Patrichia Angelica Bemey
31 Mar 2024 at 12:49


Cerita Inspiratif dari Papua: Menyoroti Perdamaian dan Toleransi


Papua, sebuah tanah yang kaya akan keindahan alam dan keanekaragaman budaya, sering kali menjadi sorotan atas konflik dan ketegangan yang terjadi di wilayah tersebut. Namun di tengah-tengah tantangan tersebut, terdapat juga banyak cerita inspiratif yang menggambarkan semangat perdamaian dan toleransi yang hidup di masyarakat Papua. Dari kisah-kisah ini, kita bisa belajar bahwa keberagaman bukanlah sebuah hambatan, tetapi merupakan kekuatan yang mampu menyatukan dan menyuburkan kehidupan bersama.


### Cerita 1: Kolaborasi Lintas Etnis dalam Proyek Pembangunan


Di sebuah desa di pedalaman Papua, sebuah proyek pembangunan jembatan yang menjadi tidak penting bagi aksesibilitas dan pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, pembangunan tersebut mengancam tantangan besar akibat ketegangan antar kelompok etnis yang tinggal di sekitar desa. Berbagai suku yang memiliki sejarah konflik dan ketegangan berusaha menonjolkan kepentingan mereka masing-masing.


Namun, di tengah situasi seperti ini, seorang tokoh masyarakat yang bijaksana dan visioner datang dengan ide-ide cemerlang: untuk melibatkan semua suku dalam proses pembangunan jembatan tersebut. Dengan memfasilitasi dialog lintas etnis, tokoh-tokoh tersebut berhasil meredakan ketegangan dan membangun kesepahaman bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Melalui kolaborasi lintas etnis ini, pembangunan jembatan tidak hanya berhasil diselesaikan dengan sukses, tetapi juga memperkuat hubungan sosial dan toleransi antara masyarakat setempat.


### Cerita 2: Toleransi Antar Agama dalam Perayaan Keagamaan


Di sebuah kampung kecil di pesisir Papua, terdapat perayaan keagamaan yang menjadi momen penting bagi seluruh penduduk, meskipun mereka menganut agama yang berbeda-beda. Meskipun sebagian besar penduduk kampung tersebut menganut agama Kristen, namun terdapat juga minoritas yang menganut agama Islam dan agama lokal.


Selama perayaan tersebut, semua warga, tanpa memandang agama, bersatu dalam kerukunan dan kebersamaan. Mereka saling menghormati perbedaan keyakinan dan bahkan aktif membantu dalam persiapan dan pelaksanaan perayaan tersebut. Di sini, perbedaan agama bukanlah menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekuatan dalam memperkaya pengalaman keagamaan mereka.


### Cerita 3: Pelajaran Toleransi dari Anak-Anak Papua


Dalam sebuah sekolah di Papua, anak-anak dari berbagai suku dan agama belajar bersama dalam lingkungan yang inklusif dan beragam. Di sekolah ini, anak-anak belajar untuk saling menghargai, saling membantu, dan saling mendukung satu sama lain, tanpa memandang latar belakang etnis atau agama mereka.


Melalui kegiatan-kegiatan seperti diskusi kelompok, proyek kolaboratif, dan acara kebudayaan, anak-anak Papua belajar untuk memahami dan merayakan keberagaman. Mereka menjadi contoh hidup tentang bagaimana perdamaian dan toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di tengah-tengah perbedaan.


### Mengambil Pelajaran dari Cerita-Cerita Papua


Cerita-cerita inspiratif dari Papua mengajarkan kepada kita bahwa perdamaian dan toleransi bukanlah sekedar impian, tetapi merupakan hal yang dapat diwujudkan melalui kerja keras, kesabaran, dan komitmen untuk saling menghormati. Masyarakat Papua telah menunjukkan bahwa keberagaman budaya dan agama bukanlah penghalang, namun justru merupakan kekayaan yang harus dirayakan.


Dengan memahami dan menghargai perbedaan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif, harmonis, dan damai. Kisah-kisah inspiratif ini mengingatkan kita bahwa di tengah-tengah konflik dan ketegangan, masih ada cahaya harapan yang terus menyala, mengarah pada jalan perdamaian dan kesatuan.


Rasa persaudaraan dan toleransi umat beragama terlihat dalam perayaan 129 tahun misi Katolik di Papua yang digelar di Fakfak, Papua Barat. Mereka bahkan membakukan menjadi filosofi hidup yaitu ”Satu Tungku Tiga Batu”.

Tayib Biarpruga, Kapitan Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Fakfak, Selasa (23/5/2023), tergesa menuju jalan masuk kampung. Di sana warga yang mempunyai keahlian memainkan sawat, alat musik sejenis rebana, telah berkumpul dan memainkannya kencang-kencang. Beberapa warga lainnya menari dengan menggerakan badan sedemikian rupa mengikuti irama rampak dari sawat.

Tidak berapa lama sebuah mobil berhenti dan Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You turun bersama perwakilan umat katolik, satu buah salib besar turut dibawa. Pertemuan tersebut menjadi rangkaian awal napak tilas 129 tahun misi Katolik di Papua.

Tayib kemudian mengajak tamunya untuk menuju rumahnya yang berada di samping dermaga kecil dengan diantar segenap warga kampung dan diiringi tetabuhan sawat. Lalu di depan rumah Tayib, Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You memberi catatan saat memberikan sambutan. ”Indonesia harus belajar tentang toleransi dari Kampung Sekru ini,” ujarnya.

Kampung Sekru di Distrik Pariwari sendiri mempunyai nilai penting dalam sejarah masuknya Katolik di Tanah Papua 129 tahun lalu yang dibawa oleh Pastor Le Cocq d'Armandville SJ. Karena sudah beragama Islam, nenek moyang kampung Sekru (salah satunya nenek moyang dari Tayib Biarpruga) meminta pastor untuk bermalam, lalu memanggil keluarga mereka yang tinggal di daerah pegunungan yang belum menganut agama untuk datang.

Hingga kemudian warga di pegunungan yang berada di kawasan Torea tersebut mengimani Katolik sebagai agamanya. Kejadian itu lalu menjadi contoh dan penanda tumbuh suburnya toleransi di Kabupaten Fakfak hingga kini dan dibakukan dalam satu filosofi hidup Satu Tungku Tiga Batu.

Dari Kampung Sekru, Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Theofilus Matopai Anda diantar dengan perahu oleh segenap warga Muslim untuk menuju lokasi perayaan 129 tahun misi Katolik di Papua di Pulau Bonyom. Gemuruh suara sawat terdengar nyaring dari satu perahu yang mendampingi sepanjang perjalanan. Sebelumnya mereka mampir ke salah satu tempat pertama kali Pastor Le Cocq d'Armandville SJ menginjakkan kaki di Kampung Sekru untuk membuka rangkaian perayaan dan dibuka oleh doa secara Islam yang dibawakan oleh Tayib Biarpruga.

Perayaan tersebut tidak hanya perayaan menjadi umat Katolik, tetapi juga perayaan seluruh warga di Fakfak. Untuk pendanaan kegiatanpun dilakukan secara swadaya melalui proses adat Wewowo Misi Katolik Maghi, sebuah proses yang biasa dilakukan saat akan ada pernikahan. Dalam proses yang dilakukan di depan Gereja Katolik Santo Yosep, warga dari berbagai keyakinan datang untuk mencapai kesepakatan, baik secara pibadi maupun lembaga. Dalam proses tersebut berhasil terkumpul dana sebesar Rp 438 juta.

 

Di Pulau Bonyom, lebih dari satu jam berperahu dari Kampung Sekru, ratusan warga telah menunggu. Sebelum sajian pentas budaya, diadakan perayaan misa. Di bawah tenda yang sama, mereka datang dari beragam keyakinan duduk bersama tidak dibedakan-bedakan, hanya saja beragama Katolik kemudian berdiri saat misa dilaksanakan.

 

Setelah misa selesai, suara tifa bergemuruh mengiringi penari membawakan tarian titir. Sebagai simbol toleransi yang diagungkan di Fakfak, tarian dibawakan juga oleh penari Muslim. Tarian tersebut kemudian disambut warga dengan ikut serta menari bersama.

 

Perayaan kebersamaan tersebut seolah memperkuat kembali identitas mereka sebagai anggota suku Mbaham Matta, suku besar yang mendiami Fakfak, yang menjunjung tinggi filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Tungku bermakna kehidupan, sementara tiga batu bermakna aku, kamu dan dia, yang masing-masing memiliki perbedaan, baik agama, suku, maupun status sosial di dalam satu wadah bernama persaudaraan.

0