Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 17:03


Sahabat damai, persoalan yang muncul kemudian adalah kemungkinan upaya melakukan pemisahan antara agama dan pemeluknya. Artinya dalam konteks sosial, bagaimana fenomena radikalisme dan ekstremismeisme yang dibaluri kekerasan tersebut secara dikotomis dipisahkan antara ajaran agama di satu sisi dan pemeluk agama di sisi lain.

Bukankah nilai-nilai agama menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya? Lalu bagaimana agama yang dalam kenyataannya mengadopsi sotereologi kekerasan diyakini dapat menjadi dasar suatu etika mengatasi kecenderungan perilaku radikal dan ekstremisme?

Penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis), agama sebagai faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Pertama, fungsi agama sebagai ideologi. Pada fungsi ini agama dilihat sebagai unsur perekat masyarakat karena memuat formulasi-formulasi tertentu dalam memaknai hubungan-hubungan sosial.

Tahapan ini sebagai kerangka ideal cita-cita masyarakat yang diinginkan yang dianggap representasi kehendak Tuhan, termasuk persoalan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Kedua, agama sebagai faktor identitas. Bagian ini didefinisikan sebagai kepemilikian pada golongan atau kelompok sosial tertentu yang ditandai dengan adanya jaminan stabilitas sosial, memberi status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos.

Hal ini bisa lebih kental bila dihubungkan dengan identitas etnis tertentu seperti Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu. Dan pertentangan etnis atau pribadi dapat menimbulkan terjadinya konflik antar agama. Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Mekanisme yang ketiga ini bukan semacam sotereologi hubungan sosial, tapi suatu tatanan sosial kohern mendapat dukungan dari agama.

Dalam format penafsiran religius terhadap tiga struktur hubungan sosial di atas, maka yang menjadi elemen penting adalah adanya transparansi tafsir dan pembongkaran terhadap unsurunsur ilusi, kepentingan pribadi atau kelompok, dan motivasi. Hal ini dimungkinkan untuk menghindari penyalahgunaan agama yang digiring pada pembentukan kepentingan kelompok ekslusif.

Ekslusivitas yang mengarah pada perebutan otoritas teks biasanya selalu berdalih melindungi diri dari kontaminasi dan demi menjaga kemurnian ajaran. Dengan langkah transparansi – yang berarti juga pembongkaran – semua bentuk perebutan otoritas kebenaran makna teks tidak dibenarkan.10 Ekslusivitas mucul dengan pola mengambil otoritas dan 10 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 15-20.

Monopoli kebenaran makna teks yang sering memunculkan segregasi sosial. Kondisi tersebut dibangun di atas argumentasiargumentasi klaim kebenaran yang pada gilirannya akan menggeser kelompok lain yang dianggap berbeda dengan kelompoknya.

Dalam perspektif hermeneutik, kecenderungan ini tidak dapat dibenarkan. Kemaha-Indahan Tuhan tidak mungkin hanya ditafsirkan dan diartikan dalam satu dimensi makna kebenaran. Tuhan Maha Kaya sehingga tidak mungkin hanya satu tradisi agama yang memiliki hak penuh untuk mengungkapkan dan menggambarkan kesempurnaanNya.

Pendasaran hermeneutis-teologis di atas pada akhirnya akan melahirkan sikap respek terhadap tradisi agama lain dan keunikan nilai-nilai yang dikandungnya. Dengan tetap menghormati identitas agama lain, suatu agama ditantang untuk selalu menjawab adanya perbedaan-perbedaan, baik internal maupun eksternal.

Upaya menjawab dan kemampuan menjawab tantangan ini akan semakin menunjukkan kiprah dan peran agama pada bentuk hubungan sosial yang semakin dewasa. Kalau kenyataan ini yang terjadi, maka keinginan menjadikan agama sebagai landasan etis dalam mengatasi kekerasan bukanlah suatu utopia belaka.

Agama bukan lagi angan-angan kosong yang selalu menyembunyikan iktikad baiknya dan selalu mengedapankan ambisi politik pemeluknya, tapi agama dengan perbedaan yang selalu terjaga dan terbangun merupakan koherensi dan keharmonisan sosial.

Ekonomi Politik dalam Bingkai Ideologisasi Agama Gerakan radikalisme yang memicu militansi, kekerasan, dan bahkan terorisme tidak hanya bertolak dari keinginan untuk mengekspresikan fanatisme keagamaan serta aksi heroik untuk membela doktrin dan keyakinan kelompok agama tertentu.

Faktor ideologi, sejarah, identitas, hingga politik global merupakan sekian dimensi yang turut berkontribusi menyemaikan aksi-aksi kekerasan di tengah semakin menguatnya arus globalisasi. Secara eksplisit fenomena ini mencerminkan kontestasi kepentingan yang berkaitan erat dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang secara masif terjadi di hampir semua negara-negera dunia.

Ironinya negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang paling merasakan dampaknya.  Manefestasinya adalah tensi politik antar negara yang berlangsung pada tataran global juga berlangsung dalam konteks dinamisasi politik lokal.

Tidak sedikit para pengamat berpendapat bahwa kontestasi global di atas tidak terjadi dalam rentang waktu yang pendek. Karena itu tidak heran Huntington menyebutnya sebagai benturan peradaban yang diletupkan oleh persoalan politik global sebagai antiklimaks sejarah panjang peradaban modern.

Dalam parodi politik global tersebut agama memainkan peran pembantu yang “dilakonkan” sebagai aktor utama. Dengan mendorong konflik dan fragmentasi kultural secara kontinu, ekstremismeisme agama tak pelak melahirkan kekacauan. Walaupun pada prinsipnya, ekstremismeisme itu sendiri sebagai reaksi terhadap instabilitas geopolitik global.

Kenyataan ini semakin menyadarkan kita bahwa ekstremismeisme tidak semata hanya lahir dari radikalisme agama dan tidak hanya terjadi pada satu agama saja. Semua agama dapat mengalami hal yang sama Dinamika sejarah dan munculnya gerakan radikalisme dalam kehidupan agama merupakan anak sah gerakan ideologi dan politik yang sangat pekat dengan pertarungan perebutan kekuasaan.

Dalam banyak hal, fenomena ini merupakan anggitan protes politik yang dibalut dengan simbol-simbol dan wacana keagamaan. Di tengah dominasi suatu sistem politik, ajaran agama dapat menstimulasi penganutnya memasuki medan wacana dan lingkar kuasa negara sebagai sebuah sistem yang dapat mengatur semua aspek kehidupan.

Sehingga negara dengan aroma agama menjelma sebagai al-muhith, yang maha meliputi. Negara akan mengatur bidang hukum, sosial-budaya, perekonomian, dan tata hubungan internasional. Namun begitu, kolaborasi ideologi politik dan paham-paham keagamaan yang dikemas dalam janji-janji pembangunan ternyata berbuah konflik, kekacauan, pengangguran, korupsi dan nepotisme.

Dengan kata lain, persekutuan itu dalam perkembangannya menjadi episode-episode kegagalan yang kerap berakhir dengan fragmentasi akibat represi. Gerakan ini seringkali dilatarbelakangi oleh sikap frustasi menyaksikan fakta bahwa harapan-harapan masa depan yang diyakininya selalu berada di bawah bayangbayang otoritarianisme dan imperealisme.

Pilihannya adalah membangun oposisi dengan menggalang dukungan komunitas agama dan menyerukan reformasi. Agar lebih meyakinkan, keinginan di atas juga diilustrasikan dengan menggelindingkan gagasan pembangunan di atas kerajaan Tuhan dan didukung klaim-klaim historis kejayaan masa lalu.

Secara lebih ekstremisme, kelompok agama tertentu menyerukan penolakan terhadap sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia sekaligus menegaskan akan kebutuhan negara agama. Kriteria dan klasifikasi kualitas keimanan dan keberagamaan masyarakatnya juga diukur sesuai dengan tingkat ketaatannya pada sistem tersebut.

Sebaliknya, pengingkaran dan bahkan berkhidmat pada sistem pemerintahan yang dibangun oleh manusia sebagai satu bentuk kekufuran yang nyata. Ceramah dan pidato kenegaraan selalu menekankan akan keberanan sistem kehidupan manusia yang bersumer dari Tuhan.

Bahkan kecenderungan ini dikonseptualisasikan sebagai salah satu pilar keimanan kelompoknya. Secara ideologis, kelompok ini tampak bergerak pada isu-isu reformasi moral dan keagamaan, tapi ambivalensi tetap terlihat pada keinginan formalisme agama pada tataran sistem dan struktur negara.

Formalisme pada gilirannya akan terjebak pada pola politik praktis yang selama ini menjadi objek kritik dan kecaman sebagai perilaku yang kotor. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia dinamika politik dan pergulatan kekuasaan justru telah memperbesar perbedaan teologis demi capaian-capaian politik.

Sahabat damai, perlunya agama  dan sistem pemerintahan yang berlaku dijadikan doktrin kunci yang dikembangkan dan diajarkan menjadi kiblat yang harus di pahami dengan benar dan dijadikan pedoman untuk keharmonisan manusia dan negara.

0