Nazillatul Khuril'in
18 Jul 2023 at 20:57Seiring perubahan zaman, dimana teknologi telah berkembang pesat, terbukanya akses informasi yang cukup luas ternyata budaya patriarki masih saja belum hilang sampai sekarang. Dimana kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan masih menjadi permasalahan pelik. Seberapa kuat para aktivis feminisme Indonesia telah menyuarakan, menuntut hak-hak perempuan dan gencar-gencarnya untuk memperoleh keadilan dalam kesetaraan, nampak nya patriarki sendiri masih mengakar kuat di lingkungan sekitar. Lantas apakah budaya patriarki sendiri yang sudah lama berkembang di masyarakat bisa dihapuskan ?.
Menurut Alfian Rahmansyah (2013) dalam bukunya berjudul pengantar gender dan feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat yang artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala galanya. Sistem patriarki sendiri menempatkan posisi laki-laki di hierarki atas dibandingkan perempuan. Laki-laki mempunyai kontrol utama di dalam masyarakat sedangkan, perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh baik dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Budaya patriarki sendiri sebenarnya sudah terbentuk di masa lampau. Contoh kasusnya, di Indonesia sendiri pada masa penjajahan, perempuan dijadikan sebagai budak seks untuk tentara asing. Mereka dilarang untuk menempuh pendidikan kecuali dari golongan priyayi atau bangsawan. Karena itu, muncullah gerakan emansipasi wanita di bidang pendidikan yang dipelopori oleh R.A Kartini. Dari contoh kasus yang saya tulis, budaya patriarki sendiri bisa terbentuk karena perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perspektif yang menganggap bahwa perempuan itu lemah sedangkan laki-laki itu kuat. Budaya patriarki sendiri memiliki dampak serius dalam berbagai aspek. Contohnya dalam aspek sosial. Dilansir dari jurnal berjudul "Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia" Dampak dari budaya patriarki mengakibatkan munculnya 4 masalah sosial seperti
- Timbulnya masalah KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga )
Dilansir dari kompas.com, Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan terhadap rumah tangga dan ranah personal. Kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama berada di atas angka 70 persen. Kasus kekerasan yang terjadi, tidak luput dari kuatnya budaya patriarki. Dimana terbentuk pola pikir hingga menjadi penyebab bahwa laki-laki adalah sosok berkuasa dan perempuan berada dibawah nya. Dominasi dari pihak laki-laki-laki sangat terlihat sehingga budaya patriarki menciptakan konstruksi sosial bahwa perempuan adalah pihak yang lemah. Bisa disakiti baik secara fisik maupun psikisnya.
- Angka pernikahan dini yang cukup tinggi.
Mengutip dari data pusat kajian gender dan seksualitas Universitas Indonesia, tahun 2015 angka pernikahan dini di Indonesia memiliki peringkat ke 2 se Asia tenggara. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta di tahun 2030. Terdapat konstruksi patriarki yang terbentuk bahwa, perempuan hanya sebagai pekerja domestik saja (urusan rumah tangga) dan penerima nafkah sedangkan laki-laki pencari nafkah. Kebebasan mereka benar-benar dibatasi. Tidak meneruskan pendidikan dalam jenjang lebih tinggi. Tidak dibiarkan mengeksplor bakat yang dimiliki. Alasan lain bisa juga karena faktor ekonomi. Saat kemiskinan menghadang, pernikahan dini dianggap bisa menjadi solusi dan jalan keluar. Meskipun para perempuan belum siap secara mental, fakta tersebut tetap diabaikan.
- Pelecehan seksual
Dilansir dari kompas.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi di bulan Januari sampai November 2021. Sementara itu, Komnas Perempuan juga mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual pada periode Januari hingga Oktober 2021. Budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai sosok gagah dan mampu melakukan apapun terhadap perempuan. Masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki yang bersiul kepada seorang perempuan di jalan , hal itu dianggap wajar. Banyak beranggapan, Karena sebagai seorang laki-laki harus berani menghadapi perempuan. Hal yang dianggap sepele seperti ini, dimana kaum hawa digoda, tubuh perempuan bisa menjadi sasaran untuk pelecehan bahkan kekerasan. Para korban juga bisa mengalami victim blaming Dimana dalam kasus pelecehan seksual, perempuan yang justru disalahkan. Entah itu dalam cara berpakaian atau bertingkah laku. Letak permasalahannya adalah justifikasi dari masyarakat yang menganggap bahwa perempuan mendapatkan perlakuan seperti itu, karena tidak bisa menjaga dirinya secara baik dan terhormat. Akibatnya, mereka mendapatkan labeling dari masyarakat secara hina. Al hasil dari stereotip ini, tidak menutup kemungkinan para perempuan di luar sana yang mendapatkan perlakuan pelecehan, tidak berani speak up karena takut mempunyai labelling jelek atau hina oleh lingkungan sekitar.
- Stigma perceraian
BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) tiga tahun merilis data angka perceraian di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik dengan jumlah 212.400 kasus. Dimana sekitar 75% penggugat datang dari pihak perempuan. Namun, budaya patriarki memberikan kesan negatif bagi wanita yang menyandang status janda dari pada duda. Janda di identikkan sebagai posisi lemah, rendah, tidak berdaya dan memerlukan belas kasihan daripada duda. Karena stigma ini perempuan yang menyandang status janda rentan mengalami diskriminasi dan ketidak adilan. Terkadang dari kasus perceraian, perempuan kerap disalahkan karena dianggap tidak bisa menjaga rumah tangga dengan baik dan tidak sabar menghadapi suami. Menyandang status janda bukanlah perkara mudah. Tidak ada perempuan mana pun yang ingin menjadi seperti itu. Bagi perempuan yang menyandang status janda, gagalnya hubungan bisa menimbulkan efek traumatis berkepanjangan.
Dari masalah sosial yang saya tulis, kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat memberikan dampak serius. Bukan hanya tugas pemerintah untuk bisa mengatasi hal ini, tapi peran masyarakat juga sangat penting. Kesadaran dari masing-masing individu dan tindakan nyata sangat diperlukan. Karena seorang perempuan, juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan. Memiliki hak yang sama untuk bisa maju dan berkembang. Baik secara wawasan, pendidikan maupun kemampuan.
Penulis : Lusa Indrawati
0