Rika Dilawati
09 Jul 2024 at 16:29Peristiwa
konflik dalam masyarakat majemuk seringkali terjadi karena pluralitas yang
melekat pada wilayah tersebut, yang berpotensi menyebabkan perpecahan.
Indonesia memiliki sejarah konflik bernuansa agama di wilayah-wilayah heterogen
seperti Poso, Sampit, Sambas, Maluku, dan Aceh (Schulze, 2019). Menurut Asmara dan Noho (2022), agama sering menjadi penyebab
utama konflik, dengan kebencian kelompok mayoritas terhadap minoritas menjadi
faktor pemicu. Karenanya, eksistensi agama yang berwajah ganda, yakni sebagai
sumber moral positif dan potensi konflik negatif, memicu perdebatan di kalangan
ahli.
Di
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, khususnya Kampung Palalangon, meskipun terdiri
dari masyarakat Islam dan Kristen yang telah hidup berdampingan sejak abad
ke-15, tidak pernah terjadi konflik kekerasan. Hal ini berbeda dengan beberapa
insiden intoleransi di wilayah lain di Cianjur, seperti tindakan penolakan
bantuan agama lain untuk korban gempa oleh Ormas Islam Garis di Kecamatan
Karang Tengah (Rizqi, 2022) dan penyebaran hoaks
kristenisasi (Indriani, 2022).
Perilaku
toleransi di Kampung Palalangon menjadi antitesa perkembangan konflik agama di
Indonesia. Meskipun tingkat konflik agama masih tinggi di beberapa daerah
menurut SETARA Insitute (2022), Cianjur tidak termasuk dalam
kota-kota dengan kasus intoleransi agama tertinggi. Keberhasilan warga Kampung
Palalangon dalam menciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan harmonis bisa
menjadi model percontohan bagi masyarakat plural lainnya di Indonesia.
Tulisan
singkat ini membahas bentuk toleransi dan upaya masyarakat Kampung Palalangon
dalam membangun kehidupan toleran, dengan menggunakan perspektif pendidikan
multikulturalisme untuk memahami upaya penciptaan kehidupan damai dan toleran
di wilayah tersebut.
Dalam
perspektif pendidikan multikulturalisme, kehidupan toleran tidak hanya bisa
dilakukan melalui lingkungan pendidkan yang formal seperti sekolah dan kampus.
Toleransi juga bisa terwujud melalui aktivitas kehidupan budaya di masyarakat
secara langsung. Menurut James Banks (2019), pionir pendidikan
multikulturalisme, substansi pendidikan ini adalah kebebasan dan inklusivitas
untuk mempererat hubungan antar sesama di lingkungan kehidupan yang luas. Hal
ini terjadi di Kampung Palalangon di mana pendidikan multikulturalisme
diterapkan secara luas di kehidupan masyarakat, bukan hanya melalui institusi
formal.
James
A. Banks menjelaskan tiga pendekatan dalam pendidikan multikulturalisme untuk
menciptakan kehidupan damai dan harmonis. Pertama, pendekatan
kontributif yang melibatkan peran tokoh agama sebagai teladan, mediator, dan
fasilitator beragama. Kedua, pendekatan tambahan yang mengintegrasikan
budaya dengan prinsip-prinsip perdamaian. Ketiga, pendekatan aksi sosial
yang mencakup dialog keagamaan dan gotong royong dalam berbagai kegiatan
pembangunan.
Sejarah
Kampung Palalangon, Cianjur
Selama
ini, Cianjur dikenal sebagai wilayah yang mengusung kehidupan Islami, kota
santri yang mengusung tema ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Membangun Masyarakat
Berakhlakul Karimah). Menurut data Infopesantren.com sampai tahun 2020 terdapat
117 pesantren yang tersebar di 32 kecamatan. Namun, di balik nuansa Islamnya
yang kuat, daerah ini memiliki pemukiman yang dihuni oleh masyarakat Islam dan
Kristen yang telah lama hidup damai dan toleran. Pemukiman itu disebut Kampung
Palalangon.
Kampung
Palalangon terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat. Dihuni oleh 1021 warga, Kampung Palalangon dihuni oleh dua komunitas
beragama yakni Islam dan Kristen. Bahkan, Kampung Palalangon dikenal sebagai
pemukiman Kristenisasi tertua di Jawa Barat. Menurut laporan Desa Kertajaya,
wilayah ini memiliki 8 masjid, 16 musala, dan 11 gereja. Ini menunjukkan bahwa
pondasi kehidupan toleransi kuat di wilayah tersebut.
Dalam
sejarahnya, Kampung Palalangon pertama kali dihuni oleh penduduk Kristiani. Menurut
arsipindonesia.com, Kampung Palalangon pertama kali dihuni oleh komunitas
Kristen Pribumi pada era Radn Prawiradiredja menadi Bupati Cianjur tahun
1862-1910. Saat itu, para penyebar Agama Kristen dari Hindia Belanda meminta
lahan kepada bupati untuk mereka tempati. Mereka kemudian menempati sebuah
wilayah yang menjadi cikal bakal Kampung Palalangon hingga kini. Pada 17
Agustus 1902, B.M. Alkema pendiri Kampung Palalangon mulai mendirikan gereja
pertama untuk melaksanakan kebaktian. Saat itulah, Alkema menamai Kampung
Palalangon yang berarti 'Menara'.
Belakangan,
terutama setelah Indonesia merdeka, mulai dibangun pemukiman-pemukiman baru
oleh komunitas Muslim si sekitaran Kampung Palalangon. Bahkan, saat ini
pemukiman-pemukiman Muslim telah berdekatan dan ada pada area Kampung
Palalangon itu. Namun, tidak ada penolakan, semua warga Kristiani merenima
dengan baik. Hal inilah yang menandai toleransi di wilayah ini.
Upaya
Warga Kampung Palalangon Membangun Toleransi
Dalam
mewujudkan kehidupan toleran, warga Kampung Palalangon melaksanakan upaya-upaya
untuk memelihara keharmonisan mereka. Upaya mereka relevan dengan konsep
pendidikan multikulturalisme, terutama yang dicetuskan oleh James Bank dalam
tiga pendekatan utama.
Pertama, pendekatan kontributif melalui peran
tokoh agama.
Kampung
Palalangon merupakan contoh nyata implementasi pendidikan multikulturalisme
melalui peran vital tokoh agama dalam menciptakan kehidupan yang toleran. Di
sini, kiai dan pendeta memainkan peran penting sebagai teladan, mediator, dan
fasilitator dalam masyarakat yang plural.
Sebagai
teladan, kiai dan pendeta menunjukkan tingkah laku yang dapat dicontoh oleh
seluruh masyarakat, baik Muslim maupun Nasrani, dalam menjalani kehidupan
sehari-hari dan beribadah. Keberadaan mereka sangat dihormati dan dianggap
sebagai panutan yang membantu menciptakan kehidupan harmonis dan damai. Sikap
dan tindakan mereka menjadi model bagi masyarakat untuk hidup berdampingan
dalam kerukunan.
Peran
mediator tokoh agama di Palalangon juga sangat krusial dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan keumatan dan keagamaan. Misalnya, ketika beredar hoaks
tentang kristenisasi, kiai dan pendeta bekerja sama untuk mengklarifikasi dan
meluruskan kabar tersebut, sehingga tidak menimbulkan konflik di masyarakat. Menurut
Pendeta Sujiwan kepada penulis, hoaks tersebut merupakan strategi politik yang
tidak mempengaruhi kehidupan damai warga Palalangon. Karenanya, peran ini
memastikan bahwa potensi konflik dapat diredam sebelum berkembang lebih jauh.
Sebagai
fasilitator, tokoh agama juga menyediakan bantuan dan fasilitas untuk kegiatan
keagamaan. Di sana kiai aktif dalam mengadakan pengajian majlis taklim di
masjid dan menyediakan pendidikan di pondok pesantren, sementara pendeta
memfasilitasi peribadatan kaum Nasrani di gereja. Kedua peran ini menunjukkan
komitmen tokoh agama dalam mendukung praktik keagamaan masyarakat, tanpa
diskriminasi.
Kedua, pendekatan tambahan melalui
internalisasi budaya Sunda.
Pendekatan
tambahan dalam pendidikan multikulturalisme di Kampung Palalangon diterapkan
melalui internalisasi budaya Sunda. Budaya ini diadopsi oleh masyarakat
setempat karena mereka telah hidup lama dengan berlandasan kehidupan Sunda.
Budaya Sunda yang bersifat persuasif membantu menciptakan kehidupan toleran di
Palalangon.
Budaya
Sunda yang ditonjolkan ialah prinsip silih asih, silih asah, dan silih
asuh yang menjadi panduan hidup dan dipegang oleh masyarakat Palalangon. Silih
asih berarti saling mengasihi dan menyayangi, yang diwujudkan dalam
tindakan saling berbagi dan membantu. Misalnya, tradisi ‘nganteran’ saat
Idulfitri di mana warga Muslim berbagi makanan dengan tetangga Nasrani sebagai
bentuk kasih sayang dan persaudaraan. Sebaliknya, pada saat Natal tiba,
perilaku berbagi makanan itu juga dilakukan kepada warga Muslim.
Selanjutnya,
prinsip silih asah, yang berarti saling mengasah atau memberikan
pengetahuan, juga diterapkan. Warga Muslim dan Nasrani saling belajar
keterampilan baru, seperti bertani dan beternak, dari satu sama lain. Interaksi
ini menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati, menciptakan kehidupan
yang damai.
Terakhir,
prinsip silih asuh, yang berarti saling melindungi dan mengayomi, juga
dijalankan dengan baik. Misalnya, ketika warga Nasrani difitnah melakukan
kristenisasi, warga Muslim membela dan melindungi mereka dari fitnah tersebut.
Sikap saling melindungi ini memperkuat solidaritas dan keharmonisan di Kampung
Palalangon hingga kini.
Ketiga, pendekatan aksi sosial melalui dialog
dan gotong royong.
Pendekatan
aksi sosial dalam pendidikan multikulturalisme di kampung Palalangon terlihat
melalui kegiatan dialog keagamaan dan gotong royong. Dialog keagamaan menjadi
media penting bagi warga Palalangon untuk membahas isu kemasyarakatan dan
keagamaan. Melalui dialog, warga dapat menyelesaikan masalah bersama, seperti
saat menangani hoaks tentang kristenisasi. Dialog ini memperkuat kerjasama antar
warga dan mencegah konflik yang lebih besar.
Sementara,
gotong royong adalah bentuk lain dari pendekatan aksi sosial yang diterapkan di
Palalangon. Warga Muslim dan Nasrani bekerja sama dalam berbagai kegiatan,
seperti membangun fasilitas publik dan mengurus pemakaman. Misalnya, dalam
membangun gedung Islamic Centre Kampung Palalangon, warga Nasrani juga
turut serta sebagai pekerja. Contoh lain ialah kegiatan mengurus pemakaman.
“Ketika ada warga Muslim meninggal, kami turut berbela sungkawa, kami membantu
mengurusnya, itu lumrah, begitu pun sebaliknya,” ujar Pdt. Sujiwan Penatua GKP
Palalangon kepada penulis pada 7/9/2022.
Alhasil,
segala bentuk aktivitas dan kehadiran Kampung Palalangon di Cianjur dalam
memelihara toleransi menunjukkan bahwa pendidikan multikulturalisme bisa
dibangun tidak hanya melalui institusi pendidikan formal, melainkan juga
melalui kehidupan sehari-hari dan budaya. Di kampung Palalangon, warga yang
terdiri dari latar belakang agama berbeda hidup rukun dan damai tanpa konflik.
Peran tokoh agama sebagai teladan, mediator, dan fasilitator, dan internalisasi
budaya Sunda dengan prinsip silih asih, silih asah, dan silih asuh,
menjadi kunci utama dalam menjaga kerukunan serta kegiatan dialog dan gotong
royong menjadi upaya bersama dalam mewujudkan keharmonisan tersebut. Melalui kehadiran
Kampung Palalangon ini, harapannya bisa menjadi contoh untuk wilayah lain yang
serupa.
Referensi
Asmara, T., &
Noho, M. D. H. (2022). Religion and Cosmopolitan Society: Religious Conflict
Settlement Based on Legal Culture. Cosmopolitan Civil Societies: An
Interdisciplinary Journal, 14(3), 46–60.
Banks, J. A. (2019). Multicultural
education: Issues and perspectives. John Wiley & Sons.
Dzulfaroh, A. N.
(2022). 10 Daerah Paling Toleran di Indonesia, Mana Saja? Kompas.Com.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/02/200500465/10-daerah-paling-toleran-di-indonesia-mana-saja-
Indriani, R. M. D. I.
M. D. (2022). CEK FAKTA: Gencar Kristenisasi, 100% Warga Pindah Agama Jadi
Kristen di Daerah Cianjur, Benarkah? Suara.Com.
https://www.suara.com/news/2022/12/03/154748/cek-fakta-gencar-kristenisasi-100-warga-pindah-agama-jadi-kristen-di-daerah-cianjur-benarkah#:~:text=Dari
penjelasan di atas%2C maka,content atau konten yang menyesatkan.
Rizqi, A. (2022).
Mengapa Masih Terjadi Intoleransi di Cianjur? Kumparan.Com.
https://kumparan.com/moh-ainu-rizqi/mengapa-masih-terjadi-intoleransi-di-cianjur-1zOIuAvHYPi
Schulze, K. E. (2019).
The “ethnic” in Indonesia’s communal conflicts: violence in Ambon, Poso, and
Sambas. In Affect, Interest and Political Entrepreneurs in Ethnic and
Religious Conflicts (pp. 116–134). Routledge.
0