Riska Yuli Nurvianthi
29 Jun 2022 at 13:33


Alquran tidak hanya memuat pedoman mengenai hubungan manusia dengan tuhan, melainkan juga memuat hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Diantara persoalan yang dibahas dalam Alquran mengenai hubungan manusia adalah tentang pernikahan dan keluarga.

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa “pernikahan adalah ikatan lahir dan batin anatara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga, keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pernikahan merupakan suatu ikatan perjanjian atar insan laki-laki dan perempuan dengan syarat-syarat danya ijab kabul, saksi, mahar dan wali nikah. Menikah dan membentuk keluarga merupakan perintah agama dan sunnah rasul yang wajib dipatuhi dan diteladani.

Sangat banyak manfaat yang dapat dipetik dari sebuah pernikahan. Pernikahan untuk membangun sebuah keluarga merupakan salah satu misi kenabian yang didalamnya menyangkut relasi vertikal dan horizontal.

Maksudnya adalah pernikahan yang nantinya akan membentuk sebuah keluarga memiliki andil yang sangat penting dalam pencapaian kedekatan ibadah kepada Allah dan juga memiliki peran penting dalam berkiprah di masyarakat sebagai wujud ibadah hablun mina naas (ibadah dengan sesama) kita.

Dalam Alquran dijelaskan bahwa, Allah SWT menciptakan manusia berpasangpasangan agar dapat saling menerima, saling menyayangi, saling memberi satu dengan yang lainnya untuk memperoleh ketentraman jiwa (kebahagiaan) dalam rangka menunjang penghambaan diri menusia kepada-Nya. Hal ini berdasarkan Alquran surat Ar-Rum ayat 21 yakni;

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Selain berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis dan untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman, pernikahan juga memiliki fungsi edukatif berdasar surat At-Tahrim ayat 6 yang menjelaskan mengenai perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, dari ketidak patuhan atas perintah Allah dan ajarilah keluarga untuk taat pada Allah SWT.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Sahabat damai, anjuran melangsungkan pernikahan di bulan syawal adalah sunnah bagi yang sudah siap untuk melaksanakan ibadah ini, sebagamana Aisyah radiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata;

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahi ‘Aisyah di bulan Syawwal adalah untuk menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Ini adalah keyakinan dan aqidah Arab zaman Jahiliyah. Ini tidak benar, karena yang menentukan beruntung atau rugi hanya Allah SWT Semata.

Bulan Syawwal dianggap bulan sial menikah karena anggapan di bulan Syawwal unta betina yang mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha). Ini adalah tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat. Maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para walipun enggan menikahkan putri mereka.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawwal termasuk di antara ‘ied fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253).

Dikutip dari buku ‘Aisyah’ oleh Sulaiman an-Nadawi, masyarakat Arab pada zaman jahiliyah memiliki tradisi untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Syawal. Bahkan, mereka beranggapan bahwa penyakit kolera terjadi di bulan Syawal sehingga mereka benci menggauli istrinya pada bulan itu

Pada masa kenabian, Rasulullah SAW mencoba untuk menghilangkan tradisi masyarakat Arab yang membenci bulan Syawal tersebut. Beliau lantas menikahi Aisyah RA tepat pada bulan Syawal.

Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawwal.

Anggapan tersebut adalah batil, tidak ada dasarnya. “Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang ber-tathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’(menghilangkan/mengangkat) sehingga bermakna menjadi ketidakberuntungan menurut mereka)” (Syarh Shahih Muslim 9/209).

Anggapan “Merasa sial” atau “Thiyarah” adalah keyakinan yang kurang baik bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga praktek masyarakat kita yang kurang tepat yaitu yakin adanya hari sial, bulan sial bahkan keadaan-keadaan yang dianggap sial.

Misalnya kejatuhan cicak, suara burung hantu malam hari dan lain-lainnya.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena untung dan rugi adalah takdir Allah dengan hikmah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu itu termasuk kesyirikan. Beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,

 “Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).

Beliau juga bersabda,

 “Tidak ada (sesuatu) yang menular (dengan sendirinya) dan tidak ada “Thiyarah”/ sesuatu yang sial (yaitu secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa’lu ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sahabat damai, ternyata menikah di bulan syawal adalah anjuran rasulullah agar tidak ada yang menyakini dan memiliki kepercayaan terkait menikah di bulan syawal sebagai pembawa sial melainkan menjadi bulan yang bergelimang pahala yang didapatkan dari amalan-amalan perbuatan yang dilakukan. Masya allah sungguh mulia bulan syawal.

0