Siti Resa Mutoharoh
25 Nov 2020 at 11:23DUTADAMAIJABAR- Redaktur Pelaksana
Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia (BNPT RI), Abdul Malik mengatakan, Pengukuran tingkat radikalisme itu
hampir sama dengan virus corona. Sebab, gejalanya pun terkadang tidak terasa.
“Pengukuran tingkat radikalisme itu
hampir sama dengan virus corona, gejalanya kadang tidak terasa, bahkan mungkin
saja di sekitar kita ada OTG (Orang Tanpa Gejala) radikalisme,” tutur Abdul
Malik saat menjadi pemateri dalam acara Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Jawa
Barat, Selasa 24 November 2020 di Haris Hotel, Kota Bandung.
Apabila cara menangkal virus corona
dengan menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak), kata
Malik, maka membentengi diri dari virus radikalisme pun mesti ditangkal dengan
menerapkan 3M, yakni Mencuci pikiran, Memakai masker wawasan kebangsaan dan
Menjaga jarak dari orang yang radikal.
Pria yang kerap disapa Bang Malik itu
menambahkan, perlu dipahami bersama
bahwa terorisme itu tidak hanya sekedar
aksi, namun juga narasi. Sebab menurutnya,
tidak akan ada aksi terorisme jika tidak ada narasi terorisme.
“Orang menjadi radikal karena ada
narasi teror, karena ada narasi radikal, karena itulah sebenarnya yang paling
bahaya dari terorisme itu adalah narasi teror karena itulah Duta Damai dilatih,
dididik untuk melawan narasi terorisme bukan melawan aksi terorisme,”
ungkapnya.
Lebih lanjut Malik menjelaskan, Duta
Damai Dunia Maya BNPT RI dibentuk bukan untuk menangkap pelaku dan bukan pula
dibentuk untuk menangkal aksi terorisme. Duta Damai hadir untuk melawan narasi
terorisme, lantaran kekuatan narasi dinilai lebih berbahaya dari kekuatan aksi.
“Orang kena korban aksi itu biasa,
paling trauma dan lain sebagainya tetapi ketika seluruh masyarakat Indonesia
membaca narasi teror, siapa yang bisa menjamin ini kena, ini enggak kena, yang
bisa dijamin itu adalah tingkat imunitas seseorang apakah dia memliki imunitas
yang kuat ketika ada narasi seperti itu,” tambahnya.
Berdasarkan data yang diperolehnya,
ada 4 narasi terorisme yang berkembang di Asia Tenggara, yaitu Narasi Ideologis
Relijius, Narasi Politik, Narasi Heroik dan Narasi Ekonomi.
Dijelaskan, Narasi ideologis relijius
biasanya memperkuat aksinya dengan dalil-dalil keagamaan, yaitu makna jihad
yang disempitkan atau hanya memaknai jihad sebagai Qital atau perang saja.
“Kemudian narasi politik, seperti
demokrasi itu haram, khilafah solusi NKRI Syariah, khilafah ditempatkan menjadi
obat bagi semua penyakit. Sementara itu, narasi heorik, memiliki pemahaman
bahwa kita harus membela agama namun dengan jalan yang sesat dan menyesatkan,”
jelasnya.
“Sementara dalam narasi ekonomi,
bisanya selalu membanding-bandingkan era dahulu ketika Islam menjadi penguasa,
dengan diiming-imingi kemerdekaan dan ekonomi,” tukasnya.
0