Riska Yuli Nurvianthi
29 Jun 2022 at 13:18Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah a bersabda; “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan. Bulan yang penuh keberkahan. Allah SWT mewajibkan atas kalian berpuasa di bulan itu. Di bulan tersebut pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
Mau tidak mau, bulan ramadhan akan meninggalkan kita, Indahnya suasana damai di dalam bulan suci ini akan segera berlalu sehingga menyisahkan rasa sedih didalam relung sukma kita. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan maka kesedihan begitu dirasakan. Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir?
Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab. Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya.
Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu?
Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan? “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakam pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu.”(HR. Ahmad).
Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar begitu banyak pahala, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan? Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi.
Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Wajar jika para sahabat dan orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka. “Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni” (HR. Hakim dan Thabrani)
Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih.
Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.
Wahai Rabb kami, terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Bersama Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan.
Sahabat damai konon, rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah SWT. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.
Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini.
Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di muka, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beriktikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati.
Sebab para lelaki beriktikaf di masjidmasjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya. Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini.
Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.
Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini.
Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa.
Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-nya, berduaan dan bermesraan dalam khusyu’nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat. Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi.
Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka tiga atau empat hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita. Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya.
Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya selama beberapa hari puasa yang telah usai ini. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para shahabat dan salafus shalih itu.
Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri’tikaf lama atau sebentar- di masjid-nya. Barangsiapa ingin mencarinya (lailatul qadar), hendaklah ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh. (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani).
Maka hendaknya seorang muslim ketika berada di penghujung Ramadhan ia lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT agar termasuk dalam barisan orang-orang yang keluar dari bulan Ramadhan dengan mendapatkan ketaqwaan dan ampunan.
Sahabat damai, Kita mungkin tidak bersedih dan menangis sehebat Rasulullah SAW dan para sahabatnya, namun selayaknya kita takut tidak ada jaminan apakah amal shaleh yang dilakukan selama ini diterima dan juga apakah bulan suci esok hari akan dipertemukan kembali.
Olehnya memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta bersungguh-sungguh berdoa adalah jalan terbaik yang terus harus kita lakukan hingga menutup usia.0