Onriza Putra
04 Jun 2020 at 02:40Yudi Latif atau yang sering dipanggil Kang Yudi adalah seorang intelektual pemikir, penggagas dan penulis gagasan-gagasan keindonesiaan dan kepancasilaan. Karya-karya yang dihasilkannya seperti Negara Paripurna, Wawasan Pancasila, Mata Air Keteladanan dan ratusan opini di media masa bolehlah dikatakan sebagai oase ditengah keringnya gagasan yang mencerahkan di ruang publik kita saat ini. Selain membumikan pancasila melalui karya tulisan, pemikiran Kang Yudi juga sering kita temui di berbagai diskusi, seminar dan dialog, bahkan dibeberapa kanal youtube dan media sosial. Salah satu yang menarik dari pemikirannya adalah permasalahan radikalisme.
Permasalahan radikalisme tidak hanya dialami oleh Indonesia, melainkan dihadapi oleh seluruh negara dan menjadi tantangan global. Kang Yudi mengistilahkannya dengan gelombang totalitarian kanan. Gelombang ini ialah respon global terhadap krisis kapitalisme, terutama dibawah pengaruh neo liberalisme yang membuat pasar global menusuk ke berbagai jantung kehidupan. Invasi ini telah membawa dampak kesenjangan yang tajam. Respon atas kesenjangan itulah yang melahirkan fasisme yaitu totalitarianisme atas dasar kesamaan ras, warna kulit, agama dan bangsa.
Dalam wawancara berjudul Jangan Cemaskan Pancasila (kanal youtube Medcom.id), Kang Yudi menjelaskan bahwa Radikalisme masuk ke ranah persoalan ideologis. Persoalan Ideologi merupakan urusan urban middle class. Dalam mencapai harapan idealnya, kaum ini melakukan usaha emansipasi dengan perjuangan ideologi. Sedangka Masyarakat desa, usaha emansipasinya itu bukan lewat ideologi, melainkan milenarian (ratu adil, juru selamat dan sebagainya). Masyarakat pra literasi, tidak menjadikan ideologi sebagai alat emansipasi.
Masyarakat urban middle clas mencoba mengartikulasikan dirinya, namun terbendung oleh suatu penghambat, maka memunculkan kecemburuan/kecemasan terhadap kelompok yang dianggap sebagai penghambat. Kelompok ini yang menggunakan sarana-sarana kultural untuk melawan sumber-sumber pemblokiran artikulasi dan mobilitas tersebut. Usaha-usaha artikulasi dan mobilitas dengan menggunakan sarana kultural inilah yang sering berketidaksesuaian dengan nilai-nilai pancasila.
Dalam sejarah awal kemerdekaan kita, penghilangan 7 kata (dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam pancasila dianggap sebagai peristiwa traumatik bagi sementara kalangan. Usaha-usaha (hingga saat ini) untuk menghidupkan 7 kata itu sering dianggap golongan yang tidak pro pancasila. Menurut Kang Yudi, konsep tersebut belum clear, karena saat Partai Masyumi punya ruang untuk mengambil kepentingan politik mulai tahun 1950 sampai 1955, gagasan-gagasan piagam jakarta itu surut. Bahkan Natsir selaku tokoh Masyumi selalu mengatakan pancasila itul kompatibel dengan islam.
Dalam menyikapi merebaknya persoalan intoleransi akhir-akhir ini, Kang Yudi memaparkan bahwa Indonesia memang masyarakat majemuk, tapi mengembangkan sikap hidup yang monokultural. Kita terbiasa mengembangkan pergaulan yang homogen, sesama etnis saja, sesama agama saja dan sebagainya. Tidak ada satu design kebudayaan yang mengajak segala keragaman ini berinteraksi secara rapat di ruang publik. Kesempatan hidup bersama dan berinteraksi secara berkelanjutan dapat menjadi solusi dan menimbulkan kesan mendalam dalam cara orang bisa menghargai perbedaan. Selama ini kita tidak ada design politik kebudayaan bahkan design pendidikan yang mencoba menangkap spiritnya.
Ruang-ruang yang terbuka bagi ragam-ragam aktifitas yang memperjumpakan keragaman, membuat kita keluar dari kepompong kolektivitas. Kita harus memperbanyak ruang-ruang perjumpaan tersebut. Kita bisa belajar dari peristiwa Sumpah Pemuda, Jong Sumatera, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes akhirnya saling berempati ketika saling berjumpa (dalam diskursus maupun fisik).
Menurut Kang Yudi Fundamentalisme tidak otomatis menjadi terorisme, kecuali mereka ada intervening variable yaitu mereka tereskpos dengan pengalaman pengalaman kekerasan atau violent extremism. Upaya yang harus dilakukan negara yaitu harus bisa membatasi lalu lintas masyarakat menuju zona-zona kekerasan di luar Indonesia.
Melalui perenungan yang panjang, Kang Yudi menawarkan sekaligus menyimpulkan bahwa Pancasila dapat menjadi titik temu atas persoalan bangsa. Menurutnya, Pancasila secara konseptual sudah sangat ideal, tapi level peradaban kita yang belum sampai ketingkat peradaban yang diinginkan Pancasila. Kalau kita ingin membudayakan dan membumikan pancasila, kita harus memenuhi 3 elemen kunci yang membuat peradaban itu bisa tumbuh yaitu tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera.
Seperti judul diatas, tulisan kali ini hanya sebatas “mengenal” Yudi Latif, ketimbang menyelami kedalaman gagasan dan pemikiran tokoh intelektual ini (mudah-mudahan di tulisan kedua). Banyak pencerahan-pencerahan pemikiran yang dapat kita pelajari sekaligus kita pedomani melalui buku, tulisan, wawancara dan sarana penyampaian informasi lainnya.
1