Nur Azizah S
22 Oct 2024 at 09:35


Tanggal 19 Oktober mengundang kita untuk merenungkan kembali makna kemanusiaan yang semakin terkikis dalam realitas dunia saat ini. Di tengah kekacauan global, krisis kemanusiaan tampaknya semakin menjadi pemandangan sehari-hari. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tragedi kemanusiaan terus berlangsung, menguji nurani kita sebagai individu dan masyarakat.

Mari kita mulai dengan kasus di Palestina, yang hingga kini masih menjadi simbol penderitaan dan ketidakadilan yang berlarut-larut. Ribuan warga sipil terjebak dalam konflik tanpa henti, kehilangan tempat tinggal, dan hidup di bawah ancaman kekerasan setiap hari.

Kehidupan mereka bagaikan terjebak dalam mimpi buruk yang tiada akhir, di mana rasa aman dan harapan semakin sirna. Di saat kita menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, kita harus bertanya, di mana posisi kita? Apakah kita cukup peka untuk merasakan derita mereka, atau justru membiarkan empati kita terkubur dalam rutinitas harian yang tak pernah berhenti?

Namun, tragedi kemanusiaan bukan hanya milik negeri-negeri jauh. Di tanah air sendiri, berbagai kasus kemanusiaan juga mencerminkan betapa rentannya kita sebagai bangsa. Salah satu yang paling mencolok adalah krisis sosial-ekonomi yang terjadi di Papua. Selama bertahun-tahun, ketidaksetaraan akses pendidikan, kesehatan, dan pembangunan di Papua menciptakan ketimpangan yang menyakitkan. 

Rasa keadilan yang seharusnya melekat pada setiap warga negara tampaknya terabaikan, meninggalkan luka yang dalam di hati masyarakat yang terpinggirkan. Di dalam krisis ini, hak-hak dasar masyarakat Papua sering kali terabaikan. Di mana tanggung jawab kita sebagai warga negara? Apakah kita membiarkan suara mereka tenggelam di balik hiruk-pikuk kota besar?

Di luar Indonesia, kita juga menyaksikan krisis kemanusiaan yang mengkhawatirkan di Afghanistan, di mana setelah penarikan pasukan internasional, banyak warga sipil yang terjebak dalam kekacauan politik dan ekonomi. Keberadaan perempuan dan anak-anak sangat terancam, di mana hak-hak dasar mereka dilanggar secara sistematis. Pendidikan bagi perempuan dihapuskan, dan banyak yang hidup dalam ketakutan setiap hari. Kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita cukup peduli untuk mendengarkan cerita mereka dan memperjuangkan hak mereka?

Selanjutnya, perang di Ukraina telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang sangat besar. Ribuan orang kehilangan nyawa, jutaan terpaksa mengungsi, dan banyak kota yang hancur. Kemanusiaan terancam di tengah konflik bersenjata ini, di mana kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal menjadi barang langka bagi banyak orang.

 Saat kita menyaksikan gambar-gambar mengerikan dari kota-kota yang luluh lantak, kita harus bertanya: bagaimana kita bisa membantu mereka yang terjebak dalam pertempuran yang bukan pilihan mereka?

Kita juga tak boleh melupakan kasus “aksi damai” yang dibungkam baru-baru ini. Ketika sekelompok orang berani berbicara dan berjuang untuk hak-hak mereka, mereka sering kali menghadapi represi yang keras. Misalnya, di beberapa daerah di Indonesia, aksi damai yang seharusnya menjadi sarana untuk menyampaikan aspirasi masyarakat justru dihadapkan pada penindasan.

 Suara-suara yang seharusnya menjadi harapan bagi perubahan malah dibungkam dengan kekuatan, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Ketika aksi damai diperlakukan dengan kekerasan, kita harus bertanya: di mana letak kemanusiaan kita jika kita membiarkan ketidakadilan ini terjadi?

Bencana alam yang sering melanda Indonesia juga memperlihatkan celah besar dalam sistem kemanusiaan kita. Kasus gempa bumi di Cianjur pada November 2022, misalnya, memporakporandakan ribuan rumah, merenggut ratusan nyawa, dan meninggalkan ribuan lainnya dalam kondisi terpuruk.

 Dalam momen krisis seperti ini, setiap detik menjadi berharga, namun sering kali bantuan kemanusiaan datang terlambat, hanya menyisakan rasa frustrasi di antara mereka yang sangat membutuhkannya. Bantuan memang datang, tetapi sering kali lambat dan tidak merata. Di balik layar, banyak dari korban ini menderita dalam keheningan, jauh dari sorotan media. Bencana alam mengajarkan kita bahwa solidaritas tidak boleh hanya sesaat, tetapi harus menjadi kekuatan kolektif yang terus menerus terjaga.

Kasus lain yang tak kalah penting adalah pandemi COVID-19 yang menyapu seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis kesehatan global ini membuka mata kita akan kerentanan sistem kesehatan dan sosial yang selama ini kita anggap kuat. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, anak-anak terputus dari pendidikan, dan ketimpangan sosial semakin kentara. 

Selama masa pandemi, akses terhadap layanan kesehatan bagi kelompok marjinal menjadi tantangan besar. Mereka yang hidup di daerah terpencil sering kali terpinggirkan, menghadapi keterbatasan dalam akses vaksin dan perawatan medis. Di mana solidaritas kita dalam memastikan mereka yang paling rentan tetap mendapatkan hak hidup yang layak?

Kasus-kasus ini hanyalah sebagian kecil dari potret besar krisis kemanusiaan yang terjadi di dunia dan di tanah air kita sendiri. Saat kita menyaksikan semua ini, kita harus bertanya: di mana nurani kita?

Apakah kita cukup peka untuk bertindak, atau hanya membiarkan waktu berlalu tanpa memberi kontribusi berarti? Teknologi yang kita miliki seharusnya bisa menjadi alat untuk mempererat solidaritas, tetapi justru sering kali memisahkan kita dari realitas pahit yang terjadi di lapangan.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton. Di Hari Aksi Kemanusiaan Sedunia ini, mari kita bangkit dari keterasingan, menyadari bahwa setiap individu memiliki peran untuk mengubah keadaan. Kemanusiaan adalah tanggung jawab kita bersama; setiap tindakan kecil, setiap suara yang berani, bisa menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar. 

Aksi-aksi kecil kita baik berupa donasi, advokasi, atau sekadar memberi perhatian bisa menjadi benang yang merajut kembali tatanan kemanusiaan yang semakin pudar. Mari kita nyalakan kembali nurani kita, menjadikan aksi kemanusiaan sebagai bagian dari identitas kita sebagai manusia. Dunia ini membutuhkan lebih dari sekadar kesadaran; ia membutuhkan tindakan nyata, sebuah panggilan untuk beraksi demi mereka yang tidak memiliki suara

0