raundoh tul jannah
28 May 2020 at 13:46Banyak
hal dapat menggambarkan keberagaman yang terkandung dalam ibu badan kampus
sebagai ruang ilmu dunia. Baik ditinjau dari aspek latar belakang individu,
wilayah, kebudayaan, bahasa hingga agama. Aspek kepercayaan yang dianutlah, yang
menjadi hal utama paling melekat pada setiap individu. Sehingga kondisi tersebut
berkaitan erat dengan fasilitas rumah ibadah. Terkadang keberadaan fasiltas
tempat ibadah menjadi salah satu indikator tolak ukur perguruan tinggi tersebut
sudah membangun iklim akademik yang plural dan toleran atau tidak.
Penulis
berikan gambaran keberagaman dalam penyediaan rumah ibadah di dalam dua
perguruan tinggi besar di Jawa Tengah, yaitu di Universitas Negeri Semarang
(UNNES) dan Universitas Negeri Sebelas Maret
(UNS), Solo. Ketika berkunjung ke UNNES kita akan menjupai masjid sebagai
tempat ibadah untuk mahasiswa muslim dan belum ada gereja atau bagunan rumah
ibadah lainnya untuk mahasiswa nonmuslim di dalam kampus. Berbeda halnya dengan
kondisi di UNS, Solo disana kita dapat menjumpai tempat ibadah dari enam agama
di Indonesia yang disedikan pihak kampus untuk mahasiswa yang dinamakan dengan
“Benteng Pancasila”. Contoh di atas menggambarkan dua potret yang cukup berbeda,
atau mungkin keberagaman tersebut dibangun dari perspektif yang berbeda.
Tetapi,
perhatian terhadap fasilitas dan kondisi keberagaman seluruh masyarakat kampus
perlu digaris bawahi oleh para pimpinan birokrasi di universitas seluruh
Indonesia. Perguruan tinggi semestinya mampu menangkap peluang dan berniat
memberikan standing position untuk menjadikan iklim rumah belajar sebagai
“Laboratorium Keberagamaan” yang lebih toleran, mencetak generasi yang lebih
mencintai keberagaman serta menangkal susupan paham-paham intoleran maupun
extrimis yang merebak dan menjadi rahasia umum di kehidupan kampus.
Merawat
laboratorium keberagaman agar tetap ramah
Pimpinan
birokrasi kampus seharusnya mampu melakukan beberapa tindakan berikut, memberikan
ruang fasilitas-fasiltas rumah ibadah, pengawasan akan fungsinya, merupakan
salah satu indikator pendukung persatuan dan pencegahan terjadinya tindakan
amoral di dalam kampus. Kemudian, memberikan pengawasan yang lebih ketat
terhadap ormas yang akan masuk dan beraktivitas di dalam lingkungan hidup
kampus. Jangan sampai menyalahi nilai-nilai keberagaman yang harus dijunjung
tinggi oleh perguruan tinggi.
Apalagi
memberikan peluang besar kepada organisasi masyarakat yang menentang
keberagaman tersebut dan khususnya menyasar
pada program studi eksata. Seperti yang dikemukakan intelektual
Nahdhatul Ulama (NU), Ketua Pengurus Cabang NU Jember KH Abdullah Syamsul
Arifin atau Gus Aab menilai (kalangan mahasiswa eksata) banyak mendapatkan
transformasi keilmuan di bidang agama lebih pada proses instan, seperti
e-learning atau halaqoh, yang tidak berangkat dari dasar pengetahuan itu
sendiri yang banyak dipelajari di pesantren. Tentu apabila dibiarkan akan
membahayakan kehidupan sosial pendidikan di kampus.
Selain
itu, pihak kampus juga seharusnya mengawasi penyebaran ideologi tertentu yang
berkembang di lingkungan kampus, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
negara yakni Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan NKRI). Kampus harus bersih dari organisasi keormasan, haruslah netral,
menjunjung nilai dan tidak sentral pada agama atau ideologi tertentu.
Oleh
karena itu, birokrasi kampus harus mendeteksi potensi dan mencegah tindakan
amoral, paham intoleran, radikal yang muncul di lingkungan kampus baik secara
daring maupun luring. Hal itu sudah menjadi kewajiban kampus karena berkaitan
dengan kebebasan akademik untuk mengembangkan intelektualitas. Sulistyowati
Irianto dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan (2012:128),
menyatakan kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam universitas yang
otonom.
Memperbanyak
kegiatan diskusi akademik, seperti seminar kebangsaan, dikusi ilmiah, sarasehan
budaya, kelas kursus pengembangan diri, diskusi beasiswa, kelas bahasa dan
lainnya yang saat ini dapat diakses gratis secara daring atau luring seperti
kegiatan biasanya sebelum pandemi. Mahasiswa harus memiliki pemikiran yang
lebih luas, terbuka dan tidak hanya semata-mata berorientasi pada ideologi
tertentu, tidak mudah terombang-ambing apalagi tersulut polemik yang sengaja
diciptakan pihak tertentu.
Karena
sesungguhnya mahasiswa adalah bagian potret “laboratorium keberagaman”
dalam mencegah segala bentuk tindakan intoleran di kampus yang tidak memihak
pada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan. Di dalam kampuslah
potret ideal kehidupan berbangsa, dan bernegara itu ada. Dari kampuslah nampak
masyarakat Indonesia yang plural, dengan berbagai kekayaan dan keanekaragaman
budaya, agama, bahasa hingga suku bangsanya. Tanpa adanya semangat peran
mahasiswa, mungkin reformasi masih menjadi mimpi.
Mahasiswalah yang nanti akan mendominasi seluruh kegiatan berakademik, politik, ekonomi, sosial budaya masyarakat, bahkan ketahanan negara dalam menghadapi ancaman pemecah kebhinekaan.
Oleh: Raundoh Tul Jannah
0