Muliadi
20 Aug 2024 at 19:42


        Krisis iklim telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ke-21, dengan dampaknya yang dirasakan di seluruh penjuru dunia. Meningkatnya suhu global, mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, serta cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi adalah beberapa tanda nyata dari perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca. Menghadapi krisis ini, upaya internasional telah digalang melalui berbagai inisiatif dan perjanjian, yang bertujuan untuk menekan laju pemanasan global dan memitigasi dampaknya. Salah satu tonggak utama dalam perjuangan global ini adalah Perjanjian Paris 2015, di mana negara-negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius, dengan upaya untuk menahan kenaikan pada 1,5 derajat Celsius.

        Melalui perjanjian ini, negara-negara berkomitmen untuk menyusun dan melaksanakan Nationally Determined Contributions (NDCs), yaitu rencana aksi nasional untuk mengurangi emisi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Selain itu, ada upaya untuk memperkuat pendanaan iklim, terutama bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan janji untuk mengumpulkan 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020, meskipun target ini belum sepenuhnya tercapai. Di luar Perjanjian Paris, inisiatif lain seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), dan Forum Ekonomi Dunia, juga menjadi platform penting untuk membahas dan mengkoordinasikan aksi iklim global.

        Namun, meskipun sudah ada banyak inisiatif dan kesepakatan internasional, tantangan dalam mengatasi krisis iklim masih sangat besar. Salah satu kendala utama adalah ketidakseimbangan antara ambisi dan aksi. Banyak negara yang, meskipun telah membuat komitmen, belum melaksanakan tindakan yang cukup untuk memenuhi target pengurangan emisi yang diperlukan. Selain itu, perbedaan kepentingan antara negara maju dan berkembang sering kali menghambat kemajuan dalam negosiasi internasional. Negara maju, yang historisnya bertanggung jawab atas sebagian besar emisi, didesak untuk memimpin dalam aksi iklim, sementara negara berkembang menekankan perlunya dukungan finansial dan teknologi untuk beralih ke ekonomi rendah karbon tanpa mengorbankan pembangunan.

        Di tengah tantangan ini, peran aktor non-negara seperti perusahaan swasta, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi semakin penting. Banyak perusahaan besar yang mulai mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan dan berkomitmen untuk mencapai net-zero emissions dalam beberapa dekade ke depan. Di sisi lain, gerakan lingkungan yang dipimpin oleh anak muda, seperti Fridays for Future, telah berhasil meningkatkan kesadaran global tentang urgensi krisis iklim dan mendorong pemerintah untuk bertindak lebih cepat dan lebih tegas.

        Krisis iklim membutuhkan respons kolektif dari seluruh elemen masyarakat internasional. Percepatan transisi ke energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, perlindungan hutan, dan pengembangan teknologi hijau adalah langkah-langkah krusial yang harus diprioritaskan. Sementara itu, kolaborasi internasional yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi kesenjangan dalam pendanaan iklim dan memastikan bahwa semua negara memiliki kapasitas untuk berkontribusi pada solusi global. Hanya melalui kerja sama yang erat dan komitmen yang kuat, dunia dapat menghadapi krisis iklim dan memastikan keberlanjutan planet ini bagi generasi mendatang.

0