akan tumbuh dengan ego yang tidak terkendali dan kesulitan beradaptasi dengan norma masyarakat.
Kolaborasi antara sekolah dan keluarga adalah kunci dari pendidikan yang efektif. Orang tua dan guru harus berada di satu barisan untuk memastikan anak tumbuh dengan karakter yang baik. Ketika satu pihak gagal menjalankan perannya, pihak lain akan kewalahan. Dalam kasus seperti Ibu Supriyani, guru yang berusaha mendidik dengan baik malah diperlakukan seperti pelaku kriminal.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sekolah. Rumah adalah tempat pertama dan utama di mana anak-anak belajar tentang dunia. Jika orang tua tidak memberikan bimbingan dan perhatian yang cukup, sekolah pun akan kesulitan menjalankan tugasnya. Tidak ada guru yang bisa sepenuhnya menggantikan peran orang tua dalam membentuk karakter anak.
Anak-anak dengan bimbingan kuat dari rumah akan lebih mudah menerima disiplin di sekolah. Mereka mengerti bahwa teguran adalah bagian dari proses belajar, bukan bentuk penghinaan. Sebaliknya, anak-anak yang terbiasa mendapatkan perlindungan berlebihan dari orang tua justru tumbuh dengan mentalitas anti-kritik. Ini berbahaya bagi perkembangan mereka di masa depan.
Guru seharusnya menjadi mitra orang tua dalam mendidik anak, bukan musuh. Ketika ada perbedaan pandangan, komunikasi yang baik adalah solusinya, bukan ancaman atau tuntutan. Sayangnya, masih banyak orang tua yang lebih fokus membela anak tanpa melihat konteks secara objektif. Jika pola ini terus berlanjut, pendidikan di Indonesia akan sulit berkembang.
Kita perlu memperkuat pemahaman bahwa adab dan moral tidak bisa diajarkan hanya dengan teori di kelas. Anak-anak membutuhkan contoh konkret dari orang tua di rumah. Mereka harus melihat bagaimana orang tua mereka memperlakukan orang lain dengan hormat agar bisa menirunya. Sekolah hanya bisa melengkapi, tapi rumah harus jadi fondasi utama.
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mendukung guru. Perlindungan bagi tenaga pendidik harus diperkuat agar mereka bisa menjalankan tugas tanpa rasa takut. Jika setiap guru merasa aman dan dihormati, mereka akan lebih bersemangat mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang dan dedikasi.
Pada akhirnya, pendidikan yang baik adalah hasil dari kerja sama yang harmonis antara rumah dan sekolah. Ketika kedua pihak bekerja bersama, anak-anak akan tumbuh dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sehat. Sebaliknya, jika salah satu pihak abai, dampaknya akan dirasakan oleh generasi penerus bangsa.
Kita semua harus belajar dari kasus Ibu Supriyani. Ini bukan hanya tentang satu guru, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan pendidikan dan menghargai peran guru. Dengan memperbaiki kolaborasi antara rumah dan sekolah, kita bisa membentuk generasi masa depan yang lebih baik dan beradab.
1