Riska Yuli Nurvianthi
25 Aug 2022 at 07:35Sahabat damai, tidak bisa kita pungkiri bahwa internal PTKI ada bahkan banyak benih-benih atau bahkan kelompok-kelompok mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan yang telah terpapar atau sengaja membawa paham di luar moderat.
Bisa saja paham liberal seperti biasanya ditekuni oleh mahasiswa di fakultas-fakultas tertentu, atau paham radikal atau fundamintalis seperti biasanya di fakultas-fakultas umum dan bahkan fakultas keagamaan.
Ketika melintas di beberapa PTKI, peneliti menyaksikan kehadiran mahasiswi bercadar dan bahkan berpakaian hitam ala ninja, dengan wajah tertutup dan hanya menyisakan dua bola matanya. Peneliti juga menyaksikan secara langsung kelompok mahasiswa yang membuka lapak di pelataran masjid dengan menawarkan bacaan buku secara gratis, dan buku sudah dipastikan bertajuk khilafah, jihad, dan sebagainya.
Memang jumlah mereka tidak banyak, namun gerakannya sangat aktif, sehingga jika terus menerus dibiarkan, sewaktu-waktu akan semakin banyak mempengaruhi mahasiswa lain untuk mengikuti kelompoknya dengan dalih keagamaan, seperti dengan menggunakan bahasa “Hijrah”.
Hambatan lainnya adalah masih ada oknom dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang tidak rela jika perilaku eksklusif di kalangan mahasiswa ditertibkan, misalnya dengan peraturan dan kode etik mahasiswa, dan kebijakan-kebjikan lainnya.
Kelompok-kelompok garis keras dari ekternal kampus juga kadangkala menjadi hambatan tersendiri, organisasi keagamaan atau kemasyarakatan yang kadang ikut campur dalam urusan internal PTKI baik dengan cara-cara akademis maupun kekerasan.
Hambatan dan tantangan PTKI di atas sebenarnya kembali kepada kualitas sebagian kecil warga kampus yang secara keilmuan agama lemah sehingga mudah terbawa oleh paham-paham yang seakan menawarkan surga dengan mudah hanya dengan memahami ajaran agama secara tektual dan normatif.
Hal tersebut mengindikasikan masih adanya sebagian warga kampus di PTKI yang memiliki pemikiran terbelakang, sehingga terjebak dalam dalam kubangan paham yang sempit tentang ajaran Islam. Sehingga muncul sikap dan tindakan intoleran dan paham radikal sebagai akibat keterbelakangan sebagian masyarakat atas konsep Islam, dan hal tersebut hanya bisa diatasi dengan pendidikan.
Imam Besar Masjidil Haram Abdurrahman bin Assudais memaparkan bahwa tantangan pengembangan Islam moderat di muka bumi antara lain karena adanya beberapa hal, yaitu: Pertama, sifat bodoh yang melekat kepada sebagian umat Islam.
Khususnya tidak memahami secara benar tentang ajaran agama, terlebih lagi mereka yang tidak merasa kalau dirinya tidak tahu(al-Jahl al-Murokkab).tidak heran jika kemudian ada segelintir umat Islam yang mengaku dan merasa bahwa dirinya paling benar, sementara orang lain disekitarnya semuanya salah. Kedua, sifat fanatik yang berlebihan yang memandang dirinya dan kelompoknya yang paling benar. Fanatisme ini bisa saja terjadi atas pendapat seseorang yang disanjungnya, baik itu mengenai pemikiran mazhab pemikiran, aqidah, fiqih, atau atas kelompokkelompok tertentu.
Fanatisme bagi umat Islam bukan sesuatu yang baru, melainkan telah terjadi dalam beberapa generasi sejak awal Islam dan mengalami puncaknya pada kemunculan imam-iman mazhab sunni yang kemudian pengikut masing-masing hanya menganggap benar
Pendapat mazhab yang diusung kelompoknya, sampai-sampai di antara mereka mengeluarkan fatwa haram hukumnya kawin antara pengikut Hanafi dan Syafi’i karena perbedaan kedua mazhab tersebut dalam topic keimanan.
Padahal jika dirunut sejarah, sikap fanatic terhadap sesuatu itu merupakan warisan kaum jahiliyah. Ketiga, sifat berlebihan dalam memahami ajaran agama. Yang dimaksud di sini adalah dalam masalah keagamaan, padahal berlebihan dalam menjalankan keberagamaan merupakan kesesatan.
Sifat berlebihan dalam keberagamaan antara lain disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang agama itu terutama tentang ajaran Islam yang besifat umum dan khusus pada masing-masing aspeknya, baik aspek ajaran aqidah, politik, ekonomi, social, dan sebagainya.
Sering juga disebabkan karena pola pikir yang tidak konsisten atau sebaliknya pola fikir yang kaku, sehingga tidak ada kata lain selain selalu menemukan istilah-istilah yang negative dalam keberagamaan, seperti bahasa haram, tidak boleh, kafir, syirik, sesat.
Karena mengira bahwa semakin tinggi kekakuan pola pikir mengenai keagamaan seseorang, semakin tinggi pula nilai-nilai ketaqwaannya, dan merasa lebih dekat kepada Allah, padahal yang demikian itu menunjukkan satu kondisi ketidakpahaman yang sebenarnya tentang hakikat Islam.
Keempat, berkembangnya corak penafsiran agama secara radikal-fundamental yang ditandai dengan munculnya sikap intoleran bagi pengikutnya, sikap yang tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain yang dalam ajaran Islam sebenarnya dituntut di saping memegang teguh keyakinan agamanya, juga harus toleran kepada umat beragama lainnya.
Karena corak dan penafsiran radikal pula melahirkan tindakan eksklusif yang membedakan diri dari umat Islam pada umumnya, serta sikap dan tindakan revolusioner yang mengedepankan cara kekerasan dalam mencapai tujuan.
Faktor keempat ini menjadi tantangan terbesar PTKI akhirakhir ini, karena tidak sedikit yang telah “kecolongan” kalau tidak bisa dikatakan lengah, bahwa di PTKI sudah bersemai pahampaham sebagaimana di atas, yang mengincar kalangan mahasiswa yang memang baru saja mempelajari agama Islam.
Nah sahabat damai, demikianlah tantangan berkembangnya islam moderat di Perguruan Tinggi Keamanan Indonesia. Semoga kita dapat memaknai dan mengambil sisi positif dalam tulisan ini agar mampu menjadi bagian dalam perumusan Islam Moderat menuju kedamaian dunia.
0