Muliadi
12 Oct 2022 at 20:09Mungkin sebagian dari kita
sudah familiar dengan kata ‘Kebhinekaan’, tapi pernahkah terlintas dikepala
kita, apa sih arti dari Kebhinekaan? Satu kata yang sering kita dengar, namun kita
tidak tahu makna dibaliknya. Kita tahu bahwa Kebhinekaan sangat terkenal di
Indonesia dengan ragam suku yang mendiami setiap pulau Nusantara, dari Nias ke
Pulau Rote, kemudian Sabang hingga ke Merauke. Kebhinekaan merupakan kata yang
diambil dari kalimat Bhinneka Tunggal Ika dari buku Sutasoma karya Mpu
Tantular, seorang pujangga dari kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Bhinneka
Tunggal Ika, jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia adalah berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Kalimat tersebut bermakna bahwa meskipun bangsa dan
negara Indonesia terdiri dari ragam suku dengan kebudayaan serta adat yang
berbeda, tapi itu semua bukanlah tembok penghalang bagi persatuan dan kesatuan
Negara Indonesia.
Dari Kalimat Bhinneka
Tunggal Ika, kita dapat menyimpulkan bahwa arti kebhinekaan adalah sebuah keberagaman
dalam kehidupan kebangsaan dimana perbedaan ras, suku, serta budaya tidak
menghalangi rasa persatuan dalam diri Bangsa Indonesia. Hal tersebut bisa
disebut sebagai harmoni sosial atau harmonisasi dalam bingkai bhinneka tunggal
ika.
Harmoni sosial dapat
diartikan sebagai keadaan di mana para masyarakat terhubung dengan baik dan saling
menghormati. Harmoni sosial adalah keadaan keseimbangan dalam kehidupan serta kerukunan
dapat tercapai bila ada sikap saling menghargai dan mengasihi antar anggota
keluarga dan masyarakat. Kerukunan sosial tidak akan pernah tercapai tanpa
adanya kehidupan yang damai dan saling menghormati antar seluruh anggota
masyarakat yang hidup bersama dengan perbedaan yang ada.
Jika kita menerapkan harmoni
sosial atau Kebhinekaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka pertikaian
individu, konflik antar kelompok, serta misunderstanding
ajaran agama tidak akan terjadi. Sebagai contoh kegagalan diterapkannya
kebhinekaan dalam kehidupan sehari-sehari bisa kita lihat pada Kerusuhan Sampit
pada tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu, sekelompok warga Dayak
menyerang rumah warga Madura. Konflik itu sendiri terjadi karena adanya niat
balas dendam warga Dayak kepada warga Madura. Peristiwa tersebut tidak berhenti
disitu saja, karena kerusuhan terus terjadi selama beberapa hari kedepan hingga
pada 19 Februari pagi, banyak ditemukan mayat bergelimpangan di jalan-jalan
Kota Sampit. Karena kejadian itu, konflik antar kelompok warga Dayak dan Madura
tidak dapat dihindari.
Kerusuhan Sampit yang
terjadi 21 tahun lalu menjadi sejarah kelam bangsa ini karena gagalnya
kebhinekaan di wilayah tersebut. Berangkat dari Sampit yang membekas bak
sayatan diatas kulit, kita bisa mengambil pelajaran bahwa penerapan kebhinekaan
dalam kehidupan kebangsaan adalah hal yang penting untuk dilakukan. Jika
Kebhinekaan tidak kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari ditengah gempuran
globalisasi, bukan tidak mungkin Peristiwa Sampit versi Sabang sampai Merauke
bisa terjadi.
Namun ada yang menarik dari
bagian paling timur Indonesia, Papua. Jika kita mengenal Indonesia sebagai
miniatur dunia, maka bisa kita katakan bahwa Papua adalah miniatur Indonesia.
Mengapa demikian? Di Papua, beragam suku bangsa hidup berdampingan dalam
harmoni kebhinekaan. Kita bisa menemukan orang Batak berkata horas, orang Makassar dipanggil Daeng,
orang Sunda dan Jawa dengan kelembutannya, orang Manado dan Ternate dengan Ngana-nya, serta orang Ambon dengan Beta-nya. Semua itu ada di Papua, ujung
timur Negara Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman.
Mungkin orang yang tidak
pernah menginjakkan kakinya di Bumi Cenderawasih dan hanya mengetahui Papua
dari media-media elektronik, pasti akan berpendapat bahwa Papua adalah daerah
yang penuh konflik. Kenapa pikiran itu bisa muncul? Hal itu terjadi karena stigma
yang berasal dari media sudah berkembang di masyarakat dan masuk ke batang
tubuh orang-orang yang tidak mengetahui bagaimana itu Papua, bagaimana
kehidupan di sana, atau seperti apa karakter orangnya. Namun jika orang itu
menapakkan kakinya di Papua, ia akan menyelam dalam lautan keramatamahan dengan
Tari Yospan yang menyambut mereka. Tidak hanya itu saja, mereka akan terpesona
dengan alamnya yang kata Edo Kondolangit di lagunya yang bertajuk Tanah Papua adalah
“Surga kecil yang jatuh ke bumi.”
Apa dengan stereotype surga kecil yang jatuh ke
bumi itu saja sudah cukup untuk memamerkan kebhinekaan di Papua? Tentu tidak!
Sifat saling menghargai yang ditanamkan Pace-Mace
kepada anak-anaknya sejak dini menjadi poin penting dalam kebhinekaan di tanah
Papua. Hal itu karena, dengan adanya saling menghargai dari Orang Asli Papua
kepada pendatang dan sebaliknya, menjadikan Papua sebagai provinsi dengan
tingkat keharmonisan yang tinggi. Di Papua, kita bisa melihat 3 rumah ibadah
berjejer berdampingan, Suara Adzan di perumahan mayoritas Nasrani, atau open house
lintas agama. Semua itu ada di Papua. Apa hal itu ada di provinsi lain?
“Hitam kulit, keriting
rambut, aku Papua,” lirik lagu Edo Kondolagit itu menggambarkan perbedaan yang
ada di Papua. Tapi apakah perbedaan itu menjadi pemecah kebhinekaan yang sudah
ada sejak tahun 1963? Tidak, justru perbedaan itu menjadi instrument pemersatu
karena perbedaan yang ada di Papua adalah perbedaan yang indah serta pembentuk
kebersamaan yang sudah terjalin sejak lama juga kokoh dan tidak mudah
dirobohkan oleh ulah oknum tak bertanggungjawab.
Jika kita ingin melihat Papua, janganlah melihat provinsi indah ini dari luarnya saja, datanglah, tinggal di sana dan rasakan sendiri kebhinekaan dan kedamaian yang ada. Stigma negatif yang orang-orang dengar, akan terpatahkan dengan kehidupan harmonis suku bangsa, kebudayaan yang beragam, dan agama yang bertoleransi. Datang dan rasakan surga yang jatuh ke bumi beserta keramahan penduduknya dibawah kebhinnekaan.
sumber: dari berbagai sumber.
8