Atssania Zahroh
11 May 2020 at 20:39Angka
yang menunjukkan kasus Covid-19 di Indonesia masih mengalami peningkatan dari
hari ke hari. Terhitung, tanggal 7 Mei 2020 total kasus yang direkam oleh
Kemenkes sebanyak 12.776. Namun, ada saja kabar di media yang tersebar
menunjukkan perbedaan jumlah kasus Covid-19—yang mengaburkan stigma masyarakat
atau pembaca. Seperti
halnya data jumlah kematian terkait kasus Covid-19.
Kasus
Covid-19 masih menjadi permasalahan utama di Indonesia, yang terus bergulir.
Sehingga pemberitaan akan hal tersebut juga masif. Namun, jika tidak dibarengi
dengan cerdas bermedia, baik dari sumber penyedia
berita atau pembaca. Maka kabar hoax akan menjadi konsumsi masyarakat.
Kabar
yang menyeruak adalah jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Berita ini,
sudah menyebar ke khalayak ramai, dan menjadikan masyarakat panik. Data yang
tempo hari diungkapkan oleh Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih, bahwa jumlah
kematian karena Covid-19 sebanyak 1000 orang (data yang didapat dari BNPB).
Sedangkan dari salah satu pihak yang merupakan sumber terpercaya, yaitu juru
bicara (jubir) pemerintah. Justru mengungkapkan ketidaksaaman jumlah tersebut. Jubir pemerintah, mengungkapkan bahwa pasien yang
meninggal dunia sebanyak 582 orang.
Perbedaan
angka ini termasuk hal yang vital, ketika sampai kepada masyarakat. Ada
masyarakat yang sikapnya bijak, mencoba mencari keakuratan atau berita yang
berkaitan dengan suatu pemberitaan tersebut. Namun, adapula yang menyikapinya
dengan kekhawatiran serta kebingungan. Hingga memunculkan
stigma negatif kepada pemerintah, yang telah semaksimal mungkin menangani kasus
pandemi ini.
“Jumlah
1000 tersebut adalah gabungan antara kematian yang berstatus PDP dan psositif
Covid-19. Jika digabungkan jumlahnya adalah lebih dari 1000”, jelas Daeng. Penyampaian hal tersebut harus jelas, ketika disampaikan kepada
masyarakat. Sedangkan dari pihak pemerintah (Achmad Yurianto), yang
mengungkapkan kasus kematian adalah pasien yang memang positif Covid-19
berdasarkan Tes PCR (Polymerase Chain Reaction).
Terkait
kasus kematian atas Covid-19, pemberitaan ini memiliki perbedaan dalam
indikator siapa saja yang termasuk dalam data kematian tersebut. Jubir
(Yurianto), menjelaskan bahwa PDP tidak masuk ke dalam data kematian karena
terinveksi Covid-19, karena belum terkonfirmasi. Hal tersebut dikarenakan,
belum melakukan tes PCR atau sudah tes hanya saja hasilnya belum keluar.
Sehingga belum pasti masuk ke dalam suspect
corona atau positif.
Menanggapi hal ini, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa
masyarakat harus cerdas dalam menerima berita. Masyarakat harus menelisik dari mana data tersebut
diperoleh, sehingga tidak secara instan mengkonsumsi berita yang diterima.
Apalagi jika kemudian menyebarkannya tanpa tanpa tabayyun terlebih dulu (mencari
penjelasan, berita lain yang berkaitan) untuk meyakinkan data yang beredar.
Disinilah fungsinya mencari informasi dari berbagai
sumber, minimal akan
mengetahui letak perbedaan dan penjelasan yang lebih rinci. Sehingga, dapat
menekan rasa khawatir atau cemas akibat kabar siampang-siur yang beredar—belum
tau kebenaran yang pasti. Mengingat saat ini, tidak sedikit media
yang tidak
dapat dibendung dalam menyampaikan berita terkait kasus Covid-19. Tidak jarang
media memang memiliki sifat propaganda, karena memanfaatkan momen. Namun, tidak
sedikit juga media
yang menyampaikan hal valid disertai penjelasan (anti propaganda). Saat
ini, salah satu upaya membentengi diri dalam kompleksnya pemberitaan Covid-19
adalah menjadi masyarakat yang melek media (pembaca cerdas). Paham bahwa
budaya mencari penjelasan terkait suatu pemberitaan, amat penting!
3