Christina D A Mambay
05 Jul 2023 at 07:49Toleransi umat beragama di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, dikenal sangat tinggi. Kerukunan ini tidak terlepas dari falsafah 'satu tungku tiga batu' yang ditanamkan pada warganya.
Filosofi itu tidak terlepas dari cara hidup dan identitas suku Mbaham Matta (WUH). Masyarakat dengan adat tertua di Fakfak ini memasak di atas tungku yang terbuat dari tiga batu besar. Batu ketiga ini memiliki ukuran yang sama, kokoh dan kuat serta tahan panas, kemudian disusun membentuk lingkaran, sehingga dapat menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak.
Bagi suku Mbaham Matta, tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah simbol dari 'kau, saya dan dia' yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Dasar itulah yang kemudian dijadikan sebagai simbol kerukunan di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, Filosofi satu tungku tiga batu merupakan perwujudan dari Filsafat hidup Etnis Mbaham Matta (WUH) yang disebut "KO, ON, KNO Mi Mbi Du Qpona" yang artinya adalah Kau, Saya dan Dia Bersaudara.
Filosofi ini mengarah pada adat, agama dan pemerintahan. Filosofi dari satu tungku tiga batu juga kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat Fakfak. Dulu diwariskan secara turun-temurun di dalam keluarga. Tetapi pada era tahun 1990-an dirumuskan secara resmi oleh pemerintah daerah sebagai filosofi Kabupaten Fakfak.
Sejak lama Kabupaten Fakfak dikenal sebagai penghasilan rempah-rempah, salah satunya adalah buah pala. Hal inilah yang membuat banyak pedagang singgah di Kabupaten Fakfak untuk berniaga, termasuk para pedagang dari Tidore dan Ternate yang memeluk Agama Islam.
“Penduduk di Kabupaten Fakfak pun kini beragam, terdiri dari mereka yang beragama Islam, Katolik dan Kristen Protestan. Namun dalam pelaksanaan toleransi antarumat beragama sangat erat dan harmonis,
toleransi bisa terlihat dalam acara keagamaan, seperti saat perayaan Idul Fitri dan Natal. Semua umat termasuk dalam acara tersebut. Bahkan bila ada acara pembangunan masjid atau gereja, semua umat juga ikut terlibat, berpartisipasi dan bergotong-royong.Toleransi umat beragama di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, dikenal sangat tinggi. Kerukunan ini tidak terlepas dari falsafah 'satu tungku tiga batu' yang ditanamkan pada warganya.
Filosofi itu tidak terlepas dari cara hidup dan identitas suku Mbaham Matta (WUH). Masyarakat dengan adat tertua di Fakfak ini memasak di atas tungku yang terbuat dari tiga batu besar. Batu ketiga ini memiliki ukuran yang sama, kokoh dan kuat serta tahan panas, kemudian disusun membentuk lingkaran, sehingga dapat menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak.
Bagi suku Mbaham Matta, tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah simbol dari 'kau, saya dan dia' yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Dasar itulah yang kemudian dijadikan sebagai simbol kerukunan di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, Filosofi satu tungku tiga batu merupakan pengejawatahan dari Filsafat hidup Etnis Mbaham Matta (WUH) yang disebut "KO, ON, KNO Mi Mbi Du Qpona" yang artinya adalah Kau, Saya dan Dia Bersaudara.
Filosofi ini mengarah pada adat, agama dan pemerintahan. Filosofi dari satu tungku tiga batu juga kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat Fakfak. Dulu diwariskan secara turun-temurun di dalam keluarga. Tetapi pada era tahun 1990-an dirumuskan secara resmi oleh pemerintah daerah sebagai filosofi Kabupaten Fakfak.Sejak lama Kabupaten Fakfak dikenal sebagai penghasilan rempah-rempah, salah satunya adalah buah pala.Hal inilah yang membuat banyak pedagang singgah di Kabupaten Fakfak untuk berniaga, termasuk para pedagang dari Tidore dan Ternate yang memeluk Agama Islam.
“Penduduk di Kabupaten Fakfak pun kini beragam, terdiri dari mereka yang beragama Islam, Katolik dan Kristen Protestan. Namun dalam pelaksanaan toleransi antarumat beragama sangat erat dan harmonis,toleransi bisa terlihat dalam acara keagamaan, seperti saat perayaan Idulfitri dan Natal. Semua termasuk umat dalam acara tersebut. Bahkan bila ada acara pembangunan masjid atau gereja, semua umat juga ikut terlibat, berpartisipasi dan bergotong-royong.
1