Ridwan Rustandi
20 May 2020 at 22:01Orientasi utama pelaksanaan
ritual shaum ramadhan adalah meningkatkan ketaqwaan. Firman Allah dalam Qs.
Al-Baqarah ayat 183 menjadi doktrin utama ajaran Islam yang menjelaskan
mengenai tujuan ini. Ungkapan “Laalakum Tattaquun” pada ayat tersebut
memberikan penegasan kepada setiap muslim yang beriman agar hendaknya
menjadikan spirit ramadhan untuk membina mentalitas dan menguatkan
spiritualitas sehingga terwujud kehidupan yang didasari dengan kataqwaan
terhadap Allah Swt.
Pada dasarnya, setiap ajaran
agama Islam mengandung dua dimensi yang saling melengkapi. Pertama, dimensi ketuhanan (ilahiyyah)
yang berorientasi pada peningkatan keyakinan, ketundukan dan ketaatan
terhadap Allah Swt. Pada dimensi ini, umat Islam menyandarkan dirinya menjadi
seorang abdullah yang menggantungkan
segala kebutuhan, keinginan dan kepentingannya hanya kepada Allah Swt.
Sehingga, setiap ajaran agama yang dilaksanakan secara ritual-formal menjadi training dalam proses penghambaan diri.
Kedua,
dimensi
kemanusiaan (insaniyyah) yang
berorientasi pada upaya mengenali diri sendiri sebagai bagian dari makhluk Allah Swt, kesadaran sebagai social animal yang senantiasa
membutuhkan manusia lainnya, dan ikhtiar menanamkan mentalitas kelompok yang
kolaboratif, kolektif dan berorientasi pada solidaritas sosial. Pada dimensi
ini, setiap ajaran Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang humanis dan
mendorong perwujudan kehidupan sosial yang damai, harmonis dan simbiotis.
Shaum
dan Ketenangan Jiwa
Apabila
ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun
dibelenggu (HR. Bukhori-Muslim). Sabda nabi Muhammad Saw tersebut
menjadi landasan bagi kita bahwasanya ibadah shaum memiliki keistimewaan yang
luar biasa. Pada dimensi ketuhanan, shaum menguatkan jiwa manusia agar
menggantungkan segala kebutuhan hidupnya hanya kepada Allah Swt. Shaum
berpotensi membunuh jiwa animalisme, egoisme dan berhala-berhala lainnya yang
bersemayam dalam jiwa manusia. Sebab, pada bulan ramadhan, bulan ketika ibadah
shaum disyariatkan kepada seluruh umat Islam, Allah Swt membuka potensi
kebaikan selebar-lebarnya dan memperkecil celah kemaksiatan. Ungkapan “Shuffidat Syayathiin” pada hadits di
atas menjadi tanda kuasa Allah Swt dalam mengatur segala bentuk kehidupan dan
kematian di seluruh semesta.
Sementara
itu, pada dimensi kemanusiaan shaum mengajarkan nilai-nilai kedermawanan yang
berorientasi pada pembentukan mentalitas dan mindset sosial. Kedermawanan menjadi sebuah keniscayaan sebagai sebuah
prasyarat dalam penyucian jiwa (tazkiyatun
nafs). Sebab, doktrin ajaran Islam memberikan penjelasan agar selayaknya
manusia menyisihkan sebagian harta dan kepemilikannya untuk orang lain.
Penyaluran harta kepada yang berhak (penerima/mustahiq) baik melalui zakat, infaq dan shodaqah merupakan salah
satu upaya mensucikan harta yang bertujuan menguatkan ketenangan jiwa (nafs al-muthmainnah) baik bagi pemberi
maupun penerima. Pada sisi lain, penyucian jiwa ini berorientasi pada penguatan
jejaring masyarakat, sehingga tercipta solidaritas dan kohesivitas sosial yang
tinggi. sejalan dengan itu, tujuan shaum dalam membina pribadi yang taqwa
berimplikasi secara langsung kepada penguatan dimensi kemanusiaan. Dengan kata
lain, semakin taqwa seseorang, maka semakin tinggi jiwa kemanusiaan yang ada
dalam dirinya. Jiwa kemanusiaan ini diaktualisasikan dalam lingkup kehidupan
sosial.
Konektivitas Ramadhan
Kalau
kita amati, di setiap momentum shaum ramadhan konektivitas sosial masyarakat
Indonesia semakin tinggi. Koneksi ini terwujud dalam beragam saluran sosial
baik dalam bentuk kedermawanan, solidaritas maupun program berbagi dengan
sesama. Ramadhan menjadi momentum dalam menguatkan koneksi sosial yang
berorientasi pada jejaring masyarakat yang produktif dan memberdayakan. Proses
berdaya ini dilakukan baik di mulai dari diri sendiri, berdaya dalam lanskap
lingkungan maupun berdaya dalam ruang lingkup kesemestaan. Ramadhan
menghubungkan berbagai elemen masyarakat tanpa memperhatikan latar belakang dan
status sosial. Ramadhan menjadi momentum dalam mewujudkan koneksi kemanusiaan.
Setidaknya,
konektivitas ramadhan ini berlangsung pada tiga sisi, yaitu: pertama, koneksi personal yang
berlangsung antar bagian masyarakat secara individual. Kebaikan-kebaikan yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, pada dasarnya adalah kebaikan untuk
dirinya sendiri (Qs. Al-Isra: 7). Koneksi kemanusiaan secara personal ini
menjadi zona kemanusiaan yang harus dijaga kewarasan dan kesadarannya dari
berbagai potensi dehumanisasi. Kedua, koneksi
situasional yang berlangsung dalam ruang fisikal dan spasial yang lebih luas.
Koneksi ini dalam kerangka membangun kebermanfaatan terhadap lingkungan tempat
hidupnya. Sabda Rosulullah Saw bahwa manusia yang paling baik adalah mereka
yang membangun koneksi kebermanfaatan bagi yang lainnya (khoirunnas anfauhum linnas). Ketiga, koneksi semesta yang
berlangsung tidak hanya untuk kebutuhan hidupnya selama di dunia, tetapi juga
menjadi investasi kebaikan di kehidupan yang akan datang (akhirat). Sabda Rosulullah
Saw bahwanya manusia yang memudahkan urusan saudaranya semasa di dunia, maka
Allah Swt akan memudahkan urusannya kelak (HR. Mutafaqun Alaih).
Ketiga
koneksi ramadhan ini bermuara pada terbentuknya jejaring masyarakat yang
memiliki kesadaran teologis dan humanis. Momentum ramadhan mengajarkan
nilai-nilai keterhubungan sebagai manusia yang selama ini mulai pudar karena
pesatnya teknologi digital. Di satu sisi, teknologi digital memudahkan manusia
dalam membangun ruang komunikasi efektif dan terbuka melalui media-media
komunikasi supercanggih, tetapi di sisi lain terkadang teknologi digital belum
mampu mewujudkan ruang komunikasi yang empatik. Pada titik inilah, shaum
ramadhan memberikan training kepada kita untuk menahan hasrat, membunuh egoisme
dan menguatkan koneksi sosial agar tercipta solidaritas dan kohesivitas sosial.
0