Ning Aini Latifa
21 Oct 2024 at 22:21The War After’ karya Carolyn Forché (1993) adalah kumpulan puisi perang yang unik yang menghindari romantisasi pertempuran dan kekejaman. Forché menggali ruang psikologis dan sosial yang hancur akibat warisan konflik. Melalui eksplorasi ini, koleksi puisi ini terasa seperti meditasi mendalam tentang perdamaian, bukan sebagai cita-cita yang statis dan utopis, tetapi sebagai praktik yang dilakukan dalam renungan trauma.
1. Menyaksikan Luka yang Tak Terlihat:
Forché menciptakan potret-potret para penyintas El Salvador yang berjuang melawan bekas luka perang yang tak terlihat melalui teknik “puisi kesaksian”. Puisi-puisinya menerangi dampak kekerasan yang tak lekang oleh waktu, termasuk kesedihan, pengungsian, dan kenangan yang menghantui, seperti “The Visitor” dan “The Ghost of Hunger”. Sudut pandangnya ini menantang gagasan romantisme tentang akhir dari perang, memaksa pembaca untuk menghadapi kerugian jangka panjang akibat konflik dan memahami bahwa perdamaian membutuhkan penyembuhan, bukan hanya keheningan.
2. Mendekonstruksi Narasi Pemenang dan Korban:
Koleksi ini meruntuhkan pandangan sederhana tentang pemenang dan korban perang, dengan menampilkan dampak psikologis berbahaya yang timbul akibat perang yang dialami semua pihak. Dalam “The Country We Made,” para prajurit berbagi perjuangan mereka dengan kesehatan mental, menyoroti kerusakan etika yang muncul dari kekerasan yang terus berlanjut. Pendekatan yang bijaksana ini mendorong pemahaman dan analisis yang cermat tentang keyakinan terhadap konflik. Ini adalah langkah penting untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan.
3. Merebut Kembali Bahasa sebagai Alat untuk Membangun Kembali:
analogi dan metafora yang menggugah untuk menghembuskan kehidupan baru ke dalam lanskap dan komunitas yang telah hancur. Puisi-puisi seperti ‘Return’ dan ‘The Sewing’ menggambarkan tindakan perbaikan sehari-hari, menjahit kembali kenangan dan identitas yang terfragmentasi. Penekanan pada kekuatan transformatif bahasa ini menunjukkan bahwa perdamaian tidak hanya membutuhkan gencatan senjata, tetapi juga secara aktif merekonstruksi narasi sosial dan mendorong penyembuhan secara menyeluruh.
4. Merangkul Ingatan sebagai Jembatan Menuju Keadilan:
“The War After” menolak untuk membiarkan masa lalu dibungkam. Puisi-puisi seperti ‘Museum Benda-benda yang Hilang’ dan ‘Elemen-elemen Perpisahan’ menyerukan untuk mengenang mereka yang telah dihilangkan, dibungkam, dan dihapus. Dengan bergulat dengan kekejaman masa lalu, koleksi puisi ini menjadi dasar bagi pertanggungjawaban dan rekonsiliasi, Ini adalah pilar-pilar dasar untuk perdamaian yang berkelanjutan.
5. Menemukan Harapan di Masa yang Rapuh:
Terlepas dari trauma yang masih ada, Forché memancarkan secercah harapan di tengah puing-puing. Puisi-puisi seperti “Untuk Masa Depan” dan “Kembalinya” merayakan semangat manusia yang abadi dan kemampuan untuk mencintai dan bermasyarakat bahkan di tengah penderitaan yang luar biasa. Momen-momen ketahanan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa perdamaian bukan hanya mimpi yang jauh, tetapi sebuah kemungkinan yang dipupuk melalui tindakan keberanian, kasih sayang, dan hubungan antar individu.
Sebagai kesimpulan, “The War After” menawarkan penangkal yang ampuh untuk narasi perang dan perdamaian yang telah disterilkan. Dengan menghadapi luka-luka tersembunyi dari konflik, mendekonstruksi narasi yang disederhanakan, dan menghargai bahasa sebagai alat untuk rekonstruksi dan ingatan, koleksi puisi Forché menerangi kompleksitas dalam mencapai perdamaian. Koleksi ini menggarisbawahi pentingnya kegiatan yang berkelanjutan, tanggung jawab individu, dan keyakinan yang kokoh pada potensi manusia untuk menyembuhkan dan membangun Kembali hal-hal yang telah hancur dalam perang. Melalui tatapannya yang tegas dan analogi yang kuat, “The War After” menjadi bukti kekuatan transformatif seni dalam membimbing kita menuju masa depan yang lebih damai.
0