Qurratul Hilma
10 Jun 2024 at 11:43Masa
Depan Pendidikan Indonesia: “Transformasi Pendidikan Melalui Penguatan Literasi Digital”
Oleh: Qurratul Hilma
Perkembangan
teknologi yang pesat secara tidak langsung mempengaruhi perilaku remaja
Indonesia, khususnya dalam penggunaan media digital. Di satu sisi, media
digital merupakan sumber informasi yang dibutuhkan oleh semua kalangan. Di sisi
lain, media digital dapat menjadi sarana penayangan kekerasan, pornografi,
berita palsu, serta ujaran kebencian. Di era globalisasi, perputaran informasi terjadi
dengan sangat cepat dan mudah diakses. Namun, kita harus mampu membedakan mana
informasi yang asli dan mana yang hanya hoaks.
Media
digital ibarat pedang bermata dua,
memiliki manfaat positif bila digunakan secara bijak, namun berdampak negatif
jika pengguna terjebak dengan taktik media sosial seperti phishing, penyebaran
berita bohong, atau kejahatan lainnya. Hal ini masih menjadi salah satu alasan
mengapa media digital sering memberikan dampak negatif, karena terbatasnya
kesadaran literasi digital di kalangan masyarakat dan generasi muda.
Menurut
data UNESCO, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dalam hal angka melek
huruf, yang artinya minat membaca sangat rendah, yaitu 0,001%. Artinya, dari
1.000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat membaca. Secara
umum, sistem pendidikan Indonesia tidak mendorong siswa untuk mencintai atau
setidaknya meluangkan waktu untuk membaca dan menulis. Siswa hanya diisi dengan
berbagai materi yang harus dicerna semuanya. Dengan kebijakan belajar penuh
waktu, rutinitas ini nampaknya semakin melelahkan. Siswa tidak diajarkan
bagaimana memahami dinamika permasalahan yang muncul dalam lingkungan sosial
mereka. Selain itu, sistem peringkat menciptakan persaingan yang tidak hanya
menimbulkan keterasingan dan terkikisnya pemikiran kritis, namun juga mereduksi
hakikat pendidikan yang berbentuk kekeluargaan dan gotong royong.
Memang
ada terobosan yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem
Makarim, dengan mengeluarkan kebijakan penilaian keterampilan dan penyelidikan
kepribadian, yang salah satu isinya adalah mengembangkan kemampuan literasi
siswa. Namun, kebijakan tersebut disajikan dalam konteks yang mirip dengan
metodologi PISA yang akan diluncurkan tahun depan. Pada tahun 2016, sebenarnya program
Gerakan Literasi Sekolah telah dicanangkan, namun metode yang kurang efektif
membuat program ini berjalan tidak efisien.
Generasi
saat ini
merupakan cerminan Indonesia di masa depan. Bagaimana tidak, sebentar lagi
Indonesia akan menginjak usia 100 tahun. Seorang penerbit Indonesia pernah
berkata: “Beri saya 1.000 orang tua, saya akan mencabut Semeru dari akarnya
selamanya. Beri aku 10 anak muda, aku pasti akan mengguncang dunia.” Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan generasi sekarang sangat mempengaruhi keadaan
Indonesia di masa depan. Keberadaan generasi dalam berbagai aspek sangat
membantu meningkatkan kualitas sumber daya di Indonesia.
Berkaitan
dengan hal tersebut, perlu adanya gerakan dan gagasan untuk meningkatkan
tingkat literasi digital masyarakat Indonesia guna mendukung optimalisasi
pendidikan di Indonesia. Untuk menyikapi hal ini, Generasi Z harus mampu
mengoptimalkan pemikirannya dengan memunculkan ide-ide dan inovasi baru yang
lebih kreatif dan progresif. Dengan demikian, kualitas mereka akan lebih baik
dibandingkan dengan daya saingnya. Kontribusi dan dedikasi generasi muda dalam
hal ini dapat diwujudkan dengan bersinergi untuk menciptakan digitalisasi yang
berkualitas.
Selain
itu, Generasi Z juga harus mampu menggunakan setiap informasi dan komunikasi,
khususnya internet, untuk menentukan pilihan konten yang positif. Belshaw
mengemukakan delapan faktor penting untuk meningkatkan literasi digital, yaitu:
(1) faktor budaya, khususnya pemahaman konteks dunia digital; (2) faktor
kognitif atau daya pikir dalam menilai isi; (3) unsur konstruktif atau
inovatif; (4) unsur komunikasi atau pemahaman kinerja jaringan dan komunikasi
di dunia digital; (5) faktor kepercayaan yang bertanggung jawab; (6) unsur
kreatif untuk melakukan hal baru dengan cara baru; (7) faktor penting untuk
menangani konten; dan (8) tanggung jawab sosial.
Disamping itu, untuk meningkatkan
literasi digital dan mengoptimalkan pendidikan, Generasi Z juga harus
meningkatkan kreativitasnya, baik dalam berpikir maupun bertindak, sehingga
memiliki keterampilan untuk menciptakan perbaikan baru. Generasi Z juga perlu
memiliki soft skill, antara lain kemampuan berbicara, kolaborasi, peningkatan
empati, kemampuan berpikir kritis, dan mengedepankan etika dalam berkomunikasi
melalui media digital.
Dengan
adanya gagasan ini, kita disadarkan bahwa sudah saatnya kita membuka mata dan
telinga untuk bersama-sama mengatasi permasalahan ini. Berpikirlah kritis dan
kreatif. Yang kita butuhkan adalah saling mendukung dan terlibat. Melalui
kekuatan literasi, kita bisa menyelamatkan Ibu Pertiwi. Memperbaiki kehidupan
bangsa untuk mempersiapkan generasi emas di masa depan. Mari kita berkontribusi
bersama membangun budaya digital berkualitas untuk mempersiapkan generasi emas
penerus di tahun 2045.
0