Ridwan Rustandi
19 May 2020 at 22:45Era konvergensi media
menawarkan cara baru dalam proses sosialisasi manusia. Kehadiran teknologi
digital mampu menghubungkan jejaring masyarakat dalam berbagai ruang lingkup
yang bersifat terbuka dan global. Media-media komunikasi supercanggih
mengkoneksikan antar bagian masyarakat yang tidak terbatas oleh ruang fisik dan
spasial. Dalam hal ini, internet menjadi media baru yang dipandang dapat
merubah struktur sosial manusia dalam berbagai aktivitasnya, tak terkecuali
dalam konteks beragama.
Kalau membaca data, setidaknya
terdapat 171 juta pengguna internet aktif di Indonesia dengan berbagai modus
kepentingan. Berdasarkan data APJII, pada tahun 2018 sebesar 18,9 persen
menjadikan media sosial sebagai alasan utama untuk mengakses internet. Dan
sebesar 19,1 persen menjadikan media sosial sebagai alasan kedua mengakses
internet. Data ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar pengguna internet
aktif di Indonesia mengakses media sosial ketika terhubung melalui internet.
Mengenai media sosial apa saja yang paling banyak dikunjungi oleh users, APJII menyatakan bahwa tiga besar
aplikasi media sosial yang paling populer secara berurutan adalah Facebook (50,7%), Instagram (17,8%) dan Youtube (15,1%).
Media
Sosial dan Ekspresi Negatif
Trend penggunaan teknologi
digital kian hari semakin meningkat. Tercatat, pada tahun 2018 penetrasi
pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 10,12% dari tahun
2017 sebesar 54,68% menjadi 64,80%. Media sosial sebagai ruang digital menjadi
saluran komunikasi populer bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain
berpotensi secara positif dalam proses edukasi dan information sharing, media sosial pun tidak terlepas dari sebaran
pesan-pesan dengan nada sumbang bahkan negatif.
Informasi yang bersifat hoax, hatespeech dan berpotensi fitnah
tersebar salah satunya melalui media sosial. Bahkan tercatat, hampir 80 persen
informasi hoax dan hatespeech setiap harinya disebarkan di
sebagian besar pengguna internet baik dalam bentuk video, pesan berantai maupun
dalam bentuk teks bergambar seperti meme. Media sosial menjadi saluran populer
yang digunakan untuk menyebarkan suara-suara sumbang dengan tujuan rekayasa dan
manipulasi kebenaran.
Ekspresi negatif lainnya yang seringkali
tersebar dalam media sosial adalah ejekan sosial atau lazim dikenal dengan
istilah cyber bullying. Istilah ini
merujuk pada tindakan pengguna media sosial yang saling melemparkan ejekan
melalui kolom komentar yang tersedia di setiap akun media sosial. Ejekan dapat
terjadi pada berbagai figur pengguna internet, bukan hanya public figure seperti artis atau tokoh politik. Tercatat, 49% dari
pengguna internet mengaku pernah mengalami tindakan ejekan/dilecehkan di ruang
siber.
Hoax,
hatespeech, cyber bullying dan berbagai kriminalitas digital lainnya
merupakan beberapa gejala dari adanya ekspresi dan tindakan negatif yang
terjadi di ruang mayantara. Media sosial ibarat pisau, sangat tergantung pada
penggunanya. Kebaikan akan tersebar ketika para pengguna media sosial
didominasi oleh kecenderungan potensi dan motif-motif positif. Sebaliknya,
tindakan-tindakan kriminal dapat berlangsung dengan dominan, ketika pengguna
berupaya menggunakan media sosial sebagai saluran pesan dan ekpresi negatif. Gejala-gejala
seperti ini dapat kita sebut sebagai gejala dehumanisasi digital. Yakni, sebuah
proses pudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlangsung di ruang virtual
disebabkan asupan informasi negatif yang terlalu dominan dibandingkan informasi
positif. Dehumanisasi digital pada gilirannya berimplikasi pada ruang-ruang
kehidupan sosial manusia secara nyata.
Shaum
dan Kemanusiaan
Di era teknologi digital,
penyebaran berita hoax, hatespeech,
narasi dan aksi teror, serta cyber
bullying merupakan salah satu bentuk dehumanisasi. Dehumanisasi berlangsung
sebagai sebuah bentuk self distruction (perusakan
dari dalam) yang secara psikologis dan sosiologis mempengaruhi mentalitas dan
kerangka pikir manusia baik secara personal maupun sosial. Aktivitas manusia di
ruang mayantara lambat laun, disadari atau tidak, akan berpengaruh pada ruang
psikologis (psycosphere) individu.
Ruang psikologis ini sebagai wujud media
exposure dari berbagai asupan informasi yang tertera di layar kaca kita.
Kalau dibiarkan, gejala ini akan menjadi bom waktu yang pada ujungnya akan
berpengaruh terhadap dimensi kemanusiaan kita. Lebih jauh lagi, pengaruh ini
bukan sebatas pada pengaruh individual, tetapi juga dalam lanskap kehidupan
sosial.
Momentum shaum ramadhan
sebagai salah satu ajaran Islam yang terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang
sangat tinggi. seringkali kita temui, tingkatan kedermawanan individu melonjak
tinggi pada saat pelaksanaan shaum ramadhan. Inilah yang kita sebagai
keberkahan. Humanisasi dalam shaum ramadhan dapat dijadikan sebagai proses
melawan upaya dehumanisasi digital. Sebab, salah satu larangan kepada orang
yang shaum di bulan ramadhan dalam bentuk menahan lisan dari berkata dusta dan
kesia-siaan. Hal ini telah ditegaskan oleh Rosulullah Saw melalui sabdanya
bahwa barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah
mengamalkannya, maka Allah Swt tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia
tahan (HR. Bukhori).
Ekpresi
dan tindakan negatif di ruang-ruang digital seperti yang disampaikan di atas,
adalah potensi yang dapat membunuh jiwa dan nilai kemanusiaan kita. Oleh sebab
itu, di era teknologi digital, upaya menahan hasrat dari berkata dusta, lagha
dan rofats di media sosial sebagai perwujudan dari implementasi ajaran
Islam yang bermuara pada peningkatan dimensi kemanusiaan kita. Hendaknya, shaum
ramadhan di isi tidak hanya dengan menahan diri dari rasa lapar dan dahaga,
tetapi juga menahan hasrat kita dari penggunaan media sosial yang dapat
mengantarkan kita pada tindakan dehumanisasi digital.
0