Riska Yuli Nurvianthi
30 Jul 2022 at 16:54


Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima nilai yang menjadi rambu-rambu dalam berprilaku dan mengambil keputusan antar sesama. Nilai-nilai pancasila yang terkandung  tersebut merupakan kristalisasi dari nilai hidup keberagaman di NKRI ini demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Banyaknya jenis agama dan kepercayaan  didalamnya menjadikan Indonesia negara yang toleransi yang tinggi. kerukunan  sesama masyarakat merupakan pondasi awal sebagai kunci dalam pelaksanaan pembangunan menjadi negara yang maju dan berkembang pesat.

Kerukunan sudah menjadi kosakata yang umum bagi masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Secara etimologis, kata kerukunan-rukun-, berasal dari akar kata ruknu-al-rukun (bahasa Arab) yang berarti tiang atau kepercayaan. Bagi masyarakat Jawa, kerukunan sudah menjadi bagian dari kosmologi kehidupan sehari-hari.

Prinsip kerukunan adalah keharmonisan yang bertujuan mempertahankan keberadaan masyarakat yang selaras dan tidak ada perselisihan atau konflik. Masyarakat yang rukun bararti masyarakat yang kehidupannya harmonis, selaras, tenang dan tenteram.

Sahabat damai, Istilah kerukunan antar masyarakat menjadikan seluruh kondisi keseimbangan sosial yang semua pihak berada keadaan damai, suka bekerjasama, saling pengertian dalam suasana kehidupan yang tenang dan tentram.

Menjadi Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan selalu dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, mulai dari unit sosial terkecil seperti keluarga, hingga terbesar seperti negara-bangsa.

Kerukunan sudah mendarah daging dan menjadi semacam etika sosial (social code of conduct) yang turut merangkai, mengatur dan menggerakkan kesadaran kolektif masyarakat. Dalam hal ini, kerukunan selalu terkait dengan harapan dan imajinasi untuk hadirnya harmoni sosial, di mana konflik sedapat mungkin dieliminasi.

Sahabat damai, kita bisa katakana bahwa sejatinya kerukunan merupakan mekanisme kultural yang berguna dalam mengurangi efek terburuk perbedaan, yaitu konflik sosial. Menyikapi situasi kehidupan keagamaan beberapa tahun ini yang menjadi kisruh kekhawatiran kita bersama.

Misalnya adanya sekelompok orang rela mati, untuk bersyahid di jalan Allah SWT dengan keyakinannya sendiri yang subyektif (tidak jelas dan menyimpang), sungguh suatu keadaan yang mengancam kerukunan dan sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun.

Pada sisi yang lain, sekelompok orang begitu sibuk mencari kelemahan keagamaan orang lain, sementara lupa dengan ajaran agamanya sendiri yang melarang mencari-cari kesalahan orang lain, sampai menganggap sesat bahkan mengkafirkan (takfir).

Tentu tidak terlarang jika demi peningkatan kualitas diri, tapi jika dari situ muncul fatwa yang menggiring orang bertindak destruktif atau dengankata lain ajakan untuk mengkafirkan orang lain, demikian menjadi suatu keadaan yang tidak bisa ditolerir dan harus di tindaklanjuti secara tuntas dan bersifat wajib.

Semua bermuara pada agama dan keyakinan atas sistem nilai dan norma kebenaran yang mempengaruhi keputusan tindakan manusia. Secara teologis, agama diturunkan oleh Tuhan melalui manusia pilihan atau para nabi dengan tujuan membimbing manusia untuk mendapatkan jawaban atas persoalan kejiwaannya.

Sahabat damai, pada hakikatnya agama itu sangat personal dan menjadi sistem kepercayaan yang tidak dapat diganggu gugat sehingga keyakinan seseorang harus dijamin (dilindungi), selama tidak mengganggu dan merusak ketentraman hidup bermasyarakat sebagamana yang terkandung dalam alenia pertama Pancasila.

Alenia pertama yang menyatakan ketuhanan yang maha esa menjadi bukti bahwa suatu kewajiban mutlak untuk menjalankan syariat agama tanpa paksaan dan pengaruh manapun. Hal demikian mengindikasikan adanya struktur kehidupan ini tersusun dan perbedaan itu ada.

Perbedaan tersebut bukan hanya pada aspek ideologi atau pemikiran keagamaan, bahkan sampai yang ekstrim pun juga menjadi bagian yang tampaknya harus ada. Menolak perbedaan sama halnya dengan menolak ketentuaan Sunnah Allah SWT. Demikian juga memaksakan keyakinan agar sama, adalah penentangan terhadap ketentuan ayat suci.

Alquran menegaskan tidak ada pemaksaan dalam masalah agama. Dalam hal ini, Thabathaba’i berpendapat bahwa karena agama merupakan dalil ilmiah yang diikuti dengan amaliyah berdasarkan keyakinan di hati (I’tiqad), maka agama tidak boleh dipaksakan.

Kewajiban setiap pemeluk agama menjadikan agama sebagai sarana pemersatu, bukan pemecah belah. Itulah amanat yang diajarkan dari sebuah Hadits ‘Ikhtillafu ummati rahmatun’. Perbedaan bukan musibah, tetapi berkah yang dengan itu orang atau suatu komunitas bisa terpacu untuk maju dan berkembang.

Indonesia memiliki pengalaman panjang menjaga kerukunan. Saat ini tinggal memelihara dan menjaganya dari rongrongan, yang anehnya sering mengatasnamakan agama dan kebenaran. Kerukunan dalam berbagai perbedaan sudah menjadi nafas keseharian masyarakat Indonesia.

Sudah sejak lama pula perbedaan itu ada dan tidak menjadi masalah. Dalam berbagai kegiatan sosial, bahkan seremoni keagamaan yang bukan peribadatan, seperti ‘selamatan’ untuk berbagai peristiwa yang menjadi kultur masyarakat Jawa : kelahiran, pernikahan, pindah rumah, bahkan kematian, warga masyarakat yang berbeda keyakinan terbiasa berbaur dan ikut menikmati hidangan yang tersaji.

Itulah kerukunan, yang bertujuan mempertahankan kehidupan yang harmoni dalam perbedaan. Warga yang mengimplementasikan spirit rukun tersebut adalah warga yang konsisten menjaga keseimbangan sosial sebagai syarat tegaknya peradaban. Sahabat damai, sebagai penuntun bagi kehidupan umat manusia, semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan keselamatan.

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan wujud kasih sayang Tuhan (rahmatan lilalamin) kepada seluruh umat mengajarkan agar kaum muslimin tidak menafikan agama-agama yang ada, mengucilkan penganutnya apalagi sampai melakukan teror-teror yang mengganggu ketentaraman hidup masyarakat.

Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai kebaikan yang ada pada ajarannya. Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana diajarkan Alquran menjadi spirit untuk kehidupan yang menerima pluralitas. Sedemikian ramahnya Islam hingga pemeluknya dilarang mencela berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Sembari terus menentang keras segala bentuk kemusyrikan, Islam memerintahkan pemeluknya agar menjaga perasaan orang-orang non-muslim.

Adanya pengakuan dalam agama terhadap pluralitas menunjukkan bahwa sebenarnya semua penganut agama dituntut untuk dapat hidup dengan penuh toleransi dan membingkai hidupnya dengan semangat kerukunan.

Dengan demikian, bila terjadi ketidakharmonisan dengan pemanfaatan simbol-simbol keagamaan tertentu, sama sekali bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan, termasuk tidak dibenarkan oleh agama apapun dan budaya manapun.

Kebebasan beragama ini dijamin oleh Negara karena keyakinan bahwa keragaman agama tidak akan menjadi disintegrating factor, penyebab ketidak-harmonisan bagi bangsa Indonesia, selama pemahaman dan pengelolaannya diupayakan tepat dan benar.

Akan tetapi, apabila tidak ada upaya ke arah tersebut, sudah pasti keragaman yang ada justru menjadi faktor pemecah kesatuan dan disinilah pentingnya Pancasila terus hadir menjadi kiblat dalam hidup bermasyarakat.

Meskipun pada dasarnya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, tapi karena agama secara sosiologis menjadi penggerak utama perubahan, ia sering dijadikan alat legitimasi sikap tidak agamis oleh kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu yang ingin merusak tatatan keharmonisan umat antar beragama.

Olehnya, sahabat damai dimanapun berada, mewujudkan lima sila yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu langkah nyata dan solusi  meningkatkan kerukunan dan tatanan hidup bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan yang ada, agar jika ditemukan sekelompok orang yang berniat menghancurkan, mereka tidak akan sanggup.


Referensi : Berbagai Sumber

0