Josef Christofer Benedict
10 Jul 2024 at 15:58Kekerasan selalu melahirkan lingkaran setan tak berkesudahan. Pada
tubuh dan memori korban, tertinggal luka traumatik yang mendalam. Air mata yang
mengering tak berarti akhir dari luka tersebut––sebaliknya, justru
mengeraskannya untuk melahirkan wujud pembalasan dendam. Atas semboyan “mata
dibalas mata,” maka lahirlah kekerasan baru.
Oleh karenanya, balas dendam bukanlah akhir dari suatu tragedi
kekerasan. Sebaliknya, lingkaran pembalasan dan kekerasan akan kian terawetkan
dalam siklus keterpurukan. Relasi korban-pelaku berkembang menjadi kian dalam,
bahkan meluas lewat masuknya aktor dan konteks lain di dalamnya.
Situasi demikian bahkan bisa tetap langgeng dan berkembang (termasuk
secara tidak kasat), sekalipun telah dilakukan upaya-upaya permaafan atau
mediasi oleh pihak ketiga. Kata “maaf” tidaklah cukup besar untuk mewakili
ukuran luka yang dialami korban. Di saat bersamaan, trauma subjektif yang
dialami korban tidak dapat serta-merta dipahami oleh pelaku maupun pihak
ketiga. Akhirnya, upaya permaafan pun kerap terjadi secara simbolik
belaka––begitu jauh dari kata “cukup” dalam menggapai luka korban dan mencapai rekonsiliasi
yang sejati.
Apabila dibiarkan, akumulasi tersebut dapat melahirkan masyarakat
traumatik––yakni kelompok masyarakat yang secara kolektif mengindetifikasi diri
sebagai korban-korban kekerasan karena terus menerus hidup dalam memori atas
luka kekerasan yang dialami. Dampak lebih besarnya, keseimbangan hidup
bermasyarakat akan terganggu karena berkembangnya konflik horizontal yang lebih
luas, terutama kekerasan atas keberagaman kesukuan atau iman.
Kita telah menyaksikkan kasus-kasus kekerasan masif akibat penolakan
atas keberagaman. Konflik Sampit antar etnis Dayak dan Madura pada 2001
misalnya, melahirkan ribuan korban. Mereka yang menyaksikkan secara langsung
pembataian keluarganya, kini dipaksa menyudahi trauma lewat pembangunan tugu
perdamaian di Sampit. Hingga kini, memori kekerasan di Sampit masih segar di
tengah masyarakat Kalimantan Tengah (Yogaswara, 2016).
Beberapa contoh kekerasan atas keberagaman lain adalah konflik
horizontal antara masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa pada 1998,
konflik Poso yang melibatkan masyarakat lintas agama pada 2001, hingga
pelarangan pembangunan rumah dan aktivitas ibadah minoritas yang terus terjadi
berulang kali. Cerita korban dari peristiwa-peristiwa tersebut tak hanya
menghiasi buku sejarah, namun juga menjadi pengetahuan yang diamini
sehari-sehari. Padahal, dampak goresannya masih bisa dilihat hingga kini.
Atas kondisi demikian, Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis,
menggariskan pentingnya komunikasi dan bahasa sebagai ruang pendamaian antara
korban dan pelaku. Upaya ini dapat dicapai melalui rekonsiliasi, sebuah momen
konstruktif yang tidak hanya menyudahi konflik, namun juga membantu korban dan
pelaku melepaskan jejak kekerasan demi mencapai masa depan yang sama sekali
baru.
Menurut Gus Fayyad (2023), seorang intelektual dan pembaca setia
Derrida, rekonsiliasi dapat diwujudkan dengan memfasilitasi komunikasi personal
antara korban dan pelaku. Tentunya, hal ini dapat diwujudkan melalui ruang yang
sama sekali netral namun juga intim. Pertemuan keduanya lantas dilanjutkan
dengan upaya saling menyapa, lalu membuka diri atas kenangan-kenangan pahit
dari kekerasan yang dialami.
Menatap langsung air mata dan raut wajah korban, pelaku akan dihadapkan
pada situasi yang tentunya juga sama sekali tidak nyaman. Ia seolah tersandera
oleh derita dan jerit trauma korban yang selama ini harus terpendam. Dalam
momen kejernihan tersebut, rekonsiliasi menjadi momen “revolusi”––dimana yang
hendak dicapai bukanlah menyudahi luka korban, melainkan keinginan untuk
membalaskan dendam yang justru akan menciptakan siklus kekerasan.
Dari titik demikian, upaya komunikasi lantas dapat dilanjutkan dengan
perjanjian bersama. Usai rekonsiliasi, korban dan pelaku memiliki derajat yang
sama dalam memori kekerasaan yang mereka miliki. Pengungkapan janji tersebut
dilakukan secara personal antara kedua pihak, melalui bahasa yang personal dan
terbuka––tidak hanya simbol-simbol infrastruktur atau administratif.
Meski begitu, tentunya kita dapat mempertanyakan sejauh mana janji
tersebut bertahan. Pada titik itulah, hadirnya negara dan kepeduliaan
masyarakat memainkan perannya. Upaya rekonsiliasi dan permaafan adalah momen
yang sangat personal. Namun, upaya untuk menjaga keseimbangan dan menghindari
kekerasan lebih lanjut adalah kesempatan yang bisa dilakukan secara bersama.
Selain itu, bagaimanapun juga, pencegahan atas kekerasan yang
melahirkan korban akan selalu lebih strategis daripada mengupayakan
rekonsiliasi kekerasan. Pada titik ini, pembangunan dan perawatan harmoni dalam
keberagaman menjadi kunci. Sama seperti rekonsiliasi, harmoni juga mensyaratkan
bahasa dan komunikasi yang jernih. Namun di saat bersamaan, harmoni juga
mensyaratkan keadilan dan tanggung jawab moral.
Secara serempak, komunikasi mampu menghadirkan keadilan dan tanggung
jawab moral untuk saling merawat. Sebaliknya, mengusahakan keadilan juga akan
merawat dan mendorong komunikasi. Pada titik inilah, kita dapat secara sadar
dan proaktif mengusahakan upaya-upaya demikian dengan mewujudkan sikap-sikap
kemanusiaan, bahkan yang paling sederhana sekalipun, dalam praktik kehidupan
harian.
Pada akhirnya, upaya permaafan, rekonsiliasi korban, dan menggapai
harmoni keberagaman memang memerlukan upaya lebih, nyata, dan sadar untuk
menghindari kekerasan dan siklus kekerasan. Namun, cukuplah buku sejarah
menunjukkan bagaimana kekerasan adalah tragedi kemanusiaan yang begitu merusak,
menggerogoti, dan menjadi siklus.
Kini, maukah kita menjadi manusia seutuhnya, yang memegang tanggung
jawab dan ikut andil dalam mencegah siklus kekerasan?
Penulis: Josef Christofer Benedict
Referensi
Al-Fayyadl,
M. (2023). Derridean. Edisi Mori.
Yogaswara, H. (2016). Meneruskan Hidup Setelah
Kerusuhan: Ingatan Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan
Antaretnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Masyarakat Indonesia: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Volume 42, No.
1, 105-113.
0