Hafizah Fikriah Waskan
13 Mar 2020 at 15:46Nasionalisme kita kenal sebagai konsep
pemersatu bangsa. Menilik kembali makna dari nasionalisme, jauh sebelum bangsa
Indonesia merdeka, nasionalisme sudah menjadi pembicaraan penting di kalangan
masyarakat Indonesia. Nasionalisme yang dipahami sebagian besar orang adalah
suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas pribadi diserahkan
kepada negara.
Di tahun 1908 organisasi Budi Oetomo
dibentuk, dimana awal mula sebuah gerakan kebangkitan nasional dimulai,
melalui gerakan-gerakan yang dilakukan organisasi tersebut sampai diikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan bukti konkrit dari nasionalisme.
Hal tersebut membentuk rasa nasionalisme dan patriotisme (cinta tanah air) bangsa
Indonesia semakin menjadi, mereka memegang teguh prinsip nasionalisme untuk
meraih tujuan bersama yaitu menjadikan negara Indonesia merdeka.
Namun makna nasionalisme mulai tergerus
seiring dengan bergulirnya jaman. Bisa dilihat dengan banyaknya konflik antar
Suku, Ras dan Agama (SARA) yang terjadi di Indonesia. Tidak adanya rasa
persatuan didalam diri setiap individu memunculkan sebuah sikap intoleran.
Tentunya bukan ini yang dicita-citakan oleh leluhur yang telah berjuang untuk membawa
kemerdekaan Indonesia.
Pancasila
sebagai Pemupuk Kebangsaan
Bangsa yang besar ini harus terus dirawat
agar tidak ada lagi perpecahan didalamnya. Tidak ada lagi konflik SARA di
kalangan masyarakat. Terdapat sebuah ideologi yang telah ditanamkan dibenak bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia secara
keseluruhan, dimana sila-sila yang terkandung didalamnya sangat erat kaitannya
dengan kehidupan bangsa. Pemahaman nilai-nilai pancasila akan menciptakan dan
menumbuhkan jiwa persatuan dan kesatuan, serta rasa nasionalisme yang tinggi.
Kasus-kasus diskriminasi yang juga masih
sering terjadi, akibat perbedaan agama, rasa tau pun suku, membuat perdamaian
di Indonesia semakin terkikis. Padahal semua bentuk intoleran tersebut
merupakan sebuah kecideraan komitmen. Bangsa Indonesia telah berkomitmen dalam
sumpah pemuda. Dengan diwakilkan oleh para pemuda pada 28 Oktober 1928.
Tidak adanya nilai juang bersama juga bisa
melunturkan rasa nasionalisme. Pada jaman dahulu, bangsa Indonesia memiliki
rasa saling memiliki karena bersama-sama memerangi penjajah. Rasa kebersamaan
tersebut akhirnya dimiliki dan membuat rasa nasionalisme yang tertanam kuat.
Sehingga tidak lagi rasa intoleran, dan saling menghargai satu sama lain tanpa
memandang suku, ras, dan agama.
Lalu bagaimana di era reformasi ini?
Bagaimana kita bisa memupuk kembali rasa nasionalisme didalam diri bangsa
Indonesia? Salah satu caranya adalah dengan Salam Nasionalisme, yaitu Salam
Pancasila. Dengan keragaman suku, ras dan agama tentunya bangsa Indonesia
memiliki sebuah kultur salam yang berbeda-beda disetiap daerah, hal tersebut
nyatanya juga bisa menjadi sebuah pembatas tersendiri bagi orang-orang yang
masih belum memiliki rasa toleransi.
Adanya salam nasionalisme, akan memberikan
sebuah semangat baru dan motivasi bangsa Indonesia untuk menjaga Negara ini
dari perpecahan. Seperti yang diucapkan oleh Bung Karno yang menyerukan salam
nasionalisme, dengan tujuan untuk mengingatkan rasa percaya diri bangsa
Indonesia dan memotivasi diri untuk terus berjuang hingga Indonesia merdeka.
Salam
Kebangsaan sebagai Obat Penawar Konflik
Sejak merdekanya Indonesia, konflik demi
konflik terus terjadi, bahkan hingga masa kini. Konflik antar suku, ras dan
agama sudah terjadi sejak adanya suku, ras dan agama itu berdiri. Artinya
konflik ini adalah konflik klise yang menjadi pekerjaan rumah sampai saat ini. Hal
tersebut bisa terjadi karena adanya stereotype dari satu golongan ke golongan
yang lain.
Dalam sejarahnya, konflik SARA memang tidak
ada habisnya. Beberapa sejarah besar yang mencatat konflik suku di Eropa salah
satunya adalah Perang Salib, yang menjadi sebuah konflik terbesar umat
beragama. Salah satu faktor yang menjadi pemicu terjadinya konflik tersebut
adalah klaim kebenaran dari masing-masing pihak.
Adanya kecenderungan dari setiap umat
mengklaim bahwa ajarannya sendirilah yang paling benar. Mereka (umat beragama)
telah mengklaim telah melakukan, mengamalkan, memahami, dan menjalankan sesuai
nilai suci tersebut. Akibatnya ketika
ada yang berbeda paham dengannya akan secara langsung menolak secara ekstrim
golongan tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus para penganut Jemaah
Ahmadiyah yang terusir dari rumahnya sendiri dan harus mengungsi ke daerah lain
yang lebih aman.
Contoh konflik lainnya adalah yang pernah
terjadi di Poso yang sudah terjadi sejak 1992 yang terus berlangsung hingga
2001. Konflik yang terjadi adalah antara Umat Muslim dan Kristen, tidak ada
yang benar dari keduanya, karena memang sudah menjadi isu sejak lama yang terus
digemborkan. Salah satu yang menjadi pemanas disini adalah media, yang dalam
menyampaikan informasi tidak komprehensif dan kronologi yang jelas, sehingga
terus menjadi senjata untuk melakukan serangan oleh salah satu pihak.
Konflik-konflik lainnya yang juga pernah
terjadi adalah konflik antar Suku dayak dengan suku Madura, konflik agama di
Bogor, konflik Sunni dan Syiah di Jawa Timur, konflik diskriminasi terhadap
mahasiswa Papua yang masih menjadi isu hangat hingga masa kini.
Dari seluruh rentetan fenomena konflik SARA
di Indonesia tersebut tentunya menjadi PR bersama untuk saling menyadarkan satu
sama lain, bahwa tidak ada yang paling benar. Semua ajaran adalah benar bagi
penganutnya. Mari kita pikirkan bersama, ajaran agama mana yang memberikan
ajaran buruk, tentu tidak ada.
Salah satu kunci untuk meredam semua
konflik itu adalah sikap toleransi. Berdasarkan definisi, kata toleransi yang
berasal dari bahasa latin yaitu tolerare
yang memiliki arti bertahan atau memikul. Toleransi juga bisa diartikan
sebagai sebagai sebuah bentuk menghargai satu sama lain dan memberikan tempat
untuk mereka yang memiliki pendapat yang berbeda.
Jika sudah memahami konsep toleransi
tentunya tidak akan terjadi konflik-konflik seperti yang telah disebutkan
diatas. Pemerintah juga memiliki peran penting untuk terus memupuk keberagaman
ini. Bukan justru memanfaatkan perbedaan sebagai sebuah sarana untuk naik
panggung politik. Kasus-kasus politik identitas yang sampai saat masih terus
hangat untuk digoreng, apalagi ketika sedang musim pemilihan kepala daerah. Hal
tersebut tentu bisa diredam, jika pemerintah bisa fair dalam menjalankan roda pemerintahannya, bukan hanya untuk
kepentingan individu atau golongannya sendiri.
Media juga memiliki peran cukup penting
untuk terus memberikan informasi yang akurat. Hal tersebut juga telah tertuang
dalam kode etik jurnalistik dan Sembilan elemen jurnalisme, bahwa pers harus
memberikan kebenaran dan independen. Sebagai salah satu pilar demokrasi, banyak
pers yang sampai saat ini masih ditunggangi dan terus menyebarkan kebenaran
atas dasar kepentingan golongan.
Keluar dari seluruh permasalahan tersebut,
mari kita kembali kebelakang dan menengok bagaimana sejarah bangsa Indonesia.
Kita memilih sebuah landasan Negara yang sangat kuat dan sudah mencerminkan
jati diri bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan setiap sila yang
dikandungnya seharusnya sudah bisa membawa perdamaian untuk seluruh masyarakat
Indonesia.
Selain itu, untuk terus memupuk
keberagaman, Ir. Soekarno juga sudah memberikan sebuah simbol untuk bangsa
Indonesia, yaitu sebuah salam kebangsaan, salam Pancasila. Dengan mengangat
tangan tegak keatas, membuka kelima jari, dan mengucap Merdeka!
0