Gusveri Handiko
16 Dec 2020 at 05:43


Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan wilayah dengan penduduk muslim terbanyak di dunia), 6,96% Kristen Protestan, 2,9% Kristen Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.

Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia maupun wilayah lain di indonesia.

Melihat agama islam merupakan penganut terbanyak di indonesia maka seharusnya penganut islam dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan di nusantara ini. Menjadi keharusan bagi umat islam indonesia untuk menunjukkan bahwa islam adalah pembawa berkah (rahmat) bagi seluruh dunia terutama di nusantara.

Komponen terpenting dalam setiap agama adalah ceramah agama yang disampaikan oleh pembuka agama. Di dalam islam mereka sering disebut sebagai Kiyai, Buya, Ustad, Syeh, Gus, pakiah dan lainnya sesuai dengan kultur budaya di berbagai daerah di indonesia. Dengan garis besar mereka dalam islam disebut sebagai pendakwah. Dari sini akan tampak bahwa perkembangan islam di indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya tertentu di suatu daerah sehingga pada penyebutan gelar pendakwah saja akan berbeda-beda di setiap daerah.

Ada berbagai macam dakwah yang dikenal dikalangan penganut islam indonesia. Paling umum ditemui adalah metode dakwah bil Lisan yang lebih konsentrasi pada penyampaian dakwah dengan menggunakan lisan atau perkataan saja tanpa si pendengar dakwah mengetahui bagaimana si pendakwah dalam kehidupan sehari-hari atau sangat jarang melakukan tanya jawab secara dua arah sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan kesalahan informasi karena si pendengar hanya mendengar secara satu arah saja dan tidak punya kesempatan untuk bertanya lebih dalam lagi.

Selanjutnya metode penyampaian dakwah yang digadang-gadang merupakan metode yang paling baik untuk diterapkan di indonesia pada saat ini adalah metode dakwah Bil Hikmah dimana metode dakwah ini lebih mengedepankan menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.

Akan tetapi semua metode dakwah yang ada tetap harus dipakai dalam islam yang disesuaikan dengan kondisi yang ada dan waktu yang tepat. Karena setiap metode dakwah tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.

Dakwah bil Hilmah dijadikan sebagai metode dakwah yang paling baik di indonesia didasari oleh keberagaman di indonesia itu sendiri. Dakwah bil Hikmah dengan pendekatan persuasif dapat menjawab tantangan dalam menyampaikan dakwah di nusantara. Segala keputusan terkait dengan ajakan dalam dakwah di kembalikan pada si pendengar dari dakwah yang disampaikan oleh pembuka agama islam.

Dakwah Bil Hikmah tidak pernah diajarkan dengan menggunakan kata-kata keras karena diyakini bahwa tidak semua pendengar dakwah memiliki ilmu islam yang sama sehingga ketika disampaikan dengan terlalu lugas dan sering ke arah justifikasi persoalan akan mengundang persoalan baru bagi pendengarkan. Kesalahan dalam menginterpesentasikan isi dakwah di nusantara menjadi persoalan yang sangat menyita perhatian sehingga membawa dampak buruk bagi penganut islam itu sendiri di indonesia.

Persoalan terbesar di nusantara pada akhir-akhir ini bukan hanya korupsi namun juga pada toleransi dalam beragama, terutama islam sebagai agama terbesar di indonesia. Ketika dakwah dalam islam disampaikan dengan nada yang keras atau dengan gamblang menyebutkan kata-kata “Kafir” atau kata-kata kasar tentunya akan membawa pengaruh pada pendengar dakwah itu sendiri. Para pendakwah harus mampu menggunakan kata-kata yang baik dan kata-kata yang tidak memunculkan sentimentil beragama islam yang kaku.

Pendakwah harus mampu mengurangi atau akan lebih baik menghilangkan justifikasi persoalan yang tidak berhubungan dengan figih dan akhidah serta syariah dalam islam. Menggunakan kata-kata yang santai diiringi dengan guyonan tentu akan membawa pengurh yang baik bagi penganut islam di nusantara. Tindakan beberapa oknum pendakwah yang sering men-Bid’ah budaya tertentu di nusantara juga harus dihindari karena budaya bukan untuk di salahkan namun diperkaya sehingga lambat laun akan muncul kebudayaan yang berakulturasi dengan ajaran islam dan hal itu sudah dilakuan dari dulu oleh wali Songo dalam menyampaikan dakwah serta menyebarkan islam di nusantara.

0